Berbagai
penganut “aliran sesat” sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui
dan membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya.
Berbagai
aliran sesat sudah terbiasa menggunakan kiat-kiat untuk mengelabui dan
membohongi masyarakat dalam menyebarluaskan paham-pahamnya. Berbagai
kebohongan, pengaburan, dan tipu daya juga seringkali dimunculkan dalam kasus
seputar Ahmadiyah. Pada tanggal 3 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah Indonesia
berkirim surat berupa “Ringkasan Penjelasan tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia”
kepada Azyumardi Azra di kantor Sekretariat Wakil Presiden.
Tulisan
ringkas berikut ini merupakan jawaban-jawaban ringkas dan jitu untuk meluruskan
beberapa penjelasan kaum Ahmadiyah, seperti dalam surat mereka ke Azyumardi
Azra di kantor Wapres tersebut. Berikut ini beberapa penjelasan Ahmadiyah dan
jawaban kita.
Ahmadiyah mengatakan:
1. “Syahadat kami adalah syahadat yang
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Asyhadu anlaa-ilaaha illallahu
wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Jawab kita:
Kita perlu
berhati-hati dan mencermati pengakuan semacam itu. Sejak berdirinya, Jemaat
Ahmadiyah sudah mengaburkan makna syahadat, meskipun lafalnya sama dengan
syahadat orang Islam. Kaum Ahmadiyah mengklaim bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah
juga Muhammad dan Rasul Allah. Simaklah buku Memperbaiki Kesalahan (Eik Ghalthi
Ka Izalah), karya Mirza Ghulam Ahmad, yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya
Ponto, (terbitan Jamaah Ahmadiyah cab. Bandung, tahun 1993).
Dalam buku
ini, Mirza Ghulam Ahmad menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan “Muhammad”
dalam ayat tersebut, yakni: "Dalam wahyu ini Allah SWT menyebutku Muhammad
dan Rasul…(hal. 5).
Jadi, inilah
perbedaan keimanan yang sangat mendasar antara Ahmadiyah dengan orang Muslim.
Sebab, bagi umat Islam, kata Muhammad dalam syahadat, adalah Nabi Muhammad saw
yang lahir di Mekkah, bukan yang lahir di India. Lebih jauh lagi, dikatakan
dalam buku ini:
“Dan 20
tahun yang lalu, sebagai tersebut dalam kitab Barahin Ahmadiyah Allah Taala
sudah memberikan nama Muhammad dan Ahmad kepadaku, dan menyatakan aku wujud
beliau juga.” (Hal. 16-17). “….. Dalam hal ini wujudku tidak ada, yang ada
hanyalah Muhammad Musthafa SAW, dan itulah sebabnya aku dinamakan Muhammad dan
Ahmad.” (Hal. 25)
Dalam
Majalah Bulanan resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Nopember 1985 (Nubuwwah
1364 HS), rubrik “Tadzkirah”, disebutkan:
“Dalam wahyu
ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam
Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatku manifestasi dari semua Nabi,
dan memberiku nama mereka. Aku Adam, Aku Seth, Aku Nuh, Aku Ibrahim, Aku Ishaq,
Aku Ismail, Aku Ya’qub Aku Yusuf, Aku Musa, Aku Daud, Aku Isa, dan Aku adalah
penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad SAW, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad
sebagai refleksi. (Haqiqatul Wahyi, h. 72).” (Hal. 11-12)
Sekali lagi,
yang menjadi masalah adalah bahwa bagi kaum Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad juga
mengaku sebagai Muhammad saw, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Bahkan, dalam
buku Ajaranku, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Yayasan Wisma Damai, Bogor,
cetakan keenam,1993, disebutkan: "….. di dalam syariat Muhammad s.a.w
akulah Masih Mau'ud. Oleh karena itu aku menghormati beliau sebagai rekanku ….."
(Hal. 14)
Ahmadiyah mengatakan;
2. “Kitab Suci kami hanyalah Al Qur’anul
Karim.” Ahmadiyah juga mengatakan, bahwa “Tadzkirah” bukanlah kitab suci
mereka, tetapi merupakan pengalaman rohani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad yang
dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada
tahun 1935 (27 tahun setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia tahun 1908).
Jawab kita:
Penjelasan
Ahmadiyah ini juga tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam kitab Tadzkirah yang
asli tertulis di lembar awalnya kata-kata berikut ini: “TADZKIRAH YA’NI WAHYU
MUQODDAS”, artinya TADZKIRAH adalah WAHYU SUCI. Jadi, kaum Ahmadiyah jelas
menganggap bahwa kitab Tadzkirah adalah “wahyu yang disucikan”. Karena itu,
sangat tidak benar jika mereka tidak mengakuinya sebagai Kitab Suci. Sangat
jelas, mereka memiliki kitab suci lain, selain al-Quran, yaitu kitab Tadzkirah.
Tentu saja,
umat Islam seluruh dunia menolak dengan tegas, bahwa setelah Nabi Muhammad saw,
ada nabi lagi, atau ada orang yang menerima wahyu dari Allah SWT. Dalam buku
Apakah Ahmadiyah itu? Karangan HZ. Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad disebutkan:
“Hadhrat
Masih Mau’ud a.s tampil ke dunia dan dengan lantangnya menyatakan, bahwa Allah
Ta’ala bercakap-cakap dengan beliau dan bukan dengan diri beliau saja, bahkan
Dia bercakap-cakap dengan orang-orang yang beriman kepada beliau serta
mengikuti jejak beliau, mengamalkan pelajaran beliau dan menerima petunjuk
beliau. Beliau berturut-turut mengemukakan kepada dunia Kalam Ilahi yang sampai
kepada beliau dan menganjurkan kepada para pengikut beliau, agar mereka pun
berusaha memperoleh ni’mat serupa itu.” (hal. 63-64).
Ahmadiyah mengatakan;
3.
“Kami warga Jemaat Ahmadiyah tidak pernah dan tidak akan mengkafirkan
orang Islam di luar Ahmadiyah, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.”
Jawab kita:
Pengakuan
kaum Ahmadiyah ini pun nyata-nyata tidak sesuai dengan fakta yang ada pada
buku-buku dan terbitan mereka. Dalam buku Amanat Imam Jemaat Ahmadiyah
Khalifatul Masih IV Hazrat Mirza Tahir Ahmad Pada Peringatan Seabad Jemaat
Ahmadiyah Tahun 1989 terbitan Panita Jalsah Salanah 2001, 2002 Jemaat Ahmadiyah
Indonesia, disebutkan:
“Saya
bersaksi kepada Tuhan Yang MahaKuasa dan Yang Selamanya Hadir bahwa seruan
Ahmadiyah tidak lain melainkan kebenaran. Ahmadiyah adalah Islam dalam bentuknya
yang sejati. Keselamatan umat manusia bergantung pada penerimaan agama damai
ini.” (Hal. 6)
“Bilakhir,
perkenankanlah saya dengan tulus ikhlas mengetuk hati anda sekalian sekali lagi
agar sudi menerima seruan Juru Selamat di akhir zaman ini.” (Hal. 10)
Bahkan,
Ahmadiyah punya istilah sendiri untuk menamai para pengikut ajarannya, dengan
tujuan membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya:
Dalam buku
Riwayat Hidup Mirza Ghulam Ahmad - Imam Mahdi dan Masih Mau’ud Pendiri Jemaat
Ahmadiyah, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, cetakan
kedua, 1995, disebutkan:
“Pada tahun
1901, akan diadakan sensus penduduk di seluruh India. Maka Hazrat Ahmad as.
menerbitkan sebuah pengumuman kepada seluruh pengikut beliau untuk mencatatkan
diri dalam sensus tersebut sebagai Ahmadi Muslim. Yakni, pada tahun itulah
Hazrat Ahmad as. telah menetapkan nama Ahmadi bagi para pengikut beliau as.,
untuk membedakan diri dari orang-orang Islam lainnya.” (Hal. 47)
Kaum
Ahmadiyah juga menyebut, jemaat mereka adalah laksana perahu Nabi Nuh yang
menyelamatkan. Yang tidak ikut perahu itu akan tenggelam. Dalam Majalah Bulanan
resmi Ahmadiyah “Sinar Islam” edisi 1 Juli 1986 (Wafa 1365 HS), pada salah satu
tulisan dengan judul Ahmadiyah Bagaikan Bahtera Nuh Untuk Menyelamatkan Yang
Berlayar Dengannya, oleh Hazrat Mirza Tahir Ahmad, Khalifatul Masih IV,
dinyatakan:
“Aku ingin
menarik perhatian kalian kepada sebuah bahtera lainnya yang telah dibuat di
bawah mata Allah dan dengan pengarahanNya. Kalian adalah bahtera itu, yakni
Jemaat Ahmadiyah. Masih Mau’ud a.s. diberi petunjuk oleh Allah melalui wahyu
yang diterimanya bahwa beliau hendaklah mempersiapkan sebuah Bahtera. Bahtera
itu adalah Jemaat Ahmadiyah yang telah mendapat jaminan Allah bahwa barang
siapa bergabung dengannya akan dipelihara dari segala kehancuran dan
kebinasaan.”.………….
“Ini adalah
suatu pelajaran lain yang hendaknya diperhatikan oleh anggota-anggota Jemaat.
Sungguh terdapat jaminan keamanan bagi mereka yang menaiki Bahtera Nuh, baik
bagi para anggota keluarga Masih Mau’ud a.s. maupun bagi orang-orang yang,
meskipun tidak mempunyai hubungan jasmani dengannya, menaiki Bahtera itu dengan
jalan mengikuti ajaran beliau”. ………….
“Semoga
Allah memberi kemampuan kepada kita untuk melindungi Bahtera ini dengan
sebaik-baiknya, dengan ketakwaan dan ketabahan yang sempurna, dan dengan
kebenaran yang sempurna – Bahtera yang telah dibina demi keselamatan seluruh
dunia. Amin!”. (Hal. 12, 13, 16, 30)
Kesimpulan:
Kita jangan
mudah tertipu dengan penjelasan-penjelasan yang tampak indah, padahal, dunia
Islam sejak dulu sudah tahu, apa dan bagaimana sebenarnya ajaran Ahmadiyah.
Intinya, mereka mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi, Isa al-Mau’ud, dan
Imam Mahdi. Mereka juga tidak mau bermakmum kepada orang Islam dalam shalat,
karena orang Islam tidak mengimani Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi.
Jadi, antara
Islam dan Ahmadiyah memang ada perbedaan dalam masalah keimanan. Oleh sebab
itulah, berbagai fatwa lembaga-lembaga Islam internasional sudah lama
menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan. Kita berharap
para pejabat dan cendekiawan kita tidak mudah begitu saja menerima penjelasan
Ahmadiyah, tanpa melakukan penelitian yang mendalam. Sebab, tanggung jawab
mereka bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Kita hanya mengingatkan
mereka, tanggung jawab kita masing-masing di hadapan Allah SWT.
Oleh: H.M.
Amin Jamaluddin ( Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam )
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar