Hidayatullah.com
Sore menjelang maghrib beberapa hari lalu, istriku
terlihat resah. Beberapa kali mondar-mandir dari dapur ke ruang tamu. Raut
wajahnya tampak kalut. Karena penasaran, saya pun bertanya kepadanya. “Ada apa
toh umi. Dari tadi ko terlihat bingung?”.
“Anu, Abi. Beras di dapur sudah habis. Bingung
besok enggak ada yang dimasak,” jawabnya sambil menunjukkan karung beras yang
sudah kosong melompong.
Kekhawatiran istriku bisa dimaklumi. Pasalnya, jika
besok tidak ada beras yang dimasak, maka tiga belas anak yayasan yang kami asuh
terancam bakal tidak makan. Itu berarti, mereka akan berangkat sekolah dengan
perut kosong.
“Umi tenang saja, ya. Meski beras sudah tidak ada,
tapi kita masih punya satu malam untuk shalat tahajud dan meminta kepada
Allah,” kataku menenangkan dengan penuh kenyakinan.
“Iya abi, umi yakin. Semoga saja Allah yang Maha
Pemberi rezeki berkenan membantu kita,” harapnya meski kekalutan masih
tergambar di wajahnya.
Malam harinya, pukul 2.30 dini hari saya dan istri
bangun. Sekitar sepuluh menit berwudhu dan memakai pakaian shalat. Setelah itu
membangunkan anak-anak yang sedang tidur pulas. Cukup sulit juga membuat mata
mereka melek. Meski sudah dipukul pelan dengan sajadah dan kata-kata “Shalatul
lail” berulang kali, tetap saja mereka tidak bangun-bangun.
Parahnya lagi, bila ada yang sudah bangun, tak
jarang yang tidur lagi. Cukup lama memang agar mau membuka mata mereka melek
dan langsung mengambil air wudhu. Mungkin karena masih kecil-kecil jadi sulit
dibangunkan. Tapi, setelah sekitar 15 menit dan beberapa kali dibangunkan,
akhirnya mereka pun semua bangun.
Sembari menunggu mereka siap-siap, saya dan istri
shalat lebih dulu. Biasanya, mereka akan menyusul shalat. Dalam suasana syahdu
di sepertiga malam itu saya pun berdoa dan memohon kepada Allah SWT. Kedua
tangan kutengadahkan ke langit. Istri dan anak-anak mengamini meski dengan mata
merem-melek menahan kantuk.
“Ya Allah, Engkau Maha Kaya. Berilah rezeki yang
halal dan berkah untuk kami ya Allah. Kami tidak memiliki apa-apa kecuali
dari-Mu. Jika ia ada di langit, turunkanlah, jika di bumi keluarkanlah, jika
kotor sucikanlah. Terdengar suara amin para santri. Air mataku meleleh.
Subhanallah. Pagi sekitar pukul 10.00 tiba-tiba
datang seseorang perempuan membawa empat karung beras. Entah tahu dari mana,
tapi kata perempuan itu ia sengaja mencari yayasan di daerah itu, Sidoarjo, Jawa
Timur. Yayasan kecil kami terletak jauh di dalam gang. Tak banyak orang tahu.
Selain itu, di sekitar juga banyak yayasan lain jauh lebih besar dan terkenal.
Saya yakin, ia dikirim oleh Allah. Dan saya yakin,
itu jawaban atas doa anak-anak yayasan semalam.
“Subhanallah, ternyata betul ya Abi. Allah pagi ini
buktikan janji-Nya,” kata istri setelah mengantar dermawan itu pulang.
Sejak itu, saya dan istri makin yakin kekuatan
shalat malam. Shalat malam bisa menjadi senjata untuk mengundang pertolongan
Allah setiap saat dan dalam kondisi apapun.
Sejak saat itu pula, saya, istri dan seluruh
penghuni yayasan melakukan shalat tahahud tiap malam. Dan ternyata, hingga kini
Allah selalu mencukupi kebutuhan kami. Kami tidak pernah kelaparan. Pertolongan
seperti itu juga sering kami alami.
Pernah suatu saat, tiba-tiba seseorang datang
jauh-jauh dari Malang. Kata lelaki yang memiliki salon itu, ia bermimpi disuruh
untuk memberikan sedekah ke sebuah yayasan di daerah tersebut.
Ciri-ciri yayasan itu, katanya kecil dan ustadz
pemangkunya berbadan kurus. Maka, dicarilah yayasan yang dimaksud dalam
mimpinya itu. Tapi, sudah dicari-cari tak jua ketemu. Ketika menemui yayasan
kami, yakinlah orang tersebut jika yayasan itu yang ada dalam mimpinya.
“Iya, ini pesantrennya yang ada dalam mimpi saya,”
katanya. Meski berkali-kali saya pertanyakan jangan-jangan bukan yayasan ini
yang dimaksud, tapi ia tetap bergeming. Ia pun memberi uang Rp 2 juta rupiah.
Tidak hanya itu. Pernah juga ada kejadian serupa.
Ceritanya, ada seseorang nyasar yang ingin memberi bantuan. Ia sebenarnya ingin
memberi sedekah ke yayasan lain. Tapi, entah kenapa, ia justru datang ke
yayasan kami. Saya pun menjelaskan jika yayasan ini bukan yang ia maksud dan
memintanya agar menyalurkan sedekahnya ke yayasan semula.
Tapi, meski sudah berkali-kali dibujuk, ia tetap
saja bersikukuh. “Sudah, sedekah ini saya berikan untuk yayasan ini saja,”
paparnya. Karena tak bisa menolak, sedekahnya pun kami terima. Dalam hati saya
berucap dengan sedikit bergurau: “Ternyata, malaikat pinter juga ya mengalihkan
orang berbuat baik.”
Saya sendiri sudah beberapa tahun menjadi pengasuh
di yayasan Islam di Sidoarjo milik salah satu ormas Islam. Yayasan itu belum
terlalu besar. Gedungnya saja masih milik orang lain, hanya disuruh menempati
saja. Ada tiga belas anak yang masih sekolah, dari bangku SD hingga SMA. Mereka
dari berbagai daerah, ada dari Sidoarjo sendiri, Balikpapan, Madura, Semarang,
Surabaya, dan deerah lainnya.
Seperti yayasan pada umumnya, pembiayaan gratis dan
berasal dari umat Islam. Tapi, kendati demikian, saya tak pernah khawatir Allah
telantarkan kami. Karena itu, agar Allah tak pernah sepi menolong, maka tiap
malam kami harus sering meminta dan menagih janji-Nya. Seperti diceritakan
Maryadi kepada Hidayatullah.com
Sumber:
Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar