Hari ini ia
sengaja datang ke kampus lebih pagi. Selain karena tak ingin terlambat di
kuliah pertama, ia ada janji bertemu dengan Ustdz. Faridz di musholla kampus.
Dia tegakkan
dua rakaat shalat Tahiyatul Masjid, disusul dengan 4 rakaat shalat Dluha. Lalu
dia tengadahkan tangan melantunkan doa.
Tuhan…
Turunkan
satu bidadari untukku
Sebelum
malam memaksaku
Telentang
lantang di pinggir jalan
Turunkan
satu untukku
Sebelum aku
mati geli
Di tali para
penjual hati
Sebelum
terbakar jadi tembikar
Di tungku
penuh gambar
Tuhan…
Turunkan
satu bidadari untukku…
Dia
menyambung ibadah paginya dengan tilawah tartil sambil menunggu Ustdz. datang.
Seorang kawan menghampirinya. Dia tutup tilawahnya setelah menyelesaikan satu
pojok.
“Assalamualaikum
Akh Ilham…” sapa sang kawan ramah.
“Waalikumussalam
warahmatullah… apa kabar akhi?” jawabnya sambil tak lupa bertanya kabar.
“Alhamdulillah
ana bikhoiir… antum sendiri gimana? Kabarnya udah siap nikah nih…” mata sang
kawan mengerling menggodanya. Dia cuma tersenyum, tak berniat menanggapi
gurauannya.
“Akh, di
sini ada bidadari.”
Bidadari?
Darahnya berdesir. Ah, bidadari, kesannya indah.
“Sini, ana
tunjukkan orangnya. Ini akhwat luar biasa, anak kedokteran, prestasinya
brilian, aktivis kampus, ketua pembinaan dan kaderisasi akhwat, akhlaknya
mengagumkan, ibadahnya tak diragukan. Dia pembina adik ane. Cocok banget sama
antum!” kawannya menjelaskan panjang lebar, membuatnya penasaran.
Lalu,
telunjuknya mengarah ke sosok seorang akhwat. Tak lama, yang dibilang bidadari
itu sudah terlihat jelas.
“Masya
Allah… itu yang dibilang bidadari? Mana ada bidadari hitam legam? Yang kubaca
dalam Ibnu Katsir, bidadari itu cantik sekali, kulitnya putih transparan
seperti putih telur. Eh, mana ada di dunia yang begitu ya.. paling ga, kuning
langsatlah. Masa black begitu. Black sweet sih masih banyak yang mau, ini aku
belum lihat sweetnya.” Dia menggerutu dalam hati. Tak berminat meneruskan
percakapan.
“Akh, ane ke
perpustakaan dulu yaa.. bidadari itu, buat antum aja.” Dia berpamitan.
“lho… sama
ane mah ga sekufu akh!”
“Ya udah,
assalamualaikum.” Ilham beranjak meninggalkan kawannya. Baru beberapa langkah,
seorang marbot memanggilnya. Dan menyerahkan amplop putih titipan dari Ustdz.
Faridz. Ustdz tidak bisa datang, makanya amplop itu ia titipkan.
“Hmm… ini
biodata akhwat yang dijanjikan Ustdz.” langkahnya mantap menuju perpustakaan,
tempat paling aman untuk membuka dan membaca biodatanya.
Dia duduk di
sana, mengatur nafasnya yang terengah, bukan karena capek, tapi sibuk menahan
deburan dalam dada. Perlahan dia membuka amplop itu, sengaja ia tinggalkan
selembar foto di dalamnya, dia akan melihatnya nanti.
“Bismillahirrahmaanirrahiim…
“ dia kuatkan hati membaca susunan huruf demi huruf dalam biodata. “Akhwat luar
biasa, usianya, dua tahun dibawahku, lumayan, lebih muda. Pendidikan,
kedokteran umum UI (sedang koas), Alhamdulillah… ayah dan ummi pasti senang
sekali. Sepertinya pas untukku.” Gumannya bahagia. Dia berbunga-bunga. Lalu,
diambilnya selembar foto di dalam amplop, ah… sebentar, biar kutenangkan diri…
Bismillah…
Ah… kenapa
akhwat ini?? Keluhnya. Bunga-bunga yang tadi bermekaran luruh satu persatu,
beterbangan diterpa angin. Lunglai tubuhnya seolah tak bertenaga. Sesak
memenuhi rongga dada.
Kenapa
akhwat ini yang disodorkan padaku? Dia kembali mengeluh. Terbayang kembali
akhwat berkulit legam dan sama sekali tidak cantik menurut ukurannya. “Semoga
ia bukan jodohku..” doanya lancang. Ustadz… masa sih nyariin aku kayak gini?
Kalau kayak gini sih.. aku juga bisa nyari sendiri. Congkak mulai merasuk.
Dikeluarkannya
selembar foto. Foto diri yang sangat dibanggakan. Dia menatap mata elang yang
mengagumkan. Hidung yang mancung, bentuk muka yang menawan. “Apakah salah jika
aku menginginkan akhwat sholihah yang cantik?” Dia mendesah resah.
Dia Memang
Bidadari
Ilham
berusaha menyerahkan semua keputusan pada Allah. Ia akan berikhtiar dengan
wajar dan berdoa dengan kesungguhan. Walau ia belum punya kemantapan namun ia
akan mengosongkan perasaan buruk di hatinya. Ia akan berangkat dengan perasaan
netral. Ia ingin semua langkah dimulai dengan kebersihan hati, kelurusan niat,
ketergantungan yang besar pada Allah, dan kesungguhan ikhtiar. Ia tak ingin
mengedepankan nafsu apalagi diiringi segala penyakit yang mengusamkan kalbu.
Taaruf yang
ia jalani, bersama ukhti Dede -----nama akhwat yang disodorkan Ustdz.
Faridz----- sangat wajar dan biasa saja. Ia didampingi Ustdz. Faridz, sedangkan
Dede didampingi istri beliau. Komunikasi berjalan dengan baik, penyatuan
persepsi lancar, pengungkapan kondisi keluarga
dan latar belakangnya juga lancar.
Ilham
merasakan ada yang menarik hatinya. Wajah berkulit hitam itu memendarkan
cahaya. Benar kata adiknya, jika berbicara sedap dipandang dan didengar. Inilah
relativitas kecantikan, meski ada kecantikan yang diakui semua orang.
Ilham sempat
deg-degan dan merasa was-was ikhtiarnya akan gagal ketika orangtua Dede
mengujinya.
“Abah sudah
dengar tentang kebaikan akhlak dan aktivitasmu. Sekarang Abah ingin mendengar
langsung bacaan Quranmu. Abah tak akan menyerahkan putri Abah pada seseorang
yang tidak bagus bacaan Qurannya.” Begitulah ujiannya. Alhamdulillah semua
lancar dan ia diterima meski banyak catatan.
Hingga
tibalah waktu yang dinanti. Hari ini seharusnya Ilham dan keluarganya datang
untuk mengkhitbah Dede. Hari ini seharusnya rombongan berangkat dengan wajah
berseri. Namun, Allah membuat rencana yang sangat berbeda. Ilham yang semalam
penuh diliputi senyum simpul, kini banyak menunduk dan beristighfar.
Sungguh
siapa sangka, lamaran kali ini gagal. Dede, sang aktivis dakwah yang telah
menjual diri dan jiwanya untuk berjihad fii sabiilillah, pulang ke rumah orang
tuanya, bukan untuk dilamar, melainkan untuk dimakamkan.
Takdir Allah
terjadi atasnya. Selama ini ia giat berdakwah di sebuah desa tertinggal. Desa
yang dahulu nyaris kehilangan keislamannya, bergairah kembali dengan pembinaan
rutin dari Dede dan kawan-kawannya. Rupanya, hal itu tidak disenangi oleh
misionaris yang selama ini hampir berhasil memurtadkan penduduk desa itu.
Dia dibunuh,
dalam perjalanannya sepulang dari baksos di desa itu. Dan ia dibunuh, karena
mempertahankan akidahnya. Karena mereka tidak berhasil memaksanya untuk menukar
keyakinannya dan meninggalkan aktivitas dakwahnya.
Ilham
tercenung menatap tanah merah basah di pekuburan itu. Di dalamnya bersemayam
jasad sang mujahidah. Bidadari yang hendak disuntingnya. Semilir angin
menghembuskan wangi kesturi, wangi para syuhada.
Dalam
desahnya ia bergumam,
“Kau
ternyata wanita agung. Kau lebih mulia daripada bidadari. Seorang Ilham tak
diizinkan Allah untuk sekedar mengkhitbahmu, apalagi memilikimu. Maafkan aku,
yang dulu sempat sombong terhadapmu.” Wajahnya tertunduk dalam.
“Subhanallah…
aku tak mengira bahwa kau adalah bidadari yang diturunkan Allah untukku. Allah
menurunkanmu bukan untuk kumiliki, tetapi untuk menegurku dari segala
kesombongan.” Gumamnya penuh penyesalan.
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar