KHUSUS untuk bencana Aceh, saya
terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya?
Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan
dan menghitung nilai-nilai kandungannya?
Wajah Sudrun yang buruk dengan
air liur yang selalu mengalir pelan dari salah satu sudut bibirnya hampir
membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak.
Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan
para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh.
"Jakarta jauh lebih pantas
mendapat bencana itu dibanding Aceh!," aku menyerbu.
"Kamu juga tak kalah pantas
memperoleh kehancuran," Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti
biasa, menyakitkan hati.
"Jadi, kenapa Aceh, bukan
aku dan Jakarta?"
"Karena kalian berjodoh
dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga."
"Orang Aceh-lah yang selama
bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara,
kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan sedalam itu?"
"Penderitaan adalah setoran
termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan,
sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan."
"Termasuk Kiai...."
Cuh! Ludahnya melompat menciprati
mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.
"Kalau itu hukuman, apa
salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan
koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat
kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan
militer tak berkesudahan?"
Sudrun tertawa terkekeh-kekeh.
Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.
"Kamu mempersoalkan Tuhan?
Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?"
katanya.
Aku menjawab tegas,
"Ya."
"Kalau Tuhan diam saja
bagaimana?"
"Akan terus kupertanyakan.
Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan."
"Sampai kapan?"
"Sampai kapan pun!"
"Sampai mati?"
"Ya!"
"Kapan kamu mati?"
"Gila!"
"Kamu yang gila. Kurang
waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak
mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu
katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu
ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu
tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami
menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh
genderang perang menantangNya!"
"Aku ini, Kiai!"
teriakku, "datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa
menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan
otoriter...."
Sudrun malah melompat- lompat.
Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan
mengejekku.
"Kamu jahat," katanya,
"karena ingin menghindar dari kewajiban."
"Kewajiban apa?"
"Kewajiban ilmiah untuk
mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya,
menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh
kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap
diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau
merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban
apa-apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak
atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena
justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar
atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa
yang kamu lakukan ini? Sini, sini..."-ia meraih lengan saya dan menyeret
ke tembok-"Kupinjamkan dinding ini kepadamu...."
"Apa maksud Kiai?," aku
tidak paham.
"Pakailah sesukamu."
"Emang untuk apa?"
"Misalnya untuk membenturkan
kepalamu...."
"Sinting!"
"Kewajiban apa?"
"Kewajiban ilmiah untuk mengakui
bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan
logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan
mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang "Atau kamu saja
yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut
pertimbanganmu?," ia pegang bagian atas bajuku.
"Kamu tahu Muhammad?",
ia meneruskan, "Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi
wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata.
Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia
tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya
sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling
dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung
Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia
bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita
Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan
cucunya yang
"Emang untuk apa?"
"Misalnya untuk membenturkan
kepalamu...."
"Sinting!"
"Membenturkan kepala ke
tembok adalah tahap awal pembelajaran yang
terbaik untuk cara berpikir yang
kau tempuh."
Ia membawaku duduk kembali.
"Atau kamu saja yang jadi
Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?,"
ia pegang bagian atas bajuku. Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras
sehingga saya jatuh ke belakang.
"Kiai," kata saya agak
pelan, "Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon utama eksistensi
Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim...."
"Sangat benar
demikian," jawabnya, "Apa yang membuatmu tidak yakin?"
"Ya Aceh itu, Kiai, Aceh....
Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi."
"Aku tidak meludahimu. Yang
terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa kamu pantas
diludahi."
"Terserah Kiai, asal Rahman
Rahim itu...."
"Rahman cinta meluas, Rahim
cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?"
"Aceh, Kiai, Aceh."
"Rahman menjilat Aceh dari
lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling
beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat
mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah
tersedia. Kepada saudara-saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda
kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran
kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk
bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin
sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan
mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis
yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu,
sehingga akan lahir keputusan dan perubahan membiarkan terus penyakit itu
sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh
penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi
penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih
dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan
bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan
bagi yang masih dibiarkan hidup."
"Bagi kami yang awam, semua
itu tetap tampak sebagai ketidakadilan...."
"Alangkah dungunya
kamu!" Sudrun membentak, "Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan
bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki
kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur."
"Jadi, para koruptor dan
penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?"
"Sampai siang ini, ya.
Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga selama satu dua bulan
terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam,
teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan
sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu
menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk
lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk
mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan...."
"Jangan pula gunung akan
meletus, Kiai!" aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat
Sudrun.
"Bilang sendiri sana sama
gunung!" ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.
"Kiai!" aku meloncat
mendekatinya, "Tolong katakan kepada Tuhan agar beristirahat sebentar dari
menakdirkan bencana-bencana alam...."
"Kenapa kau sebut bencana
alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah
bencana Tuhan?"
Sudrun benar-benar tak bisa
kutahan. Lari menghilang.
Emha Ainun Nadjib Budayawan
Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar