Kunci
berikutnya sebagai pedoman praktisnya adalah tradisi membaca dan berfikir
kritis sebagaimana surat yang pertama turun yaitu iqra’ bismirabbika alladi
khalaq, khalaqal insana min ‘alaq. Kita harus membangun tradisi membaca
ayat-ayat tertulis maupun ayat-ayat yang terhampar di jagad raya. Karena
bangunan ilmu khususnya ilmu modern sudah didirikan sejak enam abad lalu, kita
tak perlu lagi membangun ilmu dari nol dengan mengamati perilaku alam satu demi
satu. Adalah cukup dengan menyimak secara seksama apa yang telah dilakukan oleh
Copernicus, Kepler, Newton, Laplace, Gauss, Maxwell, Planck, Schrodinger,
Feynman, Einstein, Hawking dan banyak lagi lainnya via artikel atau uraiannya
dalam berbagai buku teks. Buku-buku yang memuat ilmu-ilmu yang telah
dikembangkan para ilmuwan tersebut telah memenuhi perpustakaann besar di
seluruh dunia. Ilmunya telah menjadi milik semua orang tanpa kecuali.
Persoalannya, kita ingin memiliki dan menguasainya atau tidak. Atau sebaliknya,
kita justru ingin dikuasainya?
Setelah
menguasai dan mengenali pondasi bangunan ilmu tersebut, kita mungkin melihat
adanya bagian-bagian yang perlu ditata ulang dan menjadikan al-Qur’an sebagai
sumber inspirasinya. Sebagai contoh, dalam tataran epistemologi, ilmu modern
telah menolak memasukkan wahyu sebagai sumber ilmu. Di sinilah kita dapat
menyodorkan wahyu sebagai salah satu sumber perolehan ilmu.
Ada contoh
yang sangat menarik di dalam kitab suci berkaitan dengan ide wahyu sebagai
sumber irformasi ilmu di atas. Ada dua hewan kecil yang diabadikan menjadi nama
surat sekaligus kandungan ayatnya di dalam al-Qur’an. Hewan tersebut adalah
lebah dan semut Lebah atau an-Nahl menjadi nama surat ke-16 sedangkan semut
(an-Naml) surat ke-27.
Keduanya
dapat dijadikan starting point dalam riset biologi khususnya zoologi.
Keistimewaan lebah cukup jelas diuraikan di dalam surat an-Nahl ayat 68-69.
Pertama,
Allah memberi wahyu kepada lebah agar membangun rumah-rumah mereka di gunung-
gunung dan pepohonan dan makan buah-buahan. Kedua, Allah menginformasikan bahwa
dari perut lebah keluar cairan yang dapat diminum dan berfungsi sebagai obat.
Dari ayat-ayat ini rahasia kelebihan dan keutamaan lebah relatif jelas dan
mudah difahami. Tetapi Allah menggunakan pendekatan lain ketika memaparkan
keistimewaan semut.
Allah tidak
menggunakan pendekatan apa adanya seperti kasus lebah melainkan menggunakan
pendekatan keindahan atau kekuatan bahasa Arab. Di dalam kasus lebah, an-nahl
menjadi nama surat sekaligus kata yang digunakan di ayat 68. Pengualangan kata
ini juga terjadi tetapi dalam pola yang berbeda dalam kasus semut. An-naml
menjadi nama surat dan bagian dari frasa di dalam ayat 18 yakni waadin namli,
lembah semut.
Tetapi
lanjutan ayat ini menggunakan istilah yang berbeda untuk semut yakni an-namlatu
bukan an-namlu. Kata an-namlatu berasal dari an-namlu dan mendapat tambahan
huruf ta’ marbutoh (ta’ bulat). Lanjutan ayat ini kembali menggunakan an-namlu
sehingga bila kita bariskan dari nama surat kemudian tiga kata semut di ayat 18
ini adalah an-namlu, an-namlu, an-namlatu, an-namlu. Sedangkan untuk lebah,
an-nahlu dan an-nahlu bukan an-nahlu dan an-nahlatu. Apa artinya ini?
Ayat lain
menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan (QS 44:38-39)
dan ukuran tertentu (QS 25:2). Dengan demikian pemilihan kata an-namlu,
an-namlu, an-namlatu, an-namlu juga mempunyai tujuan. Tetapi tujuan apa? Kaidah
bahasa Arab mengatakan bahwa ta’ marbutoh adalah tanda isim muannats, kata
benda feminin atau kata benda berjenis perempuan. Penerapan kaidah ini
menghasilkan terjemahan “…telah berkata seekor semut betina …” yang belum
pernah penulis temukan dalam Al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia. Semua hanya
menerjemahkan dengan “…telah berkata seekor semut …” tanpa tambahan kata
betina.
Penerjemahan
semut betina bagi an-namlatu memberi implikasi lebih lanjut yaitu bila kita
perhatikan kalimat lanjutannya yang berupa kalimat perintah (fi’il amr).
Singkatnya sang semut betina dalam keadaan sedang memberi instruksi kepada
semut (jantan) yang berjumlah banyak. Bila kasus ini kita personifikasi sejenak
maka dapat dengan mudah disimpulkan bahwa sang semut betina yang memberi
instruksi tidak lain adalah pimpinan komunitas semut. Artinya, menurut kaidah
bahasa dan personifikasi, pimpinan semut adalah ratu, ratu semut. Karena
kesimpulan ini berasal dari interpretasi bukan informasi langsung yakni kata
al-malikatu (ratu) dalam ayat maka sementara kita ambil sebagai hipotesis yang
harus dibuktikan oleh penelitian lapangan.
Riset yang
dilakukan oleh para biolog (Barat) memang membuktikan bahwa pimpinan semut
adalah ratu semut. Artinya, interpretasi linguistik dan personifikasi di atas
absah dan terbukti benar. Tetapi yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan
di sini adalah bagaimana ayat kitab suci diolah dan dijadikan hipotesis suatu
riset ilmiah yang pada akhirnya melahirkan sebuah teori yang indah dan
komprehensif.
Bersambung …
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar