Minggu, 08 Januari 2012 0 komentar

Menikmati Kebosanan


Ini sebuah cerita ringan tentang kebosanan.
Seorang tua yang bijak ditanya oleh tamunya.

Tamu: "Sebenarnya apa itu perasaan 'bosan', pak tua?"

Pak Tua: "Bosan adalah keadaan dimana pikiran menginginkan perubahan, mendambakan sesuatu yang baru, dan menginginkan berhentinya rutinitas hidup  dan keadaan yang monoton dari waktu ke waktu."

Pak Tua: "Karena kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki."

Tamu: "Bagaimana menghilangkan kebosanan?"

Pak Tua: "Hanya ada satu cara, nikmatilah kebosanan itu, maka kita pun akan  terbebas darinya."

Tamu: "Bagaimana mungkin bisa menikmati kebosanan?"

Pak Tua: "Bertanyalah pada dirimu sendiri: mengapa kamu tidak pernah bosan makan nasi yang sama rasanya setiap hari?"

Tamu: "Karena kita makan nasi dengan lauk dan sayur yang berbeda, PakTua."

Pak Tua: "Benar sekali, anakku, tambahkan sesuatu yang baru dalam rutinitasmu maka kebosanan pun akan hilang."

Tamu: "Bagaimana menambahkan hal baru dalam rutinitas?"

Pak Tua: "Ubahlah caramu melakukan rutinitas itu. Kalau biasanya menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil jongkok atau berbaring. Kalau biasanya  membaca di kursi, cobalah membaca sambil berjalan-jalan atau meloncat-loncat. Kalau biasanya menelpon dengan tangan kanan, cobalah dengan  tangan kiri atau dengan kaki kalau bisa. Dan seterusnya."

Lalu Tamu itu pun pergi. Beberapa hari kemudian Tamu itu mengunjungi Pak Tua lagi.

Tamu: "Pak tua, saya sudah melakukan apa yang Anda sarankan, kenapa saya masih merasa bosan juga?"

Pak Tua: "Coba lakukan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan."

Tamu: "Contohnya?"

Pak Tua: "Mainkan permainan yang paling kamu senangi di waktu kecil dulu."

Lalu Tamu itu pun pergi. Beberapa minggu kemudian, Tamu itu datang lagi ke rumah Pak Tua.

Tamu: "Pak tua, saya melakukan apa yang Anda sarankan. Di setiap waktu senggang saya bermain sepuas-puasnya semua permainan anak-anak yang saya senangi dulu. Dan keajaiban pun terjadi. Sampai sekarang saya tidak pernah merasa bosan lagi, meskipun di saat saya melakukan hal-hal  yang dulu pernah  saya anggap membosankan. Kenapa bisa demikian, Pak Tua?" Sambil tersenyum Pak Tua berkata: "Karena segala sesuatu sebenarnya berasal  dari pikiranmu sendiri, anakku. Kebosanan itu pun berasal dari pikiranmu yang berpikir tentang kebosanan. Saya menyuruhmu bermain seperti anak kecil  agar pikiranmu menjadi ceria. Sekarang kamu tidak merasa bosan lagi karena  pikiranmu tentang keceriaan berhasil mengalahkan pikiranmu tentang kebosanan. Segala sesuatu berasal pikiran. Berpikir bosan menyebabkan kau bosan. Berpikir ceria menjadikan kamu ceria."


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

Tukang Kayu dan Rumahnya


Seorang tukang kayu tua  bermaksud pensiun dari pekerjaannya di  sebuah perusahaan  konstruksi  real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik   perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan  penghasilan  bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa  lelah. Ia ingin  beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan  penuh kedamaian bersama  istri dan keluarganya.

Pemilik  perusahaan merasa sedih kehilangan  salah seorang pekerja terbaiknya. Ia  lalu memohon pada tukang kayu tersebut  untuk membuatkan sebuah rumah  untuk dirinya.

Tukang kayu  mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi,  sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin  segera berhenti. Hatinya tidak  sepenuhnya dicurahkan. Dengan  ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu.  Ia cuma menggunakan  bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang  diminta.  Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus  mengakhiri  kariernya dengan prestasi yang tidak begitu  mengagumkan.

Ketika  pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang  dimintanya, ia  menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Ini   adalah rumahmu, " katanya, "hadiah dari kami."

Betapa   terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja  ia  mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya  sendiri, ia  tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama  sekali. Kini ia harus  tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus  hasil karyanya  sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita.  Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan cara yang  membingungkan. Lebih  memilih berusaha ala kadarnya ketimbang  mengupayakan yang baik. Bahkan, pada  bagian-bagian terpenting dalam  hidup kita tidak memberikan yang terbaik.  Pada akhir perjalanan kita  terkejut saat melihat apa yang telah kita  lakukan dan menemukan diri  kita hidup di dalam sebuah rumah yang  kita ciptakan  sendiri.

Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita  akan  menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda. Renungkan   bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita  bangun.  Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan  dinding dan atap.  Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya  seolah-olah hanya  mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup.  Biarpun kita hanya hidup satu  hari, maka dalam satu hari itu kita  pantas untuk hidup penuh keagungan dan  kejayaan. Apa yang bisa  diterangkan lebih jelas lagi.

Hidup kita  esok adalah akibat  sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari  perhitungan adalah  milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan  masuk dalam  barisan kemenangan.

"Hidup adalah proyek yang kau kerjakan   sendiri".
Banyak manfaat dari renungan-renungan seperti ini, niscaya kebajikan dan hikmat akan kembali jua kepada  kebaikan yang  Anda bagikan.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

Garam dan Telaga


Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.

Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan.

"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.

Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu.

"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
 "Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.

Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

"Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu."

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

Tidak Harus Hitam Atau Putih


Ketika saya di sekolah dasar, saya terlibat dalam sebuah perdebatan seru dengan seorang teman saya di kelas. Saya sudah lupa perdebatan tentang apa, tapi saya tidak pernah lupa pelajaran yang saya dapat hari itu.

Saat itu saya yakin kalau saya benar dan dia salah. Begitu juga dia yang yakin bahwa dirinya benar dan saya yang salah. Akhirnya guru kami memutuskan untuk memberi pelajaran penting kepada kami. Dia membawa kami ke depan kelas dan menempatkan teman saya pada sisi mejanya, sedangkan saya berada pada sisi lainnya. Di tengah-tengah mejanya ada sebuah benda yang lebar dan bundar. Saya bisa melihatnya dengan jelas bahwa benda itu berwarna hitam. Guru saya bertanya kepada teman saya, benda itu berwarna apa.

"Putih", dia menjawab.

Saya tidak bisa percaya dia mengatakan kalau warna benda itu putih, ketika saya melihat benda itu benar-benar hitam! Perdebatan berikutnya mulai terjadi antara saya dan teman saya itu. Dan kali ini tentang warna benda yang kami lihat.

Guru kami menyuruh saya untuk berdiri di tempat teman saya berdiri dan sebaliknya menyuruh teman saya berdiri di tempat saya berdiri. Kami bertukar tempat, dan sekarang guru kami bertanya kepada saya tentang warna benda itu.

Dan saya terpaksa menjawab, "Putih". Benda itu adalah sebuah benda dengan dua sisi yang berbeda warna, dan dari sudut pandang teman saya tadi, berwarna putih. Sedangkan dari sudut pandang saya berwarna hitam.

Guru saya mengajarkan saya sebuah pelajaran yang berharga hari itu : Kamu harus berdiri di sisi lain dimana temanmu berdiri dan melihat suatu keadaan sesuai pandangan mereka untuk mengerti apa perspektif mereka.

By Judie Paxton
from Chicken Soup for the Kid's Soul


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

Ayah, Panutan Anak di setiap Keluarga


Saya mendapat cerita seorang kawan saya, yang memiliki profesi sebagai seorang agen asuransi.

Selama ini dalam melakukan profesinya sebagai agen asuransi, dia kerap kali berangkat dari rumah pada siang hari untuk prospek dan mengunjungi klien atau calon klien.

Pernah suatu ketika kawan saya mendengar percakapan 2 orang puterinya.

Santi (bukan nama asli): "Siska, papa kita kerja apa ya? Kok selalu berangkat siang hari?"
Siska (bukan nama asli): "Saya juga tidak tahu, apa yang dikerjakan papa. Papa kerja tidak seperti papa teman-teman kita, yang selalu berangkat pagi dan kembali malam hari!"
Santi: "Ya, saya juga sering mendapat pertanyaan itu dari teman-teman di kelas. Karena pada saat saya dan seorang teman pulang ke rumah, papa masih di rumah dan tidak bekerja."
Siska: "Saya juga pernah mendengar ejekan dari teman sekolah, bahwa papa kita pengangguran dan tidak bekerja!"
Santi: "Tapi tidak mungkin papa pengangguran, buktinya kita masih bisa makan dan bayar uang sekolah!"
Siska: "Apa, jangan-jangan papa kerjanya jadi maling atau jambret ya!"
Santi: "Kamu jangan nuduh gitu dulu, sebaiknya kita tanya saja dulu ke papa!"
Siska: "Mudah-mudahan pikiranku tidak benar ya! Ich ngeri juga punya papa penjahat!"

Dalam film berjudul "COURAGEOUS" yang saya tonton minggu lalu, menyampaikan pesan bahwa:

"Kejahatan yang dilakukan oleh dan kegagalan yang dialami seorang anak, jauh lebih besar jumlahnya pada keluarga yang tidak memiliki ayah!"

Saya menenggarai:

"Anak-anak jalanan yang berkeliaran di Jakarta, lebih banyak berasal dari keluarga yang tidak memiliki bapak!"

"Para pemakai narkoba, koruptor dan para penjahat yang ada,  berasal dari keluarga yang tidak memiliki ayah/bapak, atau ayah/bapak-nya ada namun tidak berperan dengan benar!"

Seorang ayah atau bapak memiliki peran yang sangat vital dalam membentuk dan menjadikan serta mengantarkan anak-anak dalam keluarganya mencapai manusia mandiri dan mulia. Sungguh saat ini banyak anak-anak di setiap keluarga kehilangan dan merindukan figur ayah.

Oleh sebab itu, Sherif dalam film tersebut menginstruskikan kepada bawahannya: "Setelah selesai tugas, segeralah kalian pulang ke rumah, untuk mengurus dan mencintai keluarga dan anak-anak kalian!"

Keluarga adalah tempat yang sangat tepat untuk memupuk dan menyiangi "bibit" anak menjadi pohon dewasa yang berbuah manis dan memberikan keteduhan.

Ayah adalah contoh dan teladan serta TONGGAK utama dalam setiap keluarga, jadi pesan saya kepada setiap ayah:

"Hadirlah di setiap waktu kala dibutuhkan oleh anak-anak di masa pertumbuhannya, dan masa itu akan menguap serta tidak akan kembali!"

"Berilah siraman rohani, teladan kasih serta ajaran budi pekerti dan budaya sopan santun
dalam masa pertumbuhannya tersebut, kepada setiap anak-anak, dalam bentuk tindakan
dan sikap, serta ucapan!"

"Ambil peran lebih banyak, dan jangan melepas tanggung jawab ini kepada istri Anda semuanya. Melainkan bekerjasamalah bahu membahu, saling mengisilah tidak membiarkan
ada ruang atau celah kosong!"

Anak Anda adalah Anda.
Anak Anda adalah Master Piece Anda.
Anak Anda adalah tanggung jawab Anda.

Bekerjalah sepenuh hati dan berikan contoh pada setiap anak-anak Anda,
bahwa Anda adalah karyawan teladan yang pantas ditiru oleh anak Anda.

@Freddy Pieloor
Family Financial Counselor


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

1,5 Derajat


Bulan September 1983, pesawat Korean Airlines dengan nomor penerbangan 007 berangkat dari Alaska menuju Korea. Rupanya ada kesalahan "kecil" pada komputer navigasi yang tidak diketahui oleh para awak. Arah penerbangan bergeser 1,5 derajat saat berangkat.

Setelah 100 mil, perbedaan itu masih belum dideteksi. Namun pesawat 747 itu terus melenceng dari jalur yang seharusnya, hingga akhirnya melintasi wilayah udara Uni Soviet. Radar Rusia menangkap kesalahan itu, dan jet Rusia mencegat Korean Airlines 007 dan mengeluarkan tembakan yang menyebabkan semua penumpang Korean Airlines meninggal. Hanya gara-gara selisih 1,5 derajat!

Berapa sering kita membiarkan perbedaan "1,5 derajat" dalam hidup kita? Kita berkompromi dan membiarkan standar moral kita bergeser "sedikit" lebih rendah dari apa yang kita ketahui sebagai kebenaran: sedikit kebohongan, sedikit menurunkan mutu, sedikit selingkuh, sedikit pornografi, dan "sedikit" lainnya.

Kita berpikir "sedikit" ini tidak akan berpengaruh. Salah besar! Tanpa disadari, kita menurunkan standar dan terseret dalam dosa yang lebih besar. Maka itu jika kita sudah merasa hidup kita mulai bergeser dari jalur yang benar, lekaslah arahkan diri kita kembali ke jalurnya dan jangan biarkan penyimpangan ini berlarut-larut.

By Fx Fredy Sutanto


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

Aku Minta Maaf, Ayah...


Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istriku sekarang di alam surgawi, baik-baik sajakah? Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan seorang suami yang tidak mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil.

Begitulah yang kurasakan, karena selama ini aku merasa bahwa aku telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anakku, dan gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anakku.

Pada suatu hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera berangkat ke kantor, anakku masih tertidur. Ohhh… aku harus menyediakan makan untuknya. Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan. Setelah memberitahu anakku yang masih mengantuk, kemudian aku bergegas berangkat ke tempat kerja.

Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras. Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah bekerja sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, aku langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam.

Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan, tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Aku membuka selimut dan….. di sanalah sumber ‘masalah’nya … sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!

Oh…Tuhan! Aku begitu marah, aku mengambil gantungan pakaian, dan langsung menghujani anakku yang sedang gembira bermain dengan mainannya, dengan pukulan-pukulan! Dia hanya menangis, sedikitpun tidak meminta belas kasihan, dia hanya memberi penjelasan singkat :

“Ayah, tadi aku merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tapi ayah belum pulang, jadi aku ingin memasak mie instan. Aku ingat, ayah pernah mengatakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tanpa ada orang dewasa di sekitar, maka aku menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi untuk saya . Karena aku takut mie’nya akan menjadi dingin, jadi aku menyimpannya di bawah selimut supaya tetap hangat sampai ayah pulang. Tapi aku lupa untuk mengingatkan ayah karena aku sedang bermain dengan mainanku … aku minta maaf,ayah … “

Seketika, air mata mulai mengalir di pipiku, tetapi, aku tidak ingin anakku melihat ayahnya menangis maka aku berlari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangisku. Setelah beberapa lama, aku hampiri anakku, kupeluknya dengan erat dan memberikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya, lalu aku membujuknya untuk tidur. Kemudian aku membersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur.


Ketika semuanya sudah selesai dan lewat tengah malam, aku melewati kamar anakku, dan melihat anakku masih menangis, bukan karena rasa sakit di pantatnya, tapi karena dia sedang melihat foto ibu yang dikasihinya.

Satu tahun berlalu sejak kejadian itu, aku mencoba, dalam periode ini, untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan juga kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya.

Tanpa terasa, anakku sudah berumur tujuh tahun, dan akan lulus dari Taman Kanak-kanak. Untungnya, insiden yang terjadi tidak meninggalkan kenangan buruk di masa kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.

Namun… belum lama, aku sudah memukul anakku lagi, saya benar-benar menyesal….

Guru Taman Kanak-kanaknya memanggilku dan memberitahukan bahwa anak saya absen dari sekolah. Aku pulang kerumah lebih awal dari kantor, aku berharap dia bisa menjelaskan. Tapi ia tidak ada dirumah, aku pergi mencari di sekitar rumah kami, memangil-manggil namanya dan akhirnya menemukan dirinya di sebuah toko alat tulis, sedang bermain komputer game dengan gembira. Aku marah, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan-pukulan. Dia diam saja lalu mengatakan, “Aku minta maaf, ayah“.

Selang beberapa lama aku selidiki, ternyata ia absen dari acara “pertunjukan bakat” yang diadakan oleh sekolah, karena yg diundang adalah siswa dengan ibunya. Dan itulah alasan ketidakhadirannya karena ia tidak punya ibu……

Beberapa hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah memberitahuku, bahwa disekolahnya mulai diajarkan cara membaca dan menulis. Sejak saat itu, anakku lebih banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis,aku yakin , jika istriku masih ada dan melihatnya ia akan merasa bangga, tentu saja dia membuat saya bangga juga!

Waktu berlalu dengan begitu cepat, satu tahun telah lewat. Tapi astaga, anakku membuat masalah lagi. Ketika aku sedang menyelasaikan pekerjaan di hari-hari terakhir kerja, tiba-tiba kantor pos menelpon. Karena pengiriman surat sedang mengalami puncaknya, tukang pos juga sedang sibuk-sibuknya, suasana hati mereka pun jadi kurang bagus.

Mereka menelponku dengan marah-marah, untuk memberitahu bahwa anakku telah mengirim beberapa surat tanpa alamat. Walaupun aku sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anakku lagi, tetapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena aku merasa bahwa anak ini sudah benar-benar keterlaluan. Tapi sekali lagi, seperti sebelumnya, dia meminta maaf :

“Maaf, ayah”. Tidak ada tambahan satu kata pun untuk menjelaskan alasannya melakukan itu.

Setelah itu saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat-surat tanpa alamat tersebut lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan marah aku mendorong anakku ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol apalagi ini? Apa yang ada dikepalanya?
Jawabannya, di tengah isak-tangisnya, adalah : “Surat-surat itu untuk ibu…..”.
Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. …. tapi aku mencoba mengendalikan emosi dan terus bertanya kepadanya: “Tapi kenapa kamu memposkan begitu banyak surat-surat, pada waktu yg sama?”

Jawaban anakku itu : “Aku telah menulis surat buat ibu untuk waktu yang lama, tapi setiap kali aku mau menjangkau kotak pos itu, terlalu tinggi bagiku, sehingga aku tidak dapat memposkan surat-suratku. Tapi baru-baru ini, ketika aku kembali ke kotak pos, aku bisa mencapai kotak itu dan aku mengirimkannya sekaligus”.

Setelah mendengar penjelasannya ini, aku kehilangan kata-kata, aku bingung, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, dan apa yang harus aku katakan …

Aku bilang pada anakku, “Nak, ibu sudah berada di surga, jadi untuk selanjutnya, jika kamu hendak menuliskan sesuatu untuk ibu, cukup dengan membakar surat tersebut maka surat akan sampai kepada mommy. Setelah mendengar hal ini, anakku jadi lebih tenang, dan segera setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Aku berjanji akan membakar surat-surat atas namanya, jadi saya membawa surat-surat tersebut ke luar, tapi…. aku jadi penasaran untuk tidak membuka surat tersebut sebelum mereka berubah menjadi abu.

Dan salah satu dari isi surat-suratnya membuat hati saya hancur…

 ‘ibu sayang’, Aku sangat merindukanmu! Hari ini, ada sebuah acara ‘Pertunjukan Bakat’ di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk hadir di pertunjukan tersebut.. Tapi kamu tidak ada, jadi aku tidak ingin menghadirinya juga. Aku tidak memberitahu ayah tentang hal ini karena aku takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi.

Saat itu untuk menyembunyikan kesedihan, aku duduk di depan komputer dan mulai bermain game di salah satu toko. Ayah keliling-keliling mencariku, setelah menemukanku ayah marah, dan aku hanya bisa diam, ayah memukul aku, tetapi aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya.

Ibu, setiap hari aku melihat ayah merindukanmu, setiap kali dia teringat padamu, ia begitu sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Aku pikir kita berdua amat sangat merindukanmu. Terlalu berat untuk kita berdua,. Tapi bu, aku mulai melupakan wajahmu. Bisakah ibu muncul dalam mimpiku sehingga aku dapat melihat wajahmu dan ingat kamu? Temanku bilang jika kau tertidur dengan foto orang yang kamu rindukan, maka kamu akan melihat orang tersebut dalam mimpimu. Tapi ibu, mengapa engkau tak pernah muncul?

Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena aku tidak pernah bisa menggantikan kesenjangan yang tak dapat digantikan semenjak ditinggalkan oleh istriku.


Untuk para suami dan laki2, yang telah dianugerahi seorang istri/pasangan yang baik, yang penuh kasih terhadap anak-anakmu selalu berterima-kasihlah setiap hari padanya. Dia telah rela menghabiskan sisa umurnya untuk menemani hidupmu, membantumu, mendukungmu, memanjakanmu dan selalu setia menunggumu, menjaga dan menyayangi dirimu dan anak-anakmu.

Hargailah keberadaannya, kasihilah dan cintailah dia sepanjang hidupmu dengan segala kekurangan dan kelebihannya, karena apabila engkau telah kehilangan dia, tidak ada emas permata, intan berlian yg bisa menggantikannya.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif


7 KEBIASAAN MANUSIA YANG SANGAT EFEKTIF
(7 HABITS OF HIGHLY EFFECTIVE PEOPLE)
oleh STEPHEN R. COVEY

Artikel ini akan menjelaskan secara singkat mengenai isi buku yang fenomenal tulisan Stephen R. Covey. Diterbitkan pertama kali tahun 1989. Anda juga bisa mendownload ringkasan bukunya di sini

KEBIASAAN 1: JADILAH PROAKTIF
Hidup Anda tidak hanya terjadi begitu saja. Apakah Anda menyadari atau tidak, hal itu dirancang oleh Anda sendiri. Pilihan hidup adalah milik Anda. Anda memilih kebahagiaan. Anda memilih kesedihan. Anda memilih ketegasan. Anda memilih ambivalensi. Anda memilih kesuksesan. Anda memilih kegagalan. Anda memilih keberanian. Anda memilih takut. Kebiasaan 1: Jadilah Proaktif berkaitan dengan mengambil tanggung jawab untuk hidup Anda. Anda tidak bisa terus menyalahkan segala sesuatu pada orang tua atau orang lain. Orang proaktif sadar bahwa mereka mampu merespon sesuai keinginannya. Mereka tidak menyalahkan genetika, keadaan, maupun situasi dan kondisi. Orang reaktif, di sisi lain, sering dipengaruhi oleh lingkungan fisik mereka. Mereka menemukan sumber-sumber eksternal untuk disalahkan atas perilaku mereka.

Jika cuaca baik, mereka merasa baik. Jika tidak, hal itu mempengaruhi sikap mereka dan kinerja, sehingga mereka menyalahkan cuaca. Semua kekuatan eksternal bertindak sebagai stimulus yang kita tanggapi. Antara stimulus dan respon adalah kekuatan terbesar Anda - Anda memiliki kebebasan untuk memilih respon Anda. Salah satu hal paling penting yang bisa Anda pilih adalah apa yang Anda katakan. Bahasa Anda adalah indikator yang baik tentang bagaimana Anda melihat diri sendiri. Orang proaktif menggunakan bahasa proaktif - Aku bisa, aku akan, aku lebih suka, dll Orang reaktif menggunakan bahasa reaktif - Saya tidak bisa, saya harus, seandainya. Orang reaktif percaya bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka katakan dan lakukan, karena mereka merasa tidak punya pilihan.

KEBIASAAN 2: MULAILAH DENGAN TUJUAN AKHIR
Apa yang Anda inginkan dalam hidup ini? Apa cita-cita Anda? Pertanyaan yang mungkin sedikit usang, tetapi cobalah pikirkanlah hal ini sejenak. Apakah Anda, sekarang ini, adalah seperti yang Anda inginkan? Jujurlah. Kadang-kadang orang menemukan diri mereka mencapai kemenangan yang kosong, keberhasilan yang telah datang dengan mengorbankan hal-hal yang jauh lebih berharga bagi mereka. Jika tangga naik Anda tidak bersandar di dinding yang tepat, setiap langkah naik yang Anda ambil membawa Anda ke tempat yang salah lebih cepat. Kebiasaan 2 didasarkan pada imajinasi, kemampuan untuk membayangkan dalam pikiran Anda apa yang Anda tidak bisa lihat dengan mata Anda. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu diciptakan dua kali. Ada penciptaan (pertama) mental, dan penciptaan (kedua) fisik. Penciptaan fisik mengikuti mental, seperti membangun berikut cetak biru. Jika Anda tidak membuat usaha sadar untuk memvisualisasikan, siapa Anda dan apa yang Anda inginkan dalam hidup, maka Anda memberdayakan orang lain dan keadaan untuk membentuk Anda dan kehidupan Anda. Salah satu cara terbaik untuk memasukkan Kebiasaan 2 ke dalam hidup Anda adalah untuk mengembangkan Pernyataan Misi Pribadi. Ini adalah rencana Anda untuk sukses. Ini menegaskan kembali siapa Anda, menempatkan tujuan Anda dalam fokus. Pernyataan misi Anda membuat Anda pemimpin kehidupan Anda sendiri. Anda menciptakan takdir Anda sendiri dan mengamankan masa depan yang Anda bayangkan.

KEBIASAAN 3: DAHULUKAN YANG UTAMA
Kebiasaan 1 mengatakan, "Kamu bertanggung jawab Kau pencipta.." Menjadi proaktif adalah tentang pilihan. Kebiasaan 2 adalah ciptaan pertama, atau mental. Dimulai dengan Akhir dalam Pikiran adalah tentang visi. Kebiasaan 3 adalah ciptaan kedua, ciptaan fisik. Ini terjadi hari demi hari, saat demi saat. Ini berkaitan dengan manajemen waktu. Kebiasaan 3 adalah tentang manajemen kehidupan juga - tujuan Anda, nilai-nilai, peran, dan prioritas apa yang menjadi hal pertama? Hal pertama adalah hal-hal yang secara pribadi adalah yang paling bernilai. Jika Anda menempatkan hal pertama, Anda mengorganisir dan mengelola waktu dan peristiwa sesuai dengan prioritas pribadi Anda yang didirikan pada Kebiasaan 2.

KEBIASAAN 4: BERPIKIR MENANG-MENANG
Berpikir Menang-Menang bukanlah tentang menjadi baik, juga bukan teknik cepat memperbaiki. Ini adalah kode berbasis karakter untuk interaksi manusia dan kolaborasi. Sebagian besar dari kita belajar untuk meletakkan harga diri kita pada perbandingan dan persaingan. Kita berpikir tentang berhasil sementara orang lain gagal - yaitu, jika saya menang, Anda kehilangan, atau jika Anda menang, saya kalah. Hidup menjadi sebuah zero-sum game. Hidup laksana kue yang begitu besar dan jika Anda mendapatkan potongan besar, ada yang kurang bagi saya, itu tidak adil, dan saya akan memastikan Anda tidak mendapatkan lagi. Kita semua main game, tapi berapa banyak yang benar-benar menyenangkan? Win-win melihat kehidupan sebagai arena kooperatif, bukan yang kompetitif. Menang-menang adalah kerangka pikiran dan hati yang terus-menerus berusaha mencari manfaat bersama dalam semua interaksi manusia. Berarti kesepakatan menang-menang atau solusi yang saling menguntungkan dan memuaskan. Kami berdua bisa makan kue, dan rasanya sungguh lezat! Seseorang atau organisasi yang melakukan pendekatan konflik dengan sikap menang-menang memiliki tiga karakter penting: Integritas : menempel dengan perasaan sejati Anda, nilai-nilai, dan komitmen Kematangan: mengekspresikan ide dan perasaan Anda dengan keberanian dan pertimbangan untuk ide-ide dan perasaan orang lain Mentalitas Kelimpahan: percaya ada banyak untuk semua orang Banyak orang berpikir dari segi baik atau buruk. Win-win mengharuskan Anda menjadi keduanya. Ini merupakan tindakan menyeimbangkan antara keberanian dan pertimbangan. Untuk memperoleh menang-menang, Anda tidak hanya harus empatik, tetapi Anda juga harus percaya diri. Anda tidak hanya harus perhatian dan sensitif, Anda juga harus berani. Untuk melakukan itu - untuk mencapai yang keseimbangan antara keberanian dan pertimbangan - adalah esensi dari kedewasaan yang nyata dan mendasar untuk menang-menang.

KEBIASAAN 5: BERUSAHA MEMAHAMI DULU, BARU DIMENGERTI
Komunikasi adalah keterampilan paling penting dalam hidup. Anda menghabiskan bertahun-tahun untuk belajar bagaimana membaca dan menulis, dan bertahun-tahun belajar bagaimana untuk berbicara. Tapi bagaimana dengan mendengarkan? Pelatihan apa yang telah Anda miliki yang memungkinkan Anda untuk mendengarkan sehingga Anda benar-benar, sangat memahami manusia lain? Mungkin tidak ada, kan? Jika Anda seperti kebanyakan orang, Anda mungkin pertama-tama harus dipahami, Anda ingin pendapat Anda didengar. Dan dalam melakukannya, Anda dapat mengabaikan orang lain sepenuhnya, berpura-pura bahwa Anda mendengarkan, selektif hanya mendengar bagian-bagian tertentu dari percakapan atau perhatian fokus pada hanya satu dua patah kata, namun melewatkan yang berarti secara keseluruhan. Jadi mengapa hal ini terjadi? Karena kebanyakan orang mendengarkan dengan maksud untuk membalas, bukan untuk mengerti. Anda mendengarkan diri Anda mempersiapkan pikiran Anda apa yang akan Anda katakan, pertanyaan-pertanyaan yang akan Anda akan tanyakan, dll Anda filter semua yang Anda dengar melalui pengalaman hidup Anda, kerangka acuan Anda. Anda memeriksa apa yang Anda dengar terhadap otobiografi Anda dan melihat bagaimana langkah-langkah mencapainya. Dan akibatnya, Anda memutuskan sebelum waktunya apa yang orang lain belum selesai komunikasikan. "Oh, aku tahu persis bagaimana perasaanmu. Aku merasakan hal yang sama." "Aku punya hal yang sama terjadi padaku." "Biarkan saya memberitahu Anda apa yang saya lakukan dalam situasi yang sama." Karena Anda sering mendengarkan autobiography Anda sendiri, Anda cenderung untuk menanggapi dengan salah satu dari empat cara berikut: Mengevaluasi: Kamu menghakimi dan kemudian setuju atau tidak setuju. Probing: Anda mengajukan pertanyaan dari frame Anda sendiri sebagai referensi. Advising: Anda memberi nasihat, saran, dan solusi untuk masalah. Interpreting: Anda menganalisis motif orang lain dan perilaku berdasarkan pengalaman Anda sendiri. Anda mungkin berkata, "Hei, sekarang tunggu, saya hanya berusaha untuk berhubungan dengan orang dengan mengaitkannya pada pengalaman saya sendiri. Apakah itu begitu buruk.?" Dalam beberapa situasi, tanggapan otobiografi mungkin cocok, seperti ketika orang lain secara khusus meminta bantuan dari sudut pandang Anda atau ketika sudah ada tingkat yang sangat tinggi kepercayaannya dalam berhubungan.

KEBIASAAN 6: BERSINERGI
Untuk sederhananya, sinergi berarti "dua kepala lebih baik daripada satu." Bersinergi merupakan kebiasaan kerjasama kreatif. Ini adalah kerja tim, keterbukaan pikiran, dan petualangan untuk menemukan solusi baru untuk masalah lama. Tapi itu tidak hanya terjadi pada sendiri. Ini sebuah proses, dan melalui proses itu, orang membawa semua pengalaman pribadi dan keahlian mereka ke meja diskusi. Bersama-sama, mereka dapat menghasilkan hasil yang jauh lebih baik daripada secara individual. Synergy memungkinkan kita menemukan bersama-sama hal yang kita sangat kecil kemungkinannya untuk menemukan sendiri. Ini adalah gagasan bahwa keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagian. Satu ditambah satu sama dengan tiga, atau enam, atau enam puluh – terserah mana yang Anda inginkan. Ketika orang mulai berinteraksi bersama-sama secara tulus, dan mereka terbuka untuk mempengaruhi satu sama lain, mereka mulai untuk mendapatkan wawasan baru. Kemampuan menciptakan pendekatan baru meningkat secara eksponensial karena adanya perbedaan. Menghargai perbedaan akan benar-benar mendorong sinergi. Apakah Anda benar-benar menilai perbedaan seacra mental, emosional, dan psikologis antara orang-orang? Atau apakah Anda ingin semua orang hanya akan setuju dengan Anda sehingga Anda semua bisa akur? Banyak orang-orang mengira keseragaman untuk kesatuan; kesamaan untuk kesatuan. Satu kata – sungguh membosankan! Perbedaan harus dilihat sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Mereka menambahkan semangat untuk hidup.

KEBIASAAN 7: MENGASAH GERGAJI
Mengasah gergaji berarti melestarikan dan meningkatkan aset terbesar yang Anda miliki – yakni Anda sendiri! Ini berarti memiliki program yang seimbang untuk pembaruan diri dalam empat bidang kehidupan Anda: fisik, sosial / emosional, mental, dan spiritual. Berikut adalah beberapa contoh kegiatan :

Fisik : Makan makanan yang bermanfaat, olahraga, dan istirahat
Sosial / Emosional: Membuat hubungan sosial dan bermakna dengan orang lain 
Mental : Belajar, membaca, menulis, dan mengajar
Spiritual : Menghabiskan waktu di alam, memperluas spiritual diri melalui musik, seni, doa, atau ibadah

Ketika Anda memperbaharui diri Anda sendiri di setiap empat bidang, Anda menciptakan pertumbuhan dan perubahan dalam hidup Anda. Mengasah gergaji membuat Anda segar sehingga Anda dapat terus berlatih enam kebiasaan lainnya. Anda meningkatkan kemampuan Anda untuk menghasilkan dan menangani tantangan-tantangan di sekitar Anda. Tanpa pembaruan ini, tubuh menjadi lemah, pikiran menjadi begitu mekanis, emosi mentah, jiwa tidak peka, dan egois. Bukan sebuah gambaran cantik, bukan? Merasa baik tidak terjadi begitu saja. Hidup dalam keseimbangan berarti mengambil waktu yang diperlukan untuk memperbarui diri sendiri. Ini semua terserah Anda. Anda dapat memperbarui diri melalui relaksasi. Anda dapat memanjakan diri secara mental dan spiritual. Anda dapat mengalami energi bersemangat. Atau Anda dapat menunda dan kehilangan manfaat kesehatan yang baik dan olahraga. Anda dapat merevitalisasi diri sendiri dan menghadapi hari baru dalam perdamaian dan harmoni. Atau Anda dapat bangun di pagi hari penuh apatis karena Anda melakukan sesuatu yang rutin. Hanya ingat bahwa setiap hari memberikan kesempatan baru untuk pembaharuan - sebuah kesempatan baru untuk mengisi ulang (recharge) diri sendiri. Yang dibutuhkan adalah keinginan, pengetahuan, dan keterampilan.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

Cangkir yang Cantik


Sepasang kakek dan nenek pergi belanja di sebuah toko suvenir untuk mencari hadiah buat cucu mereka. Kemudian mata mereka tertuju kepada sebuah cangkir yang cantik. “Lihat cangkir itu,” kata si nenek kepada suaminya. “Kau benar, inilah cangkir tercantik yang pernah aku lihat,” ujar si kakek. Saat mereka mendekati cangkir itu, tiba-tiba cangkir yang dimaksud berbicara “Terima kasih untuk perhatiannya, perlu diketahui bahwa aku dulunya tidak cantik. Sebelum menjadi cangkir yang dikagumi, aku hanyalah seonggok tanah liat yang tidak berguna. Namun suatu hari ada seorang pengrajin dengan tangan kotor melempar aku ke sebuah roda berputar. . Kemudian ia mulai memutar-mutar aku hingga aku merasa pusing. Stop ! Stop ! Aku berteriak, Tetapi orang itu berkata “belum !” lalu ia mulai menyodok dan meninjuku berulang-ulang. Stop! Stop ! teriakku lagi. Tapi orang ini masih saja meninjuku, tanpa menghiraukan teriakanku. Bahkan lebih buruk lagi ia memasukkan aku ke dalam perapian. Panas ! Panas ! Teriakku dengan keras.

Stop ! Cukup ! Teriakku lagi. Tapi orang ini berkata “belum !”Akhirnya ia mengangkat aku dari perapian itu dan membiarkan aku sampai dingin. Aku pikir, selesailah penderitaanku. Oh ternyata belum. Setelah dingin aku diberikan kepada seorang wanita muda dan dan ia mulai mewarnai aku. Asapnya begitu memualkan. Stop ! Stop ! Aku berteriak. Wanita itu berkata “belum !” Lalu ia memberikan aku kepada seorang pria dan ia memasukkan aku lagi ke perapian yang lebih panas dari sebelumnya! Tolong ! Hentikan penyiksaan ini ! Sambil menangis aku berteriak sekuat-kuatnya. Tapi orang ini tidak peduli dengan teriakanku.Ia terus membakarku. Setelah puas “menyiksaku” kini aku dibiarkan dingin.Setelah benar-benar dingin, seorang wanita cantik mengangkatku dan menempatkan aku dekat kaca. Aku melihat diriku. Aku terkejut sekali. Aku hampir tidak percaya, karena di hadapanku berdiri sebuah cangkir yang begitu cantik. Semua kesakitan dan penderitaanku yang lalu menjadi sirna tatkala kulihat diriku.

Sahabat, dalam kehidupan ini adakalanya kita seperti disuruh berlari, ada kalanya kita seperti digencet permasalahan kehidupan. Tapi sadarlah bahwa lakon-lakon itu merupakan cara Tuhan untuk membuat kita kuat. Hingga cita-cita kita tercapai. Memang pada saat itu tidaklah menyenangkan, sakit, penuh penderitaan, dan banyak air mata. Tetapi inilah satu-satunya cara untuk mengubah kita supaya menjadi cantik dan memancarkan kemuliaan.“Sahabat, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai pencobaan, sebab Anda tahu bahwa ujian terhadap kita menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang supaya Anda menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun.”

Apabila Anda sedang menghadapi ujian hidup, jangan kecil hati, karena akhir dari apa yang sedang anda hadapi adalah kenyataan bahwa anda lebih baik, dan makin cantik dalam kehidupan ini. Jika engkau menginginkan sesuatu yang belum pernah kau miliki, lakukanlah sesuatu , yang belum pernah kau lakukan.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

Sayembara Raja


Seorang Raja mengadakan sayembara dan akan memberi hadiah yang melimpah kepada siapa saja yang bisa melukis tentang kedamaian. Ada banyak seniman dan pelukis berusaha keras untuk memenangkan lomba tersebut. Sang Raja berkeliling melihat-lihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang benar-benar paling disukainya. Tapi, sang Raja harus memilih satu di antara keduanya. Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaga itu bagaikan cermin sempurna yang memantulkan kedamaian gunung-gunung yang menjulang mengitarinya. Di atasnya terpampang langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah lukisan terbaik mengenai kedamaian. Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kasar dan gundul.

Di atasnya terlukis langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai. Sedangkan tampak kilat menyambar-nyambar liar. Di sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih. Sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan kedamaian. Tapi, sang Raja melihat sesuatu yang menarik. Di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil di atas sela-sela batu. Di dalam semak-semak itu seekor induk Pipit meletakkan sarangnya. Jadi, di tengah-tengah riuh-rendahnya air terjun, seekor induk Pipit sedang mengerami telurnya dengan damai. Benar-benar damai.

Lukisan manakah yang memenangkan lomba?

Sang Raja memilih lukisan nomor dua.

Tahukah anda mengapa?

"Karena",  jawab sang Raja, "kedamaian bukan berarti anda harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan atau pekerjaan yang keras dan sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan damai, meski anda berada di tengah-tengah keributan luar biasa. Kedamaian hati adalah kedamaian sejati"


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar

10 Tahun Hidupku untuk Membencimu


Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
 
;