Saat menjadi
khalifah, setiap malam Umar bin Khattab selalu berkeliling untuk melihat lebih
dekat bagaimana kondisi masyarakat yang sebenarnya. Dari pemantauannya itu,
semakin terbuka mata, hati, dan telinga sang khalifah untuk bergerak cepat
menanggapi realitas yang terjadi.
Belajar
adalah kata kunci dari suatu keberhasilan, hatta dengan kepemimpinan.
Keberhasilan Umar bin Khattab sebagai figur pemimpin saleh adalah karena beliau
belajar untuk memfungsikan mata, hati, dan telinga dengan sebenarnya. Tidak
tabu dan alergi pada kritikan dari siapa pun, bahkan dari rakyat jelata
sekalipun.
Suatu hari
sang khalifah menyamar, lalu menghampiri seorang ibu yang anaknya kelaparan.
Yang didapat Umar justru kata-kata pedas untuknya. "Sungguh zalim Umar bin
Khattab karena membiarkan rakyatnya kelaparan!" Marahkah Umar? Ternyata
tidak. Di lain waktu, bahkan Umar sangat berterima kasih kepada seorang pemuda
yang mengacungkan pedang seraya berkata, "Apabila Umar bin Khattab
menyimpang, pedang ini yang akan meluruskannya."
Kritikan
seorang ibu yang anaknya kelaparan dan seorang pemuda kepada Umar adalah wujud
kecintaan mereka terhadap pemimpinnya. Tidak tebersit sedikit pun dari benak
Umar bahwa orang-orang yang mengkritiknya bermaksud menjatuhkannya. Umar sadar,
sebagai seorang pemimpin harus ada orang-orang yang selalu mengingatkannya
apabila dia menyimpang, dan berbagai kritikan yang dialamatkan kepadanya adalah
cambuk untuk berbuat yang lebih baik lagi.
Para
pemimpin kita di level apa pun sebenarnya mampu menunaikan tugasnya dengan baik
selama mereka mau belajar dari perjalanan dan kesuksesan pemimpin-pemimpin
saleh. Salah satunya Umar bin Khattab, bagaimana kepribadiannya, kesehariannya,
dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Terkecuali, para pemimpin kita
sudah buta mata, hati, telinga, dan tidak mau belajar bagaimana mengayomi,
melaksanakan tanggung jawab, dan memenuhi hak-hak masyarakat dari para pemimpin
sebelumnya.
Kalau
kenyataannya seperti itu, alamat kehancuran tinggal menunggu waktu, dan rakyat
pun tidak bisa disalahkan apabila kemudian melakukan perlawanan untuk
menegakkan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Suatu kezaliman besar manakala
seorang pemimpin hanya memenuhi nafsu duniawi, mementingkan kebutuhan pribadi, keluarga,
kerabat, dan mengabaikan kepentingan publik. Hati dan telinganya tidak pernah
digunakan untuk memahami dan mendengarkan apa yang menjadi keluh kesah,
penderitaan, dan kebutuhan rakyatnya.
Masih ada
waktu. Mudah-mudahan para pemimpin kita mau belajar dan lebih mementingkan
urusan masyarakat daripada pribadi dan golongannya.
Oleh : Asep Irmansyah
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar