Ketika Ibrahim Menangis
Suatu hari, seorang tokoh sufi besar,
Ibrahim bin Adham, mencoba untuk memasuki sebuah tempat pemandian umum.
Penjaganya meminta uang untuk membayar karcis masuk. Ibrahim menggeleng dan mengaku
bahwa ia tak punya wang untuk membeli karcis masuk.
Penjaga pemandian lalu berkata, “Jika
engkau tidak punya uang, engkau tak boleh masuk.” Ibrahim seketika menjerit dan
tersungkur ke atas tanah. Dari mulutnya terdengar ratapan-ratapan kesedihan.
Para pejalan yang lewat berhenti dan berusaha menghiburnya. Seseorang bahkan menawarinya
wang agar ia dapat masuk ke tempat pemandian.
Ibrahim menjawab, “Aku menangis bukan
karena ditolak masuk ke tempat pemandian ini. Ketika si
penjaga meminta ongkos untuk membayar
karcis masuk, aku langsung teringat pada sesuatu yang membuatku menangis. Jika
aku tak diizinkan masuk ke pemandian dunia ini kecuali jika aku membayar tiket
masuknya, harapan apa yang bisa kumiliki agar diizinkan memasuki surga? Apa
yang akan terjadi padaku jika malaikat menuntut: Amal salih apa yang telah kau
bawa? Apa yang telah kau kerjakan yang cukup berharga untuk boleh dimasukkan ke
surga? Sama ketika aku diusir dari pemandian karena tak mampu membayar, aku
tentu tak akan diperbolehkan memasuki surga jika aku tak mempunyai amal salih
apa pun. Itulah sebabnya aku menangis dan meratap.”
Dan orang-orang di sekitarnya yang
mendengar ucapan itu langsung terjatuh dan menangis bersama Ibrahim.
Hadiah Salat Malam
Seorang pencuri masuk ke rumah Ahmad
bin Khazruya, seorang sufi besar. Ia sibuk mencari barang berharga untuk
dicuri, tetapi ia tak menemukan apa-apa. Ketika pencuri itu hendak pergi dengan
kecewa, Ahmad, sang sufi, memanggilnya.
"Anak muda, ambillah ember ini dan
timba air dari sumur. Berwudhulah kau dengan air itu dan dirikanlah solat.
Kalau ada sesuatu, nanti aku berikan padamu, supaya kau tak pulang dengan
tangan hampa," ujar Ahmad.
Orang itu mengikuti perintah Ahmad.
Ketika pagi tiba, seorang pria dari kota datang membawa kantong berisi seratus
dinar dan memberikannya pada Ahmad. Ahmad lalu memberikannya pada si
pencuri.
"Bawalah ini sebagai hadiah untuk
solat malammu," ia berkata. Tubuh pencuri itu bergetar. Ia langsung
menangis terisak-isak.
"Aku telah salah mengambil
jalan," ucapnya di sela tangisan, "tapi semalam saja aku bekerja
untuk Tuhan, Dia telah memberiku ganjaran seperti ini...."
Pencuri itu bertaubat, kembali kepada
Tuhan. Ia menolak mengambil uang emas itu, dan menjadi salah seorang murid
setia Ahmad bin Khazruya.
Satu Hati Dua Cinta
Suatu hari, Fudhail bin Iyadh, duduk
memangku anaknya yang berusia empat tahun. Sesekali ia mencium pipi anak itu
sebagai ungkapan rasa sayang.
“Ayah, apakah kau mencintai aku?” tanya
anak itu.
“Ya,” jawab Fudhail.
“Apakah kau mencintai Tuhan?”
“Ya.”
“Berapa hati yang kau miliki, Ayah?”
“Satu.”
“Dapatkah kau mencintai dua hal dengan
satu hati?” anak itu bertanya lagi.
Saat itu pula Fudhail terhenyak. Ia
sadar yang berbicara bukanlah anak kecilnya melainkan Yang Mahakuasa. Merasa
malu, ia mulai memukuli kepalanya dan bertaubat. Sejak saat itu, ia hanya persembahkan
hatinya untuk Tuhan.
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar