Minggu, 05 Agustus 2012

Pelajaran Luar Biasa


Seorang  wanita  berjilbab  rapi  tampak  sedang  bersemangat  mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya.

Di  tangan  kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Sang guru berkata,  "Saya  punya  permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur,  di  tangan  kanan  ada penghapus. Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah  "Kapur!",  jika  saya  angkat  penghapus  ini, maka berserulah ”Penghapus!"   Murid  muridnya  pun  mengerti  dan  mengikuti.  Sang  guru berganti-gantian  mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat.

Beberapa   saat   kemudian  sang  guru  kembali  berkata,  "Baik  sekarang perhatikan.  Jika  saya angkat kapur, maka berserulah "Penghapus!", jika saya  angkat penghapus, maka katakanlah "Kapur!". Dan dijalankanlah adegan seperti  tadi,  tentu saja murid-murid kerepotan dan kelabakan, dan sangat sulit  untuk  merubahnya.  Namun lambat laun, mereka bisa  beradaptasi dan tidak lagi sulit.

Selang  beberapa  saat,  permainan  berhenti.  Sang  guru tersenyum kepada murid-muridnya.  "Anak-anak,  begitulah kita ummat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun  kemudian,  musuh-musuh  kita  memaksakan kepada kita lewat berbagai cara,   untuk   membalik  sesuatu,  dari  yang  haq  menjadi  bathil,  dan sebaliknya.

Pertama-tama  mungkin  akan  sulit  bagi  kita menerima hal tersebut, tapi karena  terus  disosialisasikan  dengan  cara-cara  menarik  oleh  mereka, akhirnya  lambat  laun  kalian  terbiasa  dengan hal itu. Dan kalian mulai mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik nilai." "Pacaran tidak lagi sesuatu yang tabu, selingkuh dan zinah tidak lagi jadi persoalan,  pakaian  mini  dan  ketat menjadi hal yang lumrah, minum khamr menjadi  suatu  hiburan, materialistis dan permisifitas kini menjadi suatu gaya  hidup  pilihan,  tawuran  menjadi  trend  pemuda, memakan harta riba adalah hal yang biasa... dan lain lain."

"Semuanya  sudah terbalik. Dan tanpa disadari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?" tanya Ibu Guru kepada murid-muridnya. "Paham buu..."

"Baik  permainan  kedua..."  begitu  Bu  Guru  melanjutkan. "Bu Guru punya Qur'an,  Ibu  letakkan  di  tengah karpet. Nah, sekarang kalian berdiri di luar  karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur'an yang ada di tengah tanpa menginjak karpet?" Nah, nah, nah. Murid-Muridnya  berpikir  keras. Ada yang punya alternatif dengan tongkat, dan lain-lain. Akhirnya  Sang  Guru  memberikan jalan keluar, ia gulung karpetnya, dan ia ambil Qur'annya. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet.

"Anak-anak,  begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya... Musuh-musuh Islam tidak  akan  menginjak-injak kalian dengan terang-terangan... Karena tentu kalian  akan menolaknya mentah mentah. Premanpun tak akan rela kalau Islam dihina   di   hadapan   mereka.   Tapi   mereka   akan  menggulung  kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar."

"Jika  seseorang  ingin  membangun  rumah  yang  kuat, maka dibangunnyalah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang  kuat.  Sebaliknya,  jika  ingin  membongkar rumah, tentu susah kalau membongkar   pondasinya   dulu,  tentu  saja  hiasan-hiasan  dinding  akan dikeluarkan  dulu,  kursi  dipindahkan dulu, lemari disingkirkan dulu satu persatu,   baru   rumah   dihancurkan....   Begitulah   musuh-musuh  Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan  mencopot  kalian.  Mulai  dari perangai kalian, cara hidup kalian,  model  pakaian  kalian,  dan  lain-lain, sehingga meskipun kalian muslim,  tapi  kalian  telah  meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara mereka... Dan itulah yang mereka inginkan."

"Ini  semua  adalah  fenomena Ghazwul Fikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh musuh kalian... Paham anak-anak?"
"Paham buu!"
"Kenapa  mereka  tidak  berani  terang-terangan menginjak-injak Islam,Bu?" tanya mereka.
"Sesungguhnya  dahulu  mereka  terang-terangan  menyerang,  semisal Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi."

"Begitulah  Islam...  Kalau  diserang  perlahan-lahan,  mereka  tidak akan sadar,  akhirnya  ambruk.  Tapi  kalau  diserang serentak terang-terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar."

Kalau  saja  ummat  Islam di Ambon tidak diserang, mungkin umat Islam akan lengah terhadap sesuatu yang sebenarnya selalu mengincar mereka. "Kalau  begitu,  kita  selesaikan  pelajaran  kita kali ini, dan mari kita berdoa dahulu sebelum pulang..."

Matahari  bersinar  terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat

0 komentar:

Posting Komentar

 
;