Minggu, 01 Januari 2012

Akhir Pencarian Seorang Skip


Sorban, jenggot, dan gamis. Simbol-simbol yang pernah membuatnya muak itu, kini dikenakannya. Pria kulit putih AS itu bahkan telah menyandang nama baru: Yusuf Estes. Pria yang usianya nyaris kepala tujuh ini, lahir di tengah keluarga Kristiani yang taat. Keluarga besar dan kakek moyangnya giat membangun rumah ibadah dan sekolah. Estes masih di SD ketika keluarganya pindah ke Houston, Texas.

Estes remaja tertarik mempelajari berbagai hal yang bersifat spiritual. Mulai ajaran berbagai sekte Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, metafisika, hingga kepercayaan suku Indian. ''Satu yang tidak saya tengok, yaitu Islam,'' katanya seperti ditulis www.islamtomorrow.com Namun, Estes tak kunjung menemukan jawaban memuaska. Soal trinitas, misalnya, dia bertanya kepada para pemuka agama: Bagaimana 'tunggal' menjadi 'tiga'.

Bagaimana Tuhan yang seharusnya berkuasa atas segala sesuatu, malah turun ke bumi, menjadi manusia, dan menanggung dosa umat. ''Mereka tak pernah mampu menjelaskan selain pendapat atau perumpamaan yang ganjil,'' keluhnya.

Selain itu, Estes menghabiskan masa mudanya bergelut di dunia musik. Dia dikenal dengan nama gaul Skip. Usaha yang ditekuni bersama sang ayah selama 30 tahun berhasil membuatnya mengantungi jutaan dolar AS. Awal 1980-an, ayah Estes yang merupakan pendukung Pat Robertson (penginjil AS yang kerap bersuara keras kepada Islam) dan ibu tiri Estes aktif menyebarkan ajaran agama lewat rekaman. Estes sendiri penyebar ajaran gospel.

Semua berjalan seperti biasa, sampai kedatangan seorang pria Mesir, pada 1991. Ayahnya meminta Estes menemui rekan bisnisnya itu. ''No way!'' katanya. Dia tak sudi berurusan dengan seorang Muslim. ''Pembajak, penculik, pengebom, teroris.'' Tapi, sebuah ide muncul di benaknya. ''Kita bisa mengajaknya beralih keyakinan.''

Maka, usai kebaktian, Estes bersama istri dan dua putrinya, menemui pria Mesir itu. Estes tampil dengan Injil di tangan, berkalung salib, dan penutup kepala bertulis ''Jesus is Lord''. Estes membayangkan bertemu pria tinggi besar, berjubah, bersorban, berjanggut panjang, dan mungkin membawa pedang atau bom di balik rompinya. Namun, pria Mesir bernama Mohamed Abel Rehman itu ternyata ramah dan menyenangkan.

''Apa-apaan ini? Tak masuk akal. Saya pikir mereka teroris dan pengebom,'' gumam Estes.
Estes pun mulai menanyai tamunya. ''Anda percaya Tuhan?''
Mohamed menjawab, ''Ya.''
''Anda percaya Injil? Percaya Yesus adalah Mesiah pembawa pesan Tuhan?''
Jawabnya sama, ''Ya.''
Pria ini, pikir Estes, siap dibaptis.

Suatu hari, dengan alasan memudahkan urusan bisnis, Estes meminta Mohamed tinggal di rumahnya. Estes juga menawari seorang pastur, Peter Jacob, yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit untuk tinggal di rumahnya. Kehadiran Mohamed dan Jacob, membuat diskusi di rumah Estes kian hangat. Jacob mengatakan Islam dipelajari di sekolah teologi. Beberapa pastur, bahkan bergelar doktor dalam studi Islam.

Suatu hari, ayah Astes, Jacob, Estes, dan istrinya, membawa berbagai versi Injil dan mendiskusikan mana yang paling benar. Mereka mencoba meyakinkan Mohamed untuk beralih keyakinan. Mohamed lalu ditanya berapa versi Alquran selama 14 abad. Mohamed mengatakan hanya satu. Kitab itu pun dihafal ratusan ribu Muslim di berbagai negara. ''Semuanya tak masuk akal buat saya,'' kata Estes. Sebab, semua bahasa dalam Injil tak digunakan lagi. Dokumen aslinya pun telah hilang ribuan tahun lalu.

Didorong rasa ingin tahu, Jacob meminta Mohamed membawanya ke masjid. Pulangnya, Estes antusias bertanya. Tapi, Jacob mengatakan mereka hanya datang, berdoa, lalu pergi. Tak ada lagu-lagu pujian atau khutbah. Beberapa hari berikutnya, Jacob kembali mengikuti Mohamed ke masjid. Kali ini mereka agak lama. Hari mulai gelap, Mohamed pulang bersama pria berpakaian putih. Estes terkejut melihat pria itu adalah Jacob. ''Pete? Kamu jadi Muslim?''

Estes terguncang. Dia menyepi di lantai atas rumahnya. Tapi, istrinya, tiba-tiba menemuinya, menyatakan meyakini Islam merupakan jalan yang benar dan ingin jadi Muslimah. Estes turun membangunkan Mohamed dan berdikusi sampai Subuh. Menjelang fajar, Estes berseru, ''Saya tahu, kebenaran akhirnya datang.'' Di atas sepotong papan, dia bersujud dan bermunajat, ''Ya Tuhan. Jika Engkau benar-benar ada, tunjukilah saya, tunjukilah saya ....''

Tak ada malaikat dari langit, cahaya terang, atau suara apa pun. Namun, saat bangun, Estes merasakan perubahan. ''Ini saatnya berhenti berbohong. Ini saatnya jujur dan benar,'' tekad Estes. Hari itu, pukul 11.00, di depan Jacob dan Mohamed, Estes mengucapkan dua kalimat syahadat diikuti istrinya. Dia pun bahagia karena dua putrinya dan ayahnya juga bersyahadat. Sebelum wafat dalam usia 86 tahun, ibu tiri Estes mengatakan Nabi Isa bukanlah putra Sang Pencipta, melainkan nabi. ''Lagi, dan lagi, orang memeluk Islam,'' kata Estes.

Sejak menjadi Muslim dan dai, Estes bertemu banyak pemimpin, guru, cendekiawan, dan kaum ateis yang mempelajari Islam dan akhirnya bersyahadat. Namun, Estes yang pernah menjadi utusan untuk Konferensi Perdamaian untuk Para Pemimpin Agama di bawah PBB dan iman di biro penjara di Washington DC, masih menyayangkan sesuatu. ''Meski Islam tumbuh nyaris menyamai Kristen sebagai agama besar, kami melihat banyak orang yang mengaku Muslim tak memahami sepenuhnya atau mewakili sepatutnya pesan perdamaian, penyerahan, dan ketaatan pada Allah.''


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat

0 komentar:

Posting Komentar

 
;