Minggu, 03 Februari 2013

Al-Qur’an (Sumber Inspirasi Sains) – (Part 2)


Kunci berikutnya sebagai pedoman praktisnya adalah tradisi membaca dan berfikir kritis sebagaimana surat yang pertama turun yaitu iqra’ bismirabbika alladi khalaq, khalaqal insana min ‘alaq. Kita harus membangun tradisi membaca ayat-ayat tertulis maupun ayat-ayat yang terhampar di jagad raya. Karena bangunan ilmu khususnya ilmu modern sudah didirikan sejak enam abad lalu, kita tak perlu lagi membangun ilmu dari nol dengan mengamati perilaku alam satu demi satu. Adalah cukup dengan menyimak secara seksama apa yang telah dilakukan oleh Copernicus, Kepler, Newton, Laplace, Gauss, Maxwell, Planck, Schrodinger, Feynman, Einstein, Hawking dan banyak lagi lainnya via artikel atau uraiannya dalam berbagai buku teks. Buku-buku yang memuat ilmu-ilmu yang telah dikembangkan para ilmuwan tersebut telah memenuhi perpustakaann besar di seluruh dunia. Ilmunya telah menjadi milik semua orang tanpa kecuali. Persoalannya, kita ingin memiliki dan menguasainya atau tidak. Atau sebaliknya, kita justru ingin dikuasainya?

Setelah menguasai dan mengenali pondasi bangunan ilmu tersebut, kita mungkin melihat adanya bagian-bagian yang perlu ditata ulang dan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber inspirasinya. Sebagai contoh, dalam tataran epistemologi, ilmu modern telah menolak memasukkan wahyu sebagai sumber ilmu. Di sinilah kita dapat menyodorkan wahyu sebagai salah satu sumber perolehan ilmu.

Ada contoh yang sangat menarik di dalam kitab suci berkaitan dengan ide wahyu sebagai sumber irformasi ilmu di atas. Ada dua hewan kecil yang diabadikan menjadi nama surat sekaligus kandungan ayatnya di dalam al-Qur’an. Hewan tersebut adalah lebah dan semut Lebah atau an-Nahl menjadi nama surat ke-16 sedangkan semut (an-Naml) surat ke-27.

Keduanya dapat dijadikan starting point dalam riset biologi khususnya zoologi. Keistimewaan lebah cukup jelas diuraikan di dalam surat an-Nahl ayat 68-69.

Pertama, Allah memberi wahyu kepada lebah agar membangun rumah-rumah mereka di gunung- gunung dan pepohonan dan makan buah-buahan. Kedua, Allah menginformasikan bahwa dari perut lebah keluar cairan yang dapat diminum dan berfungsi sebagai obat. Dari ayat-ayat ini rahasia kelebihan dan keutamaan lebah relatif jelas dan mudah difahami. Tetapi Allah menggunakan pendekatan lain ketika memaparkan keistimewaan semut.

Allah tidak menggunakan pendekatan apa adanya seperti kasus lebah melainkan menggunakan pendekatan keindahan atau kekuatan bahasa Arab. Di dalam kasus lebah, an-nahl menjadi nama surat sekaligus kata yang digunakan di ayat 68. Pengualangan kata ini juga terjadi tetapi dalam pola yang berbeda dalam kasus semut. An-naml menjadi nama surat dan bagian dari frasa di dalam ayat 18 yakni waadin namli, lembah semut.

Tetapi lanjutan ayat ini menggunakan istilah yang berbeda untuk semut yakni an-namlatu bukan an-namlu. Kata an-namlatu berasal dari an-namlu dan mendapat tambahan huruf ta’ marbutoh (ta’ bulat). Lanjutan ayat ini kembali menggunakan an-namlu sehingga bila kita bariskan dari nama surat kemudian tiga kata semut di ayat 18 ini adalah an-namlu, an-namlu, an-namlatu, an-namlu. Sedangkan untuk lebah, an-nahlu dan an-nahlu bukan an-nahlu dan an-nahlatu. Apa artinya ini?

Ayat lain menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan (QS 44:38-39) dan ukuran tertentu (QS 25:2). Dengan demikian pemilihan kata an-namlu, an-namlu, an-namlatu, an-namlu juga mempunyai tujuan. Tetapi tujuan apa? Kaidah bahasa Arab mengatakan bahwa ta’ marbutoh adalah tanda isim muannats, kata benda feminin atau kata benda berjenis perempuan. Penerapan kaidah ini menghasilkan terjemahan “…telah berkata seekor semut betina …” yang belum pernah penulis temukan dalam Al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia. Semua hanya menerjemahkan dengan “…telah berkata seekor semut …” tanpa tambahan kata betina.

Penerjemahan semut betina bagi an-namlatu memberi implikasi lebih lanjut yaitu bila kita perhatikan kalimat lanjutannya yang berupa kalimat perintah (fi’il amr). Singkatnya sang semut betina dalam keadaan sedang memberi instruksi kepada semut (jantan) yang berjumlah banyak. Bila kasus ini kita personifikasi sejenak maka dapat dengan mudah disimpulkan bahwa sang semut betina yang memberi instruksi tidak lain adalah pimpinan komunitas semut. Artinya, menurut kaidah bahasa dan personifikasi, pimpinan semut adalah ratu, ratu semut. Karena kesimpulan ini berasal dari interpretasi bukan informasi langsung yakni kata al-malikatu (ratu) dalam ayat maka sementara kita ambil sebagai hipotesis yang harus dibuktikan oleh penelitian lapangan.

Riset yang dilakukan oleh para biolog (Barat) memang membuktikan bahwa pimpinan semut adalah ratu semut. Artinya, interpretasi linguistik dan personifikasi di atas absah dan terbukti benar. Tetapi yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan di sini adalah bagaimana ayat kitab suci diolah dan dijadikan hipotesis suatu riset ilmiah yang pada akhirnya melahirkan sebuah teori yang indah dan komprehensif.

Bersambung …


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat

0 komentar:

Posting Komentar

 
;