Minggu, 06 Mei 2012

Mereka Bekerja Keras (Bukan Korupsi)


KOMPAS.com - Di tengah pesta korupsi yang memuakkan di negeri ini, masih banyak kaum muda yang kreatif dan produktif berwirausaha. Mereka inovatif, mandiri, dan menghidupi orang lain dengan berbagai usaha.

Sarjana singkong. Itulah julukan bagi Firmansyah Budi Prasetyo (30) setelah ia berbisnis singkong. Lelaki asal Yogyakarta itu sejak tahun 2006 membuat singkong goreng yang renyah dan pulen berbentuk stik dengan nama Tela Krezz. Kata ”tela” diambil dari ketela, atau ”telo” alias singkong.

Di tangan Firmansyah, singkong dalam wujud tepung juga bisa berubah menjadi kue bolu dan brownies. Khusus di Yogyakarta, kedua produk tersebut diberi merek Cokro Tela Cake. Sementara di luar Yogyakarta, brownies dikenal dengan nama Kassafa.

”Kami menggunakan 100 persen singkong tanpa tambahan terigu,” ujar Firmansyah, yang dengan bangga menyebut dirinya master of singkong.

”Gelar” sarjana tela yang dia singkat menjadi ST dan MSi dari master of singkong bahkan dicantumkan dalam kartu nama lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini. ”Dari sepuluh teman gaul zaman kuliah, delapan orang jadi PNS, satu pengacara, dan saya jualan singkong,” ujar Firmansyah.

Si laris Sally

Kita tengok kegigihan kaum muda lain, yaitu Donny Pramono (29), kelahiran Kendari, Sulawesi Tenggara, yang bersekolah di Surabaya, Jawa Timur. Ia membuka usaha Sour Sally di mal Senayan City, Jakarta.

Pertama kali dibuka pada pertengahan tahun 2008, hingga berbulan-bulan kemudian, antrean panjang pembeli selalu mewarnai toko pertamanya itu.

Toko yang tidak menyertakan nama produk tersebut memang mengundang tanya. Setelah berada di dalam kios, barulah pengunjung akan mendapati produk yang dijual, yaitu yoghurt beku dengan berbagai macam topping. Pada awalnya, banyak yang mengira Sour Sally adalah waralaba dari luar negeri.

Donny, yang bergelar master di bidang pemasaran dari University of La Verne, California, Amerika Serikat, punya pemikiran sendiri tentang bisnis yang terilhami dari gaya hidup
makan yoghurt di AS. Baginya, pencitraan merek berperan sangat penting untuk menciptakan gaya hidup yang sama di Indonesia.

”Saya ingin, ketika bicara yoghurt, orang langsung ingat pada Sour Sally. Bagi saya, siapa pun bisa membuat yoghurt. Jadi, bisnis saya harus kuat di branding,” kata Donny.

Untuk mewujudkan mimpinya itu, Donny menyiapkan konsep dagang dengan memakai jasa konsultan desain merek di Singapura. Dari konsultasi inilah lahir nama Sour Sally.

”Sally itu seorang gadis kecil yang manis, lalu dipadukan dengan sour yang artinya asam. Nama ini sesuai dengan produk yang dijual, yaitu yoghurt. Jadi, Sour Sally tidak hanya produk, tetapi juga merek dan karakter,” tutur Donny.

Inovasi, seperti dikatakan pakar pemasaran, Rhenald Kasali, menjadi kunci seorang wirausaha. ”Inovasinya bisa berupa produk, servis, juga cara memasarkan. Inovasi inilah yang menjadi pembeda dengan mereka yang disebut pedagang,” kata Rhenald.

Di sekeliling kita, inovasi produk salah satunya bisa dilihat pada produk kuliner. Banyak yang memilih bidang kuliner dengan mengambil semangat keindonesiaan. Lihat saja orang- orang yang memadukan cokelat dengan berbagai rasa jamu dan makanan tradisional. Ada pula yang mengubah singkong atau ubi menjadi brownies, mi, muffin, atau pie.

Jualan di bus

Inovasi juga menjadi salah satu kunci sukses Fiki Satari (36), pemilik bisnis clothing di Bandung dengan nama Airplane Systm. Clothing adalah sebutan untuk bisnis yang memproduksi sendiri, lengkap dengan label dari produk-produknya. Airplane Systm, sejak didirikan tahun 1998, punya beragam produk mode, seperti kaus, jaket, sweater, jins, sepatu, tas, ikat pinggang, dan dompet.

Seiring dengan tumbuhnya pemilik clothing, distro, factory outlet, dan mal yang menjual produk-produk bermerek internasional, persaingan yang kian ketat tak terelakkan. Fiki pun berinovasi, salah satunya dalam desain produk. Dia menerapkan apa yang berlaku di dunia mode. Sejak tahun 2007 dibuatlah tren berdasarkan musim.

Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran ini membagi setiap tahunnya ke dalam tiga musim dan membuat tema yang berbeda untuk setiap musim. Tema-tema ini diterapkan pada warna dan gambar produk, terutama pada kaus.

Sumber ide beragam. Untuk musim terbaru tahun ini, idenya berasal dari usia Airplane Systm yang mencapai 14 tahun. Berdasarkan angka tersebut dan target pasar untuk kalangan remaja, tema baru ini diberi nama Fourteen for Teenage. Salah satu koleksi kaus dari tema ini akan bergambar karya 14 seniman, di antaranya Tere dan Tisna Sanjaya.

Fiki juga pernah membuat tema Dancing Smoke tahun 2009 yang inspirasinya berasal dari asap obat nyamuk. ”Waktu melamun, saya lihat bentuk asap obat nyamuk. Ternyata kalau dilihat dengan teliti bagus juga karena bentuknya bisa berubah- ubah,” kata Fiki.

Dari bentuk asap ini, terciptalah berbagai gambar abstrak yang disablon di atas kaus. Tidak hanya itu, setiap gambar dimaknai sebagai personifikasi karakter manusia. Misalnya, tipe aliran asap yang lembut (laminar) cocok untuk mereka yang berkarakter tenang, sedangkan asap yang berputar-putar (swirl) bisa dipakai untuk mereka yang bertipe agresif. Dengan pilihan ini, setiap pembeli bisa memilih kaus sesuai dengan karakternya.

Fiki juga membuat cara pemasaran kreatif. Sejak tahun 2006, dia membuat toko berjalan dengan menggunakan sebuah bus yang disebut Airbus One. Bagian dalam bus dirombak, dipasangi rak untuk memajang produk-produk Airplane Systm. Bus ini didapat atas kerja sama dengan teman yang bekerja di perusahaan otobus.

”Ide dan jaringan yang luas adalah kunci berwirausaha. Biaya juga. Tetapi untuk biaya, sumbernya bisa berasal dari mana saja, seperti yang saya lakukan dengan membuat Airbus One,” kata Fiki.

Inovatif, cerdas, tekun, dan kerja keras membuka peluang usaha: itulah yang dilakukan kaum muda tersebut. Bukan korupsi yang menyengsarakan rakyat.

Oleh : Yulia Sapthiani & Sarie Febriane

Sumber : Kompas Cetak
Editor : Jimmy Hitipeuw


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat

0 komentar:

Posting Komentar

 
;