Pernikahan itu pasti indah,
nyaman, dan menyenangkan. Itu garansi dari Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana
tertuang dalam firmanNya yang suci (Q.S 30:21). Apabila ada ungkapan
“Pernikahan tidak selamanya indah”, pasti ada eror yang dilakukan oleh para
pelaku pernikahan. Entah itu berupa pelanggaran atas rambu-rambu yang telah
ditetapkan dalam proses pencapaiannya. Ataupun sikap manusia yang makin tidak
apresiatif terhadap kewajiban universal dari Pencipta alam semesta ini.
Islam memandang, pernikahan bukan
saja sebagai satu-satunya institusi yang sah, tempat pelepasan hajat birahi
manusia terhadap lawan jenisnya. Tapi yang tak kalah penting adalah, pernikahan
sanggup memberikan jaminan proteksi pada sebuah masyarakat dari ancaman
kehancuran moral dan sosial.
Itulah sebabnya, Islam selalu
mendorong dan memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia untuk segera
melaksanakan kewajiban suci itu. ”Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki serta hamba-hamba sahayamu yang wanita. Jika mereka miskin, Allah
akan membuat mereka kaya dengan karuniaNya. Dan Allah Maha Luas pemberianNya
lagi Maha Mengetahui,” (Q.S 13:38)
Dalam haditsnya, Rasulullah SAW
juga menekankan para pemuda untuk bersegera menikah. “Wahai generasi muda,
barangsiapa di antara kalian telah mampu menikah, maka segeralah menikah.
Karena sesungguhnya menikah itu lebih menjaga kemaluan dan memelihara pandangan
mata. Barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa
menjadi benteng (dari gejolak birahi)” (HR Bukhari).
Dari sini makin jelas, kemana
orientasi perintah menikah itu sesungguhnya. Tujuan pembentukan
institusi-institusi pernikahan (keluarga) tak lain adalah, agar terpancang
sendi-sendi masyarakat yang kokoh. Sebab keluarga merupakan elemen dasar
penopang bangunan sebuah masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat akan kuat dan
kokoh apabila ditopang sendi-sendi yang juga kokoh. Dan kekokohan itu tidak
mungkin tercapai kecuali lewat penumbuhan institusi-institusi keluarga yang
bersih.
Pasal kewajiban menikah adalah
merupakan sunah Nabi SAW yang harus ditaati setiap Muslim, tidak akan kita
bahas lebih jauh di sini. Begitupun soal pernikahan merupakan aktualisasi
keimanan atau aqidah seseorang terhadap Tuhannya, juga tidak akan kita
perpanjang dalam tulisan ini. Sehingga dia menjadi alasan mendasar Islam,
kenapa pernikahan hanya sah jika dilakukan oleh pasangan manusia yang memiliki
aqidah, manhaj (konsep) hidup, serta tujuan hidup yang sama. Yakni mencari
keridhoan Allah ‘Azza wa Jalla.
Ada sisi krusial lain dari
pernikahan yang akan kita bahas lebih jauh. Yakni pernikahan dan kaitannya
dengan peradaban manusia. Pasal ini yang mungkin jarang dicermati oleh
kebanyakan masyarakat, termasuk masyarakat Islam.
Bahwa ada korelasi kuat antara
keberadaan institusi pernikahan dengan potret masyarakat yang akan muncul
(seperti telah disinggung sebelumnya), adalah tidak bisa kita pungkiri. Sebab
indikasinya gampang sekali dilihat dan dirasakan. Masyarakat yang menghargai
pernikahan, pasti mereka merupakan masyarakat yang beradab. Demikian
sebaliknya.
Maka tatkala kita telusuri, apa
penyebab masyarakat Barat menjadi masyarakat yang tumbuh liar tanpa nilai-nilai
etika, moral, dan agama. Itu sangat mudah kita pahami. Lantaran mereka adalah
masyarakat yang tidak memahami makna sakral pernikahan. Hasrat seksual menurut
mereka, bisa mereka lampiaskan kepada siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.
Sehingga tak ada kaitan antara kehormatan dan kesucian seseorang dengan
pernikahan.
Dari sinilah awal munculnya
masyarakat Barat yang tidak beradab. Mereka menjadi masyarakat pemuja syahwat,
menawarkan budaya buka-bukaan aurat alias telanjang, memamerkan secara vulgar
budaya hidup seatap tanpa menikah antara laki-laki dan wanita. Maka kasus-kasus
perceraian kian tidak terhitung jumlahnya. Ribuan anak-anak lahir tanpa jelas
nasabnya (garis keturunannya). Setelah besar, generasi tanpa bapak itu pun
membentuk komunitas anak-anak jalanan yang selalu menimbulkan problem bagi
masyarakat mereka sendiri. Dari situlah siklus budaya nista bermula.
Ironisnya, dalam masyarakat Islam
pun mulai muncul sikap yang kurang apresiatif terhadap perintah menikah. Jika
tidak sampai dikatakan enggan menikah, setidaknya ada gejala masyarakat Islam
mulai bersikap mengulur-ulur waktu pernikahan. Padahal ini sangat berbahaya.
Boleh jadi gaya hidup hedonis Barat yang sangat intens disuguhkan lewat bacaan
dan filem-filem, telah menyebabkan perubahan pola pemikiran masyarakat Islam.
Khususnya dalam menyikapi perintah menikah.
Inilah barangkali yang
menyebabkan pasangan muda-mudi dalam masyarakat kita, lebih senang berlama-lama
pacaran ketimbang memikirkan untuk serius membangun rumah tangga. Kalaupun di
sana-sini marak acara-acara pesta pernikahan, itu mungkin tak lebih hanya
sebuah basa-basi kultural. Semuanya terlepas dari ikatan nilai-nilai religius
yang sakral. Sehingga kita sering menyaksikan pesta-pesta pernikahan, tak lebih
hanya sebagai ajang pamer kemewahan dan bahkan pamer kemaksiatan. Sebab boleh
jadi, sebelum pesta itu berlangsung mereka sudah menjalani praktek-praktek
layaknya kehidupan suami-isteri. Astaghfirullah…!
Kenapa Islam menggesa para pemuda
untuk menikah, semakin jelas kita pahami. Bahwa di tengah maraknya budaya hedonisme
yang menjangkiti dunia, sudah barang tentu institusi-institusi pernikahan kian
dibutuhkan keberadaannya. Namun tentu saja bukan hanya memperbanyak
lembaga-lembaga Robbani itu saja yang kita perhatikan. Tapi yang lebih penting
adalah, bagaimana rambu-rambu suci untuk mencapainya, bisa tetap kita jaga.
Sehingga banyaknya lembaga-lembaga pernikahan berbanding lurus dengan tumbuh
suburnya budaya kesadaran masyarakat untuk memelihara kesucian diri. Dari
keluarga-keluarga yang bersih inilah, kelak akan lahir generasi yang kokoh.
Jika ini yang terjadi, dapat
dipastikan janji Allah, bahwa masyarakat bisa makmur (kaya) dan kuat lewat
jalur pernikahan, akan terbukti. Karena itu makin tertutup alasan bagi para
pemuda-pemudi untuk tidak segera menikah, jika mereka nyata-nyata telah sanggup
melaksanakannya. Dengan kata lain, sikap menunda-nunda untuk segera menikah di
kalangan muda-mudi, memang sangat aneh.
”Aku heran dengan orang yang
tidak mau mencari kekayaan dengan cara menikah. Padahal Allah berfirman; “Jika
mereka miskin, maka Allah akan membuat mereka kaya dengan KeutamaanNya,” kata
Umar bin Khattab r.a.
Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar