Alkisah gambar Proklamator
Soekarno-Hatta di lembaran uang pecahan Rp.100.000,- sedang berbincang santai
di suatu sore bersama tumpukan lembaran uang lainnya dalam sebuah dompet kulit.
“Kadang saya ini sering iri kalau liat
Kapiten Pattimura di duit seribuan itu” kata lukisan Soekarno membuka
percakapan.
“Lho memangnya ada apa dengan beliau?”
tanya lukisan Bung Hatta sambil memperbaiki posisi kacamata bingkai tebalnya.
“Lha coba anda bayangkan saja,
hubungannya begitu dekat dengan rakyat kecil dibanding kita - kita ini. Padahal
aslinya saya ini dikenal dekat dengan orang-orang kalangan menengah ke bawah
dan orang-orang susah” kata lukisan Bung Karno dengan agak geram.
“Maksudnya gimana sih?” tanya lukisan
bung Hatta makin penasaran.
“Coba tuh perhatikan.. Kapiten
Pattimura itu zaman sekarang ini sangat akrab sama tukang sayur, pedagang
asongan, tukang parkir, pak ogah yang bantu mengatur lalu lintas di perempatan,
apalagi sama pengemis pinggir jalan, dia juga sering i’tikaf dalam kotak infak
di masjid juga dalam keranjang sumbangan keliling” jawab lukisan Bung Karno
berapi-api.
“Sekarang lihat nih kita.. Saya rasanya
maluuuu banget. Kita malah sekarang sering nongkrong dimana coba? Di bioskop,
di Mall, Supermarket dan Pusat Perbelanjaan di kota- kota besar. Kita sering
banget dibawa ke restoran mewah, ke toko perhiasan dan toko pakaian kelas
atas”.
“Saya sekali-kali pengen juga merasakan
masuk dalam kotak infak di masjid itu, atau diajak berkunjung ke rumah pengemis
lumpuh di pojokan toko sana. Siapa tahu anaknya sekarang sedang menunggu dia
pulang untuk membeli beras buat dimasak untuk makan malam nanti. Wah, pasti
menyenangkan ya mendengar do’a dan ucapan syukur mereka saat pengemis itu
membawa saya berkunjung ke rumahnya”. Mata lukisan Bung Karno menerawang
membayangkan kejadian itu.
“Iya ya Pak.. saya sebenarnya juga
merasakan hal yang sama dengan Bapak-bapak lho” Tiba-tiba lukisan I Gusti
Ngurah Rai di pecahan uang Rp.50.000,- yang sedari tadi mendengarkan perbincangan
itu ikut nimbrung.
“Saya juga sering merasa nggak
enak hati sama lukisan Kapiten Pattimura. Pernah sih kadang-kadang saya ikut
masuk dalam kotak infak di masjid, wuiihh.. isinya penuh sang Kapiten semua..
Ya ada juga memang beberapa lembar Tuanku Imam Bonjol dan Cut Nyak Dien disana,
tapi itu masih bisa dihitung pake jari” sambung lukisan I Gusti Ngurah Rai.
Tiba-tiba terdengar suara serak berat
dari salah satu lembaran uang dalam dompet itu ;
“Sudahlah… mudah-mudahan nanti kalian
bakalan sering mencicipi nikmatnya masuk dalam kotak infak masjid itu atau
dibawa berkunjung ke rumah mereka yang dhuafa itu”.
Serentak mereka semua menoleh mencari
asal suara tadi.
Ternyata itu suara lukisan Kapiten
Pattimura. Terlihat lembarannya sudah sangat kusam dan dekil pertanda sudah
sering berpindah tangan. Jauh beda kalau dibanding lukisan Bung Karno dan Bung
Hatta juga I Gusti Ngurah Rai yang terlihat masih rapi dan licin.
“Manusia umumnya masih belum paham
kalau harta milik mereka itu sejatinya adalah apa yang mereka berikan untuk
yang bermanfaat bagi orang lain. Mereka terlalu egois untuk memenuhi keinginan-
keinginan mereka saja dan jarang memperhatikan orang sekitar yang membutuhkan.
Herannya untuk sesuatu yang bahkan tidak terlalu penting, malah mereka tidak
segan-segan untuk mengeluarkan uang sebesar apapun asal itu untuk memenuhi
hasratnya”. Sambung lukisan Kapiten Patiimura.
Yang lain hanya manggut-manggut
mendengar penjelasan itu.
Selang beberapa waktu, tiba-tiba
terdengar suara seorang manusia dari luar dompet yang pengap :
“Tolong berilah saya sedekah pak,
keluarga kami belum makan dari pagi.”
Pemilik dompet mengeluarkan dompetnya
dari saku celana. Jari-jemarinya menyentuh dan memilih satu persatu lembaran
uang yang ada di dalamnya.
Semua menahan nafas, sambil berharap
merekalah yang akan dibawa pergi untuk kali ini.
Dan selembar uangpun akhirnya keluar
dari dompet tadi berpindah tangan ke seorang pengemis. Selembar uang kumal
bergambar Kapiten Pattimura.
Dengan tersenyum kecut Sang Kapiten
melambaikan tangannya meninggalkan lembaran lain yang hanya bisa menghela nafas
panjang. Kecewa.
Cerita ini adalah satu dari banyak
kisah inspiratif lainnya yang dimuat di buku "ternyata sedekah nggak harus
ikhlas" terbitan Gramedia group.
Mau mengikuti twit dari PS setiap
harinya? follow PS di twitter @pencintasedekah
Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar