Beberapa
waktu lalu saya menghadiri sebuah program pelatihan. Dalam pelatihan itu para
peserta diberikan kesempatan untuk mempraktekan apa yang biasa kita sebut
dengan 'mind power'. Secara teoritis, orang-orang yang dapat menggunakan mind
power dalam pelatihan itu akan mampu untuk melakukan tiga tantangan yang
tampaknya tak gampang. Tantangan pertama menjatuhkan bola lampu dari ketinggian
tertentu menimpa keramik yang biasa digunakan sebagai lantai rumah. Tetapi yang
pecah keramiknya, bukan bola lampunya. Tantangan kedua, tingkat kesulitannya
lebih tinggi karena harus mematahkan sebatang besi dengan menggunakan kertas
koran. Dan, yang lebih sulit dari itu adalah mematahkan sebatang pensil dengan
menggunakan kertas HVS. Anda percaya semua itu bisa dilakukan? Mind power bisa
membantu menyelesaikannya.Ketika orang-orang mencoba semua tantangan itu, saya
teringat sebuah kisah klasik tentang seorang sakti dengan ketiga muridnya. Saat
kesaktian para muridnya sudah sangat tinggi, sang guru tahu bahwa dia harus segera
pergi. Untuk itu dia harus mempercayakan perguruannya kepada penerusnya.
Setelah itu, Sang Guru akan memasuki tahap akhir dari misi hidupnya, yaitu;
pergi melanglangbuana. Pertanyaannya adalah; kepada siapa dia harus memberikan
kepercayaan itu? Ketiga muridnya sama-sama sakti. Sama-sama baik. Dan sama-sama
hebat. Akhirnya, Sang guru memutuskan untuk memberikan tiga jenis ujian.
Ujian
pertama menjatuhkan sebutir telur dari puncak tebing menimpa batu cadas, namun
telur itu tidak pecah. Ini tugas yang paling gampang. Kedua, mengosongkan air
di telaga dengan menggunakan jari telunjuk. Tentu yang ini agak sulit. Dan yang
ketiga, membuat ukiran hati masing-masing pada lempengan besi hanya dengan
menggunakan tatapan mata. Pastilah tantangan ketiga ini yang paling sulit
dilakukan. Sedangkan untuk meneyelesaikan semua tantangan itu, mereka hanya
diberi waktu selama tiga hari. Barangsiapa bisa menyelesaikan ujian itu; maka
dia mendapatkan warisan perguruan beserta seluruh aset yang ada didalamnya.
Dihari yang
ditentukan, para murid menghadap Sang Guru. Lalu Sang Guru memberi kesempatan
kepada murid pertama untuk menunjukkan semua yang sudah dilakukannya. Dia
membawa telur ayam itu dalam keadaan utuh, sedangkan batu cadas yang tertimpa
hancur berantakan. Pastilah dia memiliki ilmu gingkang yang sangat tinggi
sehingga bisa dipindahkan kepada sebutir telur. Lalu, dia menunjukkan telaga
yang kering kerontang. Tak setetes pun air yang masih tersisa didalamnya.
Membuktikan bahwa dia bisa melakukan pekerjaan besar hanya dengan menggunakan
telunjuknya. Kemudian, dia menyerahkan sebongkah besi baja yang berukir hati
dengan ukuran yang sangat besar. Ini membuktikan bahwa tatapan matanya begitu
kuat sehingga baja sekalipun tunduk kepadanya.
Sang Guru
kemudian berkata; "Muridku, ukuran hati kamu begitu besarnya. Mengapa bisa
demikian?" "Guru," sang murid sakti menjawab, "saya
memiliki kebesaran hati untuk menjalani segala sesuatu dalam hidup ini."
lanjutnya. "Saya tidak gentar menghadapi apapun. Karena saya yakin bahwa
saya bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan baik." Dia menjelaskan
dengan semangat yang berapi-api. Sangat terasa aura kebesaran hati yang
dipancarkannya.
Murid kedua
mendapatkan gilirannya. Dia menunjukkan semua bukti kesaktiannya, seperti murid
pertama. Namun, ukiran hati dalam lempengan besi itu ukurannya sangat kecil
sekali, hingga nyaris tidak kelihatan. Sang guru bertanya;"Muridku, aku
lihat ukuran hati kamu sebegitu kecilnya. Mengapa bisa demikian?"
"Guru,"
jawab sang murid sakti, "ciut hati saya jika harus melakukan suatu
keburukan. Saya sangat takut kalau harus melakukan hal-hal yang melanggar norma
dan etika." Lanjutnya. "Saya tidak memiliki cukup keberanian untuk
mempertaruhkan kehormatan." Dia menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Sangat
terasa aura kerendahan hati yang dipancarkannya.
Lalu,
tibalah giliran murid ketiga. Dia membawa telur utuh, dan batu karang yang
hancur lebur. Dia juga menunjukkan lempengan baja yang berlubang membentuk
hati. Namun, ketika ditanya tentang telaga, sang murid menjawab; "maaf
guru, saya tidak mengosongkan telaga itu," katanya. "Mengapa?"
begitu Sang Guru bertanya.
Sang Murid
mengatakan bahwa setelah berhasil menyelesaikan tugas paling mudah –
menjatuhkan telur diatas batu cadas – dia berpikir untuk langsung menyelesaikan
tugas yang paling sulit, yaitu; mengukir hati pada lempengan besi hanya dengan
menggunakan tatapan mata. Sebab, jika tugas paling mudah dan paling sulit bisa
dituntaskan, pasti tugas yang sedang-sedang saja bisa terselesaikan.
"Tetapi," kata Sang Guru, "Kamu tetap harus membuktikannya
terlebih dahulu."
"Benar,
Guru," jawab sang murid. "Semula saya berpikir untuk mengeringkan
telaga itu. Tetapi," lanjutnya. "Setelah membuat lubang tembus
pandang berupa hati dibesi itu; seolah saya bisa memasukinya, dan tiba-tiba
saja saya merasakan hati saya berbicara." katanya.
"Apa
yang dikatakan oleh hatimu?" tanya Sang Guru. Sang murid menceritakan
bahwa ukiran hati pada baja itu berkata; "Setelah ujian paling sulit kamu
taklukan, pastilah kamu bisa menyelesaikan ujian yang lebih mudah. Tetapi, jika
kamu menyelesaikan ketiga ujian itu, maka kamu berubah menjadi sombong,"
katanya. "Saya tidak ingin hati ini berubah menjadi sombong,"
lanjutnya. "Jadi, saya memutuskan untuk tidak mengeringkan telaga
itu."
"Aku
mengerti," kata Sang Guru. "Namun, tahukah kamu bahwa tidak
melakukannya berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan warisan
perguruan?" Sang murid mengangguk. Dia menerima konsekuensi atas
keputusannya. "Bukankah kamu tahu bahwa mewarisi perguruan ini merupakan
dambaan semua orang?" Sang Guru meyakinkan. Sang murid kembali mengangguk.
"Bukankah dengan mewarisi perguruanku, kamu akan mempunyai kedudukan
tinggi dan dihormati?" Lanjut Sang Guru. Sang murid tetap pada
keputusannya; melepaskan kesempatan memiliki perguruan itu.
Lalu, Sang
Guru membagi dua perguruan itu. Setengahnya diberikan kepada muridnya yang
memiliki ukuran hati besar. Diperguruan itu, kemudian dia mengajarkan tentang
optimisme, semangat pantang menyerah, dan kebesaran hati. Setengahnya lagi
diberikan kepada muridnya yang mempunyai ukuran hati sangat kecil. Diperguruan
itu, kemudian dia mengajarkan tentang menjaga kehormatan, menjauhi keburukan,
dan memupuk kerendahan hati. Itulah sebabnya, mengapa sangat mudah bagi kita
untuk menemukan guru yang mengajarkan tentang kebesaran hati. Juga mudah untuk
menemukan guru yang mengajarkan tentang kerendahan hati. Dari kedua perguruan
itu, orang-orang kemudian belajar berjiwa besar dan menjaga kesucian diri. Lalu
menggabungkan kedua sikap itu untuk menjadikan dirinya; manusia berkemampuan
tinggi yang memiliki budi pekerti.
Muridnya
yang ketiga? Dia tidak mendapatkan sedikitpun dari warisan perguruan. Sebab,
setiap orang harus menerima konsekuensi atas tindakan dan keputusan yang
diambilnya. Namun, dari semua yang sudah dilakukannya, dia mendapatkan hadiah
lain; Sang Guru membawanya pergi melanglangbuana. Itulah sebabnya, guru yang
membimbing kita cara membaca isyarat hati; tidak selalu mudah dicari. Karena,
guru seperti itu jarang menetap. Mereka melanglangbuana. Menjelajah hidup. Dan
tak terikat ruang dan waktu. Namun, ketika hendak pergi, Sang Guru berkata
kepada kedua murid pewaris perguruannya; "Meskipun tak kelihatan, namun
kami tetap berada didalam hatimu." Katanya. "Jika kalian ingin
menemui kami, maka kalian tahu dimana harus mencari...." Lalu, kedua orang
sakti itu memudar. Menyatu dengan udara. Kemudian terbang bersama angin. Mereka
pergi melanglangbuana. ....
Penulis :
Dadang Kadarusman
Catatan Kaki :
Hati itu
seperti prasasti. Hanya berguna bagi mereka yang bersedia membaca isyarat, dan
menerima nasib.
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat