Bila malam
sudah beranjak mendapati Subuh, bangunlah sejenak. Lihatlah istri Anda yang
sedang terbaring letih menemani bayi Anda. Tataplah wajahnya yang masih
dipenuhi oleh gurat-gurat kepenatan karena seharian ini badannya tak menemukan
kesempatan untuk istirahat barang sekejap, Kalau saja tak ada air wudhu yang
membasahi wajah itu setiap hari, barangkali sisa-sisa kecantikannya sudah tak
ada lagi.
Sesudahnya,
bayangkanlah tentang esok hari. Di saat Anda sudah bisa merasakan betapa segar
udara pagi, Tubuh letih istri Anda barangkali belum benar benar menemukan
kesegarannya. Sementara anak-anak sebentar lagi akan meminta perhatian
bundanya, membisingkan telinganya dengan tangis serta membasahi pakaiannya
dengan pipis tak habis-habis. Baru berganti pakaian, sudah dibasahi pipis lagi.
Padahal tangan istri Anda pula yang harus mencucinya.
Di saat
seperti itu, apakah yang Anda pikirkan tentang dia? Masihkah Anda memimpikan
tentang seorang yang akan senantiasa berbicara lembut kepada anak-anaknya
seperti kisah dari negeri dongeng sementara di saat yang sama Anda menuntut dia
untuk menjadi istri yang penuh perhatian, santun dalam bicara, tulus dalam
memilih kata serta tulus dalam menjalani tugasnya sebagai istri, termasuk dalam
menjalani apa yang sesungguhnya bukan kewajiban istri tetapi dianggap sebagai
kewajibannya.
Sekali lagi,
masihkah Anda sampai hati mendambakan tentang seorang perempuan yang sempurna,
yang selalu berlaku halus dan lembut? Tentu saja saya tidak tengah mengajak
Anda membiarkan istri kita membentak anak-anak dengan mata rnembelalak. Tidak.
Saya hanya ingin mengajak Anda melihat bahwa tatkala tubuhnya amat letih,
sementara kita tak pernah menyapa jiwanya, maka amat wajar kalau ia tidak
sabar. Begitu pula manakala matanya yang mengantuk tak kunjung memperoleh
kesempatan untuk tidur nyenyak sejenak, maka ketegangan emosinya akan menanjak.
Disaat itulah jarinya yang lentik bisa tiba-tiba membuat anak kita rnenjerit karena
cubitannva yanq bikin sakit.
Apa artinya?
Benar, seorang istri shalihah memang tak boleh bermanja-manja secara
kekanak-kanakan, apalagi sampai cengeng. Tetapi istri shalihah tetaplah manusia
yang membutuhkan penerimaan. Ia juga butuh diakui, meski tak pernah meminta
kepada Anda. Sementara gejolak-gejolak jiwa yang memenuhi dada, butuh telinga
yang mau mendengar. Kalau kegelisahan jiwanya tak pernah menemukan muaranya berupa
kesediaan untuk mendengar, atau ia tak pernah Anda akui keberadaannya, maka
jangan pernah menyalahkan siapa-siapa kecuali dirimu sendiri jika ia tiba-tiba
meledak. Jangankan istri kita yang suaminya tidak terlalu istimewa, istri Nabi
pun pernah mengalami situasi-situasi yang penuh ledakan, meski yang membuatnya
meledak-ledak bukan karena Nabi Saw. tak mau mendengar melainkan semata karena
dibakar api kecemburuan. Ketika itu, Nabi Saw. hanya diam menghadapi 'Aisyah
yang sedang cemburu seraya memintanya untuk mengganti mangkok yang dipecahkan.
Alhasil, ada
yang harus kita benahi dalam jiwa kita. Ketika kita menginginkan ibu anak-anak
kita selalu lembut dalam mengasuh, maka bukan hanya nasehat yang perlu kita
berikan. Ada yang lain. Ada kehangatan yang perlu kita berikan agar hatinya
tidak dingin, apalagi beku, dalam menghadapi anak-anak setiap hari. Ada
penerimaan yang perlu kita tunjukkan agar anak-anak itu tetap menemukan
bundanya sebagai tempat untuk memperoleh kedamaian, cinta dan kasih-sayang. Ada
ketulusan yang harus kita usapkan kepada perasaan dan pikirannya, agar ia masih
tetap memiliki energi untuk tersenyum kepada anak-anak kita. Sepenat apa pun ia.
Ada lagi
yang lain: pengakuan. Meski ia tidak pernah menuntut, tetapi mestikah kita
menunggu sampai mukanya berkerut-kerut. Karenanya, marilah kita kembali ke
bagian awal tulisan ini. Ketika perjalanan waktu telah melewati tengah malam,
pandanglah istri Anda yang terbaring letih itu. Lalu pikirkankah sejenak, tak
adakah yang bisa kita lakukan sekedar Untuk menqucap terima kasih atau
menyatakan sayang? Bisa dengan kata yang berbunga-bunga, bisa tanpa kata. Dan
sungguh, lihatlah betapa banyak cara untuk menyatakannya. Tubuh yang letih itu,
alangkah bersemangatnya jika di saat bangun nanti ada secangkir minuman hangat yang
diseduh dengan dua sendok teh gula dan satu cangkir cinta. Sampaikan kepadanya
ketika matanya telah terbuka, "Ada secangkir minuman hangat untuk istriku.
Perlukah aku hantarkan untuk itu?"
Sulit
melakukan ini? Ada cara lain yang bisa Anda lakukan. Mungkin sekedar
membantunya menyiapkan sarapan pagi untuk anak-anak, mungkin juga dengan
tindakan-tindakan lain, asal tak salah niat kita. Kalau kita terlibat dengan
pekerjaan di dapur, rnemandikan anak, atau menyuapi si mungil sebelum
mengantarkannya ke TK, itu bukan karena gender-friendly; tetapi semata karena
mencari ridha Allah. Sebab selain niat ikhlas karena Allah, tak ada artinya apa
yang kila lakukan. Kita tidak akan mendapati amal-amal kita saat berjumpa
dengan Allah di yaumil-kiyamah. Alaakullihal, apa yang ingin Anda lakukan,
terserah Anda. Yang jelas, ada pengakuan untuknya, baik lewat ucapan terima
kasih atau tindakan yang menunjukkan bahwa dialah yang terkasih. Semoga dengan
kerelaan kita untuk menyatakan terima-kasih, tak ada airmata duka yang menetes
dari kedua kelopaknya. Semoga dengan kesediaan kita untuk membuka telinga baginya,
tak ada lagi istri yang berlari menelungkupkan wajah di atas bantal karena
merasa tak didengar. Dan semoga pula dengan perhatian yang kita berikan
kepadanya, kelak istri kita akan berkata tentang kita sebagaimana Bunda 'Aisyah
radhiyallahu anha berucap tentang suaminya, Rasulullah Saw., "Ah, semua
perilakunya menakjubkan bagiku."
Sesudah
engkau puas memandangi istrimu yang terbaring letih, sesudah engkau perhatikan
gurat-gurat penat di wajahnya, maka biarkanlah ia sejenak untuk meneruskan
istirahatnya. Hembusan udara dingin yang mungkin bisa mengusik tidurnya,
tahanlah dengan sehelai selimut untuknya. Hamparkanlah ke tubuh istrimu dengan
kasih-sayang dan cinta yang tak lekang oleh perubahan, Semoga engkau termasuk
laki-laki yang mulia, sebab tidak memuliakan wanita kecuali laki-laki yang
mulia.
Sesudahnya,
kembalilah ke munajat dan tafakkurmu. Marilah kita ingat kembali ketika
Rasulullah Saw. berpesan tentang istri kita. "Wahai manusia, sesungguhnya
istri kalian mempunyai hak atas kalian sebagaimana kalian mempunyai hak atas mereka.
Ketahuilah," kata Rasulullah Saw. melanjutkan, 'kalian mengambil wanita
itu sebagai amanah dari Allah, dan kalian halalkan kehormatan mereka dengan
kitab Allah. Takutlah kepada Allah dalam mengurus istri kalian. Aku wasiatkan
atas kalian untuk selalu berbuat baik. " Kita telah mengambil istri kita
sebagai amanah dari Allah. Kelak kita harus melaporkan kepada Allah Taala
bagaimana kita menunaikan amanah dari-Nya, apakah kita mengabaikannya sehingga
gurat-gurat an dengan cepat rnenggerogoti wajahnya, jauh lebih awal dari usia
yang sebenarnya? Ataukah, kita sempat tercatat selalu berbuat baik untuk istri
? Saya tidak tahu. Sebagaimana saya juga tidak tahu apakah sebagai suami Saya
sudah cukup baik. Jangan-jangan tidak ada sedikit pun kebaikan di mata istri. Saya
hanya berharap istri saya benar-banar memaafkan kekurangan saya sebagai suami.
Indahya, semoga ada kerelaan untuk menerima apa adanya.
Hanya inilah
ungkapan sederhana yang kutuliskan untuknya. Semoga Anda bisa menerima ungkapan
yang lebih agung untuk istri Anda.
Karya :
M. Fauzil Adzim
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar