Hakikat pertama yang tidak pernah
dibantah ialah bahwa Rasulullah SAW menikah dengan istrinya yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid ketika Khadijah berumur 40 tahun sedangkan Rasulullah
SAW masih berumur 25 tahun, atau menurut setengah riwayat 23 tahun.
Jika Nabi Muhammad SAW seorang
lelaki yang bernafsu besar, seperti yang diandaikan oleh musuh-musuh Islam,
niscaya perkawinan mereka tidak kekal selama 25 tahun sehingga Khadijah
berumur 65 tahun dan baginda berumur 50 tahun.
Selama itu tidak pernah disebut
sejarah bahwa baginda ingin menambah istri lagi, padahal Khadijah lebih tua
sejauh 15 tahun dan baginda masih kuat beristri beberapa orang lagi menurut
kebiasaan orang Arab pada masa itu.
Seorang yang bernafsu besar
biasanya akan berbuat demikian. Bagi baginda, masa untuk menambah istri selama
menjadi suami Khadijah memang cukup banyak, karena sudah 17 tahun nikah dengan
Khadijah barulah baginda mulai menerima wahyu.
Tetapi sebaliknya hanya sesudah Khadijah wafat
barulah baginda menikah lagi, namun istri barunya itu pun bukan seorang wanita
muda yang cantik, tetapi seorang janda yang bernama Suadah binti Zam'ah, yang
umurnya hampir sebaya dengan Khadijah sendiri.
Apakah logik, seorang lelaki yang
bernafsu besar akan memilih wanita tua untuk mengantikan tempat istri pertama
yang sudah wafat? Jawabnya tentulah tidak.
Tetapi hakikat ini tidak diambil
kira oleh para penulis orientalis, sebaliknya mereka membuat rumusan sendiri
kononnya Nabi Muhammad SAW adalah seorang lelaki yang berwatak besar
segala-galanya, termasuk nafsunya bahkan sangat romantis pula.
Tidak pernah terdengar sepanjang
masa mudanya bahwa baginda pernah tergoda oleh kecantikan wanita sedangkan pada
waktu itu wahyu belum turun dan wanita-wanita di sana belum menutup aurat,
malah seperti di tempat lain mereka juga gemar melahirkan perhiasan tubuh
mereka untuk memikat pandangan lelaki. Hanya sesudah Islam daulah islamiyah
tegak di Madinah barulah amalan jahiliah itu dilarang.
Sebelum wahyu turun Nabi Muhammad
SAW belum mempunyai hubungan lagi dengan Tuhannya, dan baginda tidak tertakluk
pada perintah atau teguran-Nya. Dan Khadijah pun tidak mungkin dapat
melarangnya beristri lagi, karena poligami adalah amalan biasa bagi golongan
bangsawan Arab ketika itu.
Nyata bahwa Nabi Muhammad SAW
bukan seorang lelaki biasa, tetapi seorang lelaki yang mempunyai pribadi yang
luar biasa dan berakhlak mulia. Wataknya adalah watak seorang Rasul dan seorang
pemimpin ummah yang paling besar dalam sejarah manusia.
Oleh itu apabila baginda nikah
dengan Suadah sesudah kematian Khadijah, motif pernikahan itu bukan motif
kebanyakkan lelaki lain, yaitu untuk mengganti istrinya yang pergi dengan istri
atau istri-istri yang lebih baik, lebih cantik atau lebih membawa bahagia.
Sebaliknya, ketika baginda
beistri lagi umur baginda sudah 50 tahun, dan Saudah, istri barunya itu lebih
tua daripada umur baginda. Kemudian baginda beristri lagi berturut-turut
seramai tujuh orang dalam jangka masa lima tahun, dan dalam tempo tujuh tahun baginda
menikahi hingga sembilan orang istri.
Kejadian ini memang luar biasa.
Secara rambang mungkin boleh dikatakan bahwa baginda seolah-olah secara
tiba-tiba bertukar watak dan akhlak. Baginda menjadi gemar menambah istri dan
gemar hidup dengan begitu ramai wanita, sedangkan selama lebih 25 tahun beliau
cukup dengan Khadijah seorang saja.
Nyata bahwa kesemua pernikahan
baginda itu semata-mata adalah sebagian daripada rancangan besar dakwahnya demi
memenuhi tugas kerasulannya, sedangkan kerasulan adalah suatu tanggungjawab
yang amat berat.
Oleh itu gambaran yang dilukiskan
oleh para orientalis Barat dalam tulisan mereka mengenai poligami Nabi Muhammad
SAW itu adalah meleset belaka, terutama bila dipadankan dengan nilai ajaran
atau risalah yang disampaikannya kepada manusia.
Memang nyata sekali bahwa
Muhammad SAW bukan hanya seorang lelaki yang luar biasa, bahkan sebagai Rasul
pun hidupnya diatur oleh Allah swt untuk melalui liku-liku kehidupan yang tidak
dilalui oleh lelaki biasa.
Di antara yang luar biasa itu
ialah bahwa pernikahannya dengan Khadijah telah memberi baginda keturunan
lelaki dan perempuan sampai baginda berumur 50 tahun. Keturunan baginda itu
hanya dengan seorang istri saja, tidak dengan istri-istri yang lain.
Kemudian ketika baginda berumur
60 tahun tiba-tiba Mariah, jariah yang dihadiahkan kepadanya oleh Raja Mesir,
melahirkan anak lelaki yang diberi nama Ibrahim, sempurna nama nindanya Nabi
Ibrahim a.s.
Istri-istri baginda yang lain
tidak memberi seorang pun keturunan kepadanya, pada hal di antara mereka ada
yang muda dan ada yang pernah hamil dan melahirkan anak dengan bekas suami
masing-masing.
Bagaimana hakikat kehidupan yang
aneh ini dapat ditafsirkan oleh kita, karena jalan hidup Rasulullah SAW itu
tidak menurut undang-undang alam, karena undang-undang alam biasanya
memungkinkan baginda mempunyai keturunan daripada istri-istri atau salah
seorang istrinya yang sembilan orang itu.
Tetapi Allah menguasai seluruh
alam dan undang-undangNya. Allah melakukan sekehendak-Nya, dan Allah mengatur
hidup Rasulullah SAW sedemikian rupa sehingga baginda tidak diizinkan mempunyai
keturunan daripada kesemua istrinya itu lagi sesudah Khadijah kecuali, Mariah.
Sebagai suami sudah tentu jiwa
Muhammad SAW pun sangat ingin beroleh seorang atau beberapa orang putra lagi,
sekalipun baginda seorang Nabi dan Rasul, apalagi baginda sudah dianggap
sebagai bapa bagi seluruh kaum muslimin.
Begitu sekali kehidupan baginda
diatur oleh Allah hingga keinginannya itu dikabulkan juga dengan kelahiran
Ibrahim ketika baginda berusia 60 tahun. Tetapi tanpa di ketahui oleh baginda,
rupanya Ibrahim dikurniakan hanya untuk menghiburkan hatinya dalam usia yang
lanjut itu saja, bukan untuk jadi penyambung keturunannya sesudah baginda
pergi.
Maka poligami Rasulullah SAW dengan sembilan orang istri dalam jangka masa
tujuh tahun sebelum baginda wafat telah diatur oleh Allah dengan tujuan dan
matlamat tertentu, yang sudah tentu tidak seperti andaian atau tuduhan
musuh-musuh Islam bahwa poligaminya itu hanya didorong oleh hawa nafsu.
Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar