Minggu, 05 Februari 2012

Shani Matos, Keturunan Puerto Rico Bersyahadat


Sebulan lalu, di HP saya ada yang meninggalkan pesan meminta untuk ditelepon balik. Nampak suara perempuan yang lembut dan sangat sopan. Sejak awal saya merasa, sepertinya suara perempuan yang masih muda. Pesan itu berbunyi: “Hi, hello! My name is Shani. I got your number from a friend of mine, here in Queens College. I am sorry to bother you but I don’t know how to start……can you call me back pleas, if you have time? My number is….”.

Setelah mendengarkan pesan itu, segera saya telepon kembali. Di seberang sana dia menjawab dengan pelan: “Thank you, thank you very much Sir for calling me back“, katanya dengan suara yang sepertinya sangat gembira.

“Hi, what is your name again?”, tanyaku kembali di telepon. “My name is Shani, and I am a student here in Queens College“, jawabnya.

“What I can do for you?”, tanyaku singkat.

Shani tidak langsung menjawab. Sepertinya berfikir sesaat sebelum menjawab pertanyaan saya tersebut. “I don’t now how to start to tell you. You know, I am a Catholic. But…you know I don’t like too much non sense in the faith“, katanya.

Saya memang sudah sering mendengarkan ungkapan itu sebelumnya. Maka, saya hanya bilang ke Shani, jika ada waktu apakah dia bisa datang menemui saya. “Come to Jamaica Muslim Center, do you know where it is?”, kata saya.

“Yes, my friend lives around that mosque“, jawabnya. Rupanya temannya yang memberikan nomor HP saya kepadanya adalah anak salah seorang jama’ah masjid Al-Mamoor atau lebih dikenal dengan Jamaica Muslim Center di Jamaica Queens. Sejak 2005 lalu, saya diminta untuk memimpin komunitas yang cukup besar dan dinamis ini.

Kami pun janjian untuk bertemu dua minggu kemudian. Shani tidak lupa juga meminta alamat email, “just in case I want to ask you something by emails“, katanya. Saya tentunya tidak keberatan untuk memberikan email itu. Ternyata, hingga Shani kembali menelpon saya sekitar 2 minggu lalu, dia tidak mengirim email.

Diilhami Sepupu

Shani adalah gadis kelahiran Amerika keturunan Puerto Rico. Ternyata dia memang masih tahun pertama di Queens College dan berencana mengambil business management. Dua minggu lalu Shani menghubungi saya kembali dan mengingatkan bahwa hari itu adalah hari di mana seharusnya dia datang untuk menemui saya.

“Hi Iman!”, demikian biasanya kata ‘Imam‘ disebut. Shani kemudian mengatakan bahwa dia akan datang, tapi agak terlambat karena temannya (anak Bangladesh) masih ada kelas hingga jam 5 sore.

“Oh it is fine for me. I am still in the City“, jawabku. Kebetulan hari itu adalah hari Jum’at dan jadwal khutbah saya di Islamic Center of New York. Setelah Jum’atan kami harus menerima banyak tamu, termasuk media untuk mewawancarai mengenai rencana kunjungan Paus ke kota New York. Setelah Jum’atan, Islamic Center juga menerima rombongan pastor Yahudi yang datang berziarah, sebagai balasan terhadap kunjungan kami beberapa minggu sebelumnya.

Setelah shalat Asr, segera saya tinggal Islamic Center menuju JMC (Jamaica Muslim Center) di Queens. Perjalanan dengan subway (kereta bawah tanah) memakan waktu sekitar 45 menit. Karena khawatir terlambat, saya telepon Shani agar menunggu saya di ruang kantor di JMC. Rupanya Shani juga memastikan diri terlambat karena temannya mengajak dia ke rumahnya sebelum menemui saya di JMC.

“Take your time then!”, kata saya.

Ketika saya keluar dari subway, ternyata Shani sudah menelpon dua kali menanyakan apakah saya sudah sampai di JMC atau belum. “My friend advised me not to come unless you are there“, pesannya di HP. Sesampai di JMC segera saya telepon balik ke Shani dan memintanya untuk segera ke masjid. Jam menunjukkan pukul 6:30 sore, berarti maghrib tinggal sekitar 45 menit. Pikir saya, mungkin Shani akan banyak bertanya dan diskusi akan memakan waktu cukup panjang.

Tidak berselang lama, saya dapat telepon lagi dari Shani. “Hi, I am here, where are you?”, tanyanya. Saya mengatakan bahwa saya ada di kantor, tapi rupanya teman Shani itu juga tidak tahu ruangan mana yang disebut kantor JMC. Rupanya mereka berdiri di depan pintu masuk wanita, yang kebetulan memang sepi. Saya keluar dan mengajak mereka ke kantor.

Shani memang nampak masih belia. Umurnya baru sekitar 19 tahunan. Teman yang mengantarkannya juga masih di tahun pertama di Queens College. “Welcome Shani! I’ve heard your name but this is the first time I see your face“, kata saya.

Shani nampak malu-malu berbicara, atau sedikit gugup. Saya curiga, jangan-jangan temannya itu mengingatkan agar bersopan santun di hadapan Imam. “Shani, you look familiar to me! Had we ever met before?”, tanya saya untuk menjadikan suasana menjadi cair. Tujuan saya, biar Shani lebih leluasa berbicara dan menyampaikan apa yang ingin disampaikan.

“No, I don’t think so!”, jawab Shani sambil tertawa ringan.

“Ok, let us start! So, you said that you are interested in Islam?”, saya memulai.

“Yes. In fact for the last a few months I have studied it seriously“, katanya singkat.

“So, what did you find? Any interesting thing?”, tanyaku.

“I think the most amazing about Islam is clarity. I found in this religion that every thing is clear. In general I may say, this is the religion that makes sense“, tegasnya.

Saya kemudian mencoba mencari tahu, apa yang menjadikan Shani tertarik dengan agama ini. “How did you come to know about Islam? I mean how did you start learning it and why“, tanyaku.

Shani kemudian berbicara cukup panjang tentang kelurganya yang beragama Katolik taat. Ibunya khususnya sangat taat ke gereja setiap minggu dan mengajak Shani dan saudara-saudaranya yang lain. “But to be honest, I did it just because out of the respect my mother“, katanya.

Shani melanjutkan bahwa sejak bulan-bulan terakhir dia semakin tidak yakin dengan agama Katoliknya. Dan itu terpacu lagi ketika salah saorang sepupunya memeluk agama Mormon. “My cousin right now is following Mormon religion“, katanya.

Setelah saya mendengarkan semua itu, saya memulai mengambil kendali. Saya kembali menjelaskan semua dasar-dasar ajaran Islam dengan pendekatan rasional berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an. Shani misalnya tertawa ketika saya mengatakan, kalau seandainya ada dua presiden sehebat Bush, pastilah dunia hancur-hancuran. Untunglah hanya satu Bush di dunia, maka dunia masih relative aman. Tapi saya susuli, sedangkan satu dunia sudah menjadi begini, bagaimana kalau ada dua?

Tanpa terasa adzan Magrib sudah hampir dikumandangkan. Pada akhirnya, saya hanya bertanya kepadanya: “So….what is your mind now?”.

Saya terkejut ketika Shani langsung mengatakan: “Since I called you two weeks ago, I wanted to be Muslim. But don’t know!”.

“Are you sure?”, tanya saya. “Yes! The only thing that worries me is my mother”, lanjutnya.

Saya berusaha menjelaskan kepadanya bahwa jika kelak dia menjadi Muslimah, dia akan menjadikan ibunya lebih senang karena dia akan menjadi anak yang lebih baik lagi. “Probably in the beginning it’s not really easy to accept the reality. But slowly she will understand you“, kata saya.

Shani berbalik ke temannya dan dengan tersenyum dia berkata: “So I will be Muslim today?”. Temannya yang pemalu itu hanya menjawab dengan senyum.

Segera saya memanggil beberapa saksi sebelum azan dikumandangkan. Setelah hadir 2 saksi, saya menuntun Shani mengikrarkan kalimah Tauhid:

“Laa ilaaha illa Allah-Muhammadan Rasul Allah“, bersamaan dengan panggilan adzan.

Shani segera diajak oleh temannya untuk mengambil wudhu, dan melakukan shalatnya sebagai Muslim untuk pertama kalinya.

Semoga Shani dikuatkan dan selalu dijaga dalan hidayahNya!


Oleh: M. Syamsi Ali, M.A.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat

0 komentar:

Posting Komentar

 
;