Kisah Sufi dan Saudagar Kaya
Pada suatu hari, seorang Sufi
sedang berdoa dengan khusyu. Seorang saudagar kaya mengamatinya dan tersentuh
karena kekhusyu’an dan ketulusan Sufi itu. Kepada Sufi itu, ia
menawarkan sekantung penuh uang, “Aku tahu kau akan menggunakan uang ini di
jalan Tuhan. Ambillah uang ini.”
“Sebentar,” jawab sang Sufi,
“aku tak yakin apakah aku berhak untuk mengambil uangmu. Apakah kau orang kaya?
Apakah kau punya uang lebih di rumahmu?” “Oh, iya. Setidaknya aku punya seribu keping
emas di rumahku,” saudagar itu mengakui dengan bangga.
“Apa kau ingin punya seribu keping emas
lagi?” Sufi itu bertanya. “Tentu saja. Setiap hari aku bekerja keras
untuk mendapatkan lebih banyak lagi uang.”
“Dan setelah itu, apa kau ingin punya
lebih banyak lagi ribuan keping emas?”
“Pasti. Setiap hari, aku berdoa agar
aku dapat menghasilkan lebih banyak uang untukku.”
Sufi
itu lalu menyerahkan sekantung keping emas kembali kepada saudagar. “Maaf, aku
tak dapat mengambil emasmu,” jawab Sufi itu, “seorang yang kaya tak
berhak untuk mengambil uang dari seorang pengemis.”
“Bagaimana kau ini? Enak saja kau sebut
dirimu orang kaya dan kau panggil aku pengemis!” saudagar Itu marah-marah.
Sang Sufi menjawab, “Aku
adalah orang kaya karena aku puas dengan apa saja yang Tuhan berikan kepadaku.
Sementara kau adalah pengemis, karena tidak peduli berapa banyak yang kau
miliki, kau selalu tidak puas, dan selalu meminta lebih kepada Tuhan.”
Tugas Murid Junaid
Junaid Al-Baghdadi, seorang tokoh sufi,
mempunyai anak didik yang amat ia senangi. Santri-santri Junaid yang lain
menjadi iri hati. Mereka tak dapat mengerti mengapa Syeikh memberi perhatian khusus
kepada anak itu.
Suatu saat, Junaid menyuruh semua
santrinya untuk membeli ayam di pasar untuk kemudian menyembelihnya. Namun
Junaid memberi syarat bahwa mereka harus menyembelih ayam itu di tempat di mana
tak ada yang dapat melihat mereka. Sebelum matahari terbenam, mereka harus
dapat menyelesaikan tugas itu.
Satu demi satu santri kembali ke hadapan
Junaid, semua membawa ayam yang telah tersembelih. Akhirnya ketika matahari
tenggelam, murid muda itu baru datang, dengan ayam yang masih hidup. Santri-santri
yang lain menertawakannya dan mengatakan bahwa santri itu tak bisa melaksanakan
perintah Syeikh yang begitu mudah.
Junaid lalu meminta setiap santri untuk
menceritakan bagaimana mereka melaksanakan tugasnya. Santri pertama berkata
bahwa ia telah pergi membeli ayam, membawanya ke rumah, lalu mengunci pintu,
menutup semua jendela, dan membunuh ayam itu. Santri kedua bercerita bahwa ia
membawa pulang seekor ayam, mengunci rumah, menutup jendela, membawa ayam itu
ke kamar mandi yang gelap, dan menyembelihnya di sana. Santri ketiga berkata
bahwa ia pun membawa ayam itu ke kamar gelap tapi ia juga menutup matanya
sendiri. Dengan itu, ia fikir, tak ada yang dapat melihat penyembelihan ayam
itu. Santri yang lain pergi ke hutan yang lebat dan terpencil, lalu memotong ayamnya.
Santri yang lain lagi mencari gua yang amat gelap dan membunuh ayam di sana.
Tibalah giliran santri muda yang tak
berhasil memotong ayam. Ia menundukkan kepalanya, malu karena tak dapat
menjalankan perintah guru, “Aku membawa ayam ke rumahku. Tapi di rumahku tak ada
tempat di mana Alloh tak melihatku. Aku pergi ke hutan lebat, tapi Dia masih
bersamaku. Bahkan di tengah gua yang teramat gelap, Dia masih menemaniku. Aku
tak boleh pergi ke tempat di mana tak ada yang melihatku.
Bukti Cinta Pada Nabi
Alkisah, di negeri Arab ada seorang
janda miskin yang mempunyai anak. Karena anaknya menangis kelaparan, janda itu
terpaksa harus meninggalkan rumahnya untuk berkelana mencari uang. Di depan sebuah
masjid, ia bertemu seorang muslim dan meminta bantuan. Anakku yatim dan
kelaparan, aku minta pertolonganmu, kata janda itu. Mana buktinya? Lelaki
muslim bertanya. Janda itu tidak bisa membuktikan karena ia sendiri orang asing
di tempat itu. Akhirnya lelaki muslim itu tidak menolongnya.
Setelah itu, janda miskin bertemu
dengan seorang Majusi. Ia pun meminta pertolongannya. Orang Majusi itu membawanya
ke rumahnya dan memuliakannya dengan memberikan wang dan pakaian. Pada malam
harinya, lelaki muslim yang menolak menolong itu bermimpi bertemu dengan
Rasulullah saw. Semua orang mendatangi Nabi dan Nabi menyambut orang-orang itu
dengan baik. Ketika tiba giliran lelaki itu mendatang Rasulullah saw, Nabi
mengusirnya dan menyuruhnya pergi. Lelaki itu berteriak, Ya Rasulullah, aku ini
umatmu yang mencintaimu juga. Rasulullah saw bertanya, Mana buktinya?
Lelaki itu tersadar bahwa Rasulullah
saw menyindirnya karena ia telah meminta bukti saat diminta pertolongan. Ia
menangis. Rasulullah saw lalu menunjukkan sebuah taman yang indah dan gedung yang
megah di surga. Lihat ini, kata Rasulullah saw, seharusnya aku berikan semua
ini untukmu. Tapi karena kau tidak menolong janda dan anak yatim itu, aku
berikan semua ini pada seorang Majusi. Pagi harinya, lelaki itu terbangun. Dia
lalu mencari janda miskin dan ternyata dia menemukannya sedang berada di rumah
seorang Majusi. Ikutlah kau bersamaku, pinta lelaki itu kepada si janda. Tetapi
orang Majusi tidak mau menyerahkannya. Aku akan beri kau ribuan dinar asal kau
mau menyerahkannya, lelaki muslim berkata. Orang Majusi tetap tidak mau. Lelaki
muslim itu akhirnya jengkel dan berkata, Janda ini adalah orang Islam. Seharusnya
yang menolongnya adalah sesama muslim juga!
Orang Majusi itu lalu bercerita, Tadi
malam aku bermimpi bertemu Rasulullah saw. Beliau berkata bahwa beliau akan
memberikan kepadaku surga yang semula akan diberikan kepadamu. Ketahuilah bahwa
pagi ini ketika aku terbangun, aku langsung masuk Islam dan menjadi pengikut
Rasulullah saw karena aku telah menunjukkan bukti bahwa aku adalah salah
seorang pecintanya. Lelaki Majusi itu telah menunjukkan bukti kecintaannya
kepada Rasulullah saw dengan memberikan pertolongan kepada orang yang
memerlukan.
Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar