Etika Pergaulan Laki-Laki Dengan Wanita
Muslim
Umat Islam
memiliki beberapa etika tertentu dalam pergaulan antara wanita dan laki-laki
sesuai dengan aturan yang telah digariskan agama. Etika-etika tersebut harus
betul-betul menancap dalam akal pikiran dan kesadaran mereka sebab hal itu
berkaitan dengan kebenaran pemahaman mereka terhadap martabat wanita sebagai
manusia, sebagaimana ditetapkan oleh syariat. Selain itu, etika-etika tersebut
harus menancap dalam hati mereka sebab syariat telah menanamkan dalam hati
manusia rasa santun, lemah lembut, dan belas kasihan kepada kaum wanita. Jika
orang-orang Barat berbaik hati kepada wanita kadang-kadang karena pertimbangan
kesempurnaan dan kadang-kadang sekadar formalitas, maka kita sebagai umat Islam
mempunyai etika tersendiri yang tinggi nilainya dalam memperlakukan wanita.
Dikatakan tinggi, karena hal itu didasarkan atas pertimbangan kesempurnaan dan
muncul dari lubuk hati kita yang dalam. Sementara hal yang mempertajam rasa
santun, lemah lembut, dan belas kasih pada kaum wanita di kalangan umat Islam
merupakan contoh teladan yang diberikan Rasulullah saw. dalam memperlakukan
istri, anak perempuan, istri-istri kaum muslimin, dan wanita-wanita nonmuslim
lainnya.
1. Teladan Nabi saw. dalam Memperlakukan
Istri
Pertama,
membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya. Aisyah pernah ditanya: "Apa
yang dilakukan Nabi saw. di rumahnya?" Aisyah menjawab: "Beliau ikut
membantu melaksanakan pekerjaan keluarganya." (HR Bukhari)
Kedua,
mengajak istri-istrinya jika bepergian. Aisyah berkata: "Biasanya Nabi
saw. apabila ingin melakukan suatu perjalanan, beliau melakukan undian di
antara para istri. Barangsiapa yang keluar nama/nomor undiannya, maka dialah
yang ikut pergi bersama Rasulullah saw.' (HR Bukhari dan Muslim)
Ketiga,
menyambut kedatangan mereka ketika beliau melakukan i'tikaf Shafiyyah, istri
Nabi saw., menceritakan bahwa dia datang mengunjungi Rasulullah saw. ketika
beliau sedang melakukan i'tikaf pada hari sepuluh yang terakhir dari bulan
Ramadhan. Dia berbicara dekat beliau beberapa saat, kemudian berdiri untuk
kembali. Nabi saw. juga ikut berdiri untuk mengantarkannya." (Dalam satu
riwayat dikatakan: "Nabi saw. berada di masjid. Di samping beliau ada para
istri beliau. Kemudian mereka pergi (pulang). Lantas Nabi saw. berkata kepada
Shafiyyah binti Huyay: 'Jangan terburu-buru, agar aku dapat pulang bersamamu'")
(HR Bukhari dan Muslim)
Keempat,
keberatan menerima undangan makan kecuali dengan istrinya. Anas mengatakan
bahwa tetangga Rasulullah saw. --seorang Persia-- pintar sekali membuat masakan
gulai. Pada suatu hari dia membuatkan masakan gulai yang enak untuk Rasulullah
saw. Lalu dia datang menemui Rasululiah saw. untuk mengundang makan beliau.
Beliau bertanya: "Bagaimana dengan ini? (maksudnya Aisyah)." Orang
itu menjawab: "Tidak." Rasulullah saw. berkata: "(Kalau begitu)
aku juga tidak mau." Orang itu kembali mengundang Rasulullah saw.
Rasulullah saw. bertanya: "Bagaimana dengan ini?" Orang itu menjawab:
"Tidak." Rasulullah kembali berkata: "Kalau begitu, aku juga
tidak mau." Kemudian, orang itu kembali mengundang Rasulullah saw. dan
Rasulullah saw. kembali bertanya: "Bagaimana dengan ini?" Pada yang
ketiga kalinya ini orang Persia itu mengatakan: "Ya." Akhirnya mereka
bangun dan segera berangkat ke rumah laki-laki itu." (HR Muslim)
Kelima,
menyediakan tempat duduk yang empuk di atas kendaraan istrinya dan menjadikan
lututnya sebagai tangga istrinya untuk naik ke atas kendaraan. Dari Anas, dia
berkata: "Kemudian kami pergi menuju Madinah (dari Khaibar). Aku lihat
Nabi saw. menyediakan tempat duduk yang empuk dari kain di belakang beliau
untuk Shafiyyah. Kemudian beliau duduk di samping untanya sambil menegakkan
lutut beliau dan Shafiyyah meletakkan kakinya di atas lutut beliau sehingga dia
bisa menaiki unta tersebut." (HR Bukhari)
Keenam,
beliau menawari istrinya menyaksikan permainan orang-orang Habasyah dan ikut
berdiri menonton sampai istrinya minta pulang. Dari Aisyah, dia berkata:
"Pada suatu hari raya orang-orang berkulit hitam mempertontonkan permainan
perisai dan lembing. Aku tidak ingat apakah aku yang meminta atau Nabi saw.
sendiri yang berkata padaku: 'Apakah aku ingin melihatnya?'Aku jawab: 'Ya.'
Lalu beliau menyuruhku berdiri di belakangnya. Pipiku menempel ke pipi beliau.
Beliau berkata: 'Teruskan main kalian, wahai Bani Arfidah (julukan orang-orang
Habsyah)!' Hingga ketika aku sudah merasa bosan beliau bertanya: 'Apakah kamu
sudah puas?'Aku jawab: 'Ya.' Beliau berkata: 'Kalau begitu, pergilah!'"
(HR Bukhari dan Muslim)
2. Teladan Nabi saw. dalam Memperlakukan Anak
Perempuan
Pertama,
berdiri menyambut kedatangan putrinya lalu menciumnya dan mendudukkannya di
sebelah kanannya. Aisyah r.a. berkata:
"Fathimah
datang dengan berjalan kaki. Jalannya persis seperti cara berjalan Nabi saw.
Nabi saw. berkata kepadanya: 'Selamat datang putriku.' Kemudian beliau
mendudukkannya di sebelah kanan atau di sebelah kiri beliau." (HR Bukhari
dan Muslim)
Dalam
riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i dikatakan: "Setiap Fathimah
datang menemui Nabi saw., beliau biasanya berdiri menyambut kedatangannya,
menciumnya, dan menyuruhnya duduk di tempat duduk beliau."
3. Teladan Nabi saw. dalam Memperlakukan
Wanita Muslimah
Pertama,
ketika mendengar tangisan bayi dalam masjid, Nabi saw. memperpendek shalatnya
demi menjaga perasaan ibunya. Anas bin Malik mengatakan bahwa Nabi saw.
bersabda: "Aku sudah mulai melaksanakan shalat dan aku berniat
memanjangkannya. Lalu aku mendengar tangisan seorang bayi, maka aku sengaja
memendekkan shalatku karena aku dapat merasakan betapa gelisahnya hati seorang
ibu karena gangguan tangisan bayinya." (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua,
menunggu sejenak seusai shalat bersama kaum laki-laki agar jamaah wanita bisa
pulang lebih dahulu. Ummu Salamah r.a. berkata: "Biasanya Rasulullah saw.
seusai mengucapkan salam, kaum wanita bergegas berdiri. Beliau menunggu sejenak
sebelum berdiri (untuk pulang)." Ibnu Syihab berkata: "Aku
berpendapat, tetapi Allah lebih tahu, bahwa Nabi saw. diam sejenak itu adalah
supaya kaum wanita habis keluar sebelum tersusul oleh kaum laki-laki yang ingin
pulang." (HR Bukhari)
Ketiga,
memerintah para ibu supaya mengeluarkan anak-anak gadis mereka dan wanita haid
untuk ikut meramaikan pesta hari raya. Ummu Athiyyah berkata: "Aku
mendengar Rasulullah sw. bersabda: 'Hendaklah kalian keluarkan anak-anak gadis,
wanita-wanita yang dipingit, serta perempuan haid agar mereka bisa menyaksikan
hari baik dan nasihat-nasihat orang-orang mukmin; dan hendaklah wanita haid
agak menjauh dari tempat shalat.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Keempat,
Nabi saw. mengira bahwa jamaah wanita tidak bisa mendengar khotbah beliau, lalu
beliau menuju kelompok kaum wanita dan memberikan nasihat khusus kepada mereka.
Kelima, Nabi
saw. berdiri lama menyambut kedatangan wanita-wanita Anshar dan menyatakan
cinta beliau kepada kaum mereka.
Keenam,
menyarankan kepada kusir kendaraan supaya berjalan perlahan demi
mempertimbangkan kemampuan fisik kaum wanita.
Ketujuh,
merasa kasihan kepada seorang wanita yang sedang memanggul biji-biji kurma
sehingga beliau menderumkan untanya untuk memboncengkan wanita itu di
belakangnya.
Kedelapan,
mengizinkan Utsman ibnu Affan r.a. untuk tidak mengikuti Perang Badar guna
menjaga istrinya yang sedang sakit. Ibnu Umar berkata: "Adapun
keikutsertaan Utsman dari Perang Badar adalah karena istrinya, yaitu putri
Rasulullah saw. sedang sakit. Rasulullah saw. berkata kepadanya: 'Sesungguhnya
bagimu pahala orang yang mengikuti Perang Badar.'" (HR Bukhari)
Kesembilan,
menyuruh seorang laki-laki mengurungkan niatnya untuk pergi berjihad guna
menemani istrinya yang ingin melakukan perjalanan haji. Ibnu Abbas r.a.
berkata: "Seorang laki-laki berkata: 'Wahai Rasulullah, aku ingin pergi
bersama pasukan ini dan ini (dalam riwayat Muslim dikatakan: 'Sesungguhnya aku
terkena kewajiban untuk mengikuti pasukan ini dan ini') sementara istriku ingin
menunaikan ibadah haji.' Nabi saw. berkata: 'Pergilah kamu bersamanya (istrimu).'"
(HR Bukhari dan Muslim)
Kesepuluh,
merasa menyesal ketika seorang wanita dikuburkan tanpa sepengetahuan beliau;
lalu beliau pergi bersama beberapa orang sahabat untuk menyalatinya. Abu
Hurairah mengatakan bahwa seorang laki-laki atau wanita hitam pernah bekerja
sebagai tukang sapu masjid (dalam satu riwayat dikatakan: "Aku kira bahwa
dia adalah seorang wanita"). Kemudian dia meninggal. Lalu Rasulullah saw.
menanyakannya. Para sahabat memberitahu: "Dia sudah meninggal." Nabi
saw. berkata: "Mengapa kalian tidak memberitahuku tentang kematiannya?
Sekarang tunjukkan kepadaku di mana kuburannya. Nabi saw. mendatangi
kuburannya, lalu menyalatinya." (HR Bukhari dan Muslim)
Contoh-contoh
mengenai tuntutan dan bimbingan Nabi saw. dalam hal perlakuan terhadap kaum
wanita orang-orang mukminat ini saya akhiri dengan mengemukakan satu contoh
menarik dari luar kitab Bukhari dan muslim. Dalam hal Rasulullah saw.
memperkenankan permintaan seorang wanita yang telah bernazar akan memukul
gendang/rebana di hadapan Rasulullah saw. Buraidah berkata: "Rasulullah
saw. pergi ke suatu peperangan. Ketika pulang, datang seorang budak perempuan
hitam yang berkata: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernazar (yang
intinya) apabila Allah mengembalikanmu dalam keadaan selamat aku akan memukul
gendang di hadapanmu dan bernyanyi.' Rasulullah saw. berkata kepada wanita itu:
'Kalau memang demikian nazarmu, maka laksanakanlah. Tetapi kalau bukan
demikian, tidak usah.' Lalu wanita itu menabuh gendangnya dan bernyanyi."
(HR Bukhari dan Muslim)
4. Teladan Nabi saw. dalam memperlakukan
Wanita Nonmuslim
Pertama,
tidak menghiraukan cemoohan seorang wanita. Jundub bin Abu Sufyan r.a. berkata:
"Rasulullah saw. sakit sehingga beliau tidak bisa mengerjakan shalat malam
dua atau tiga malam. Lalu datang kepadanya seorang wanita dan berkata: 'Wahai
Muhammad, aku benar-benar berharap semoga setanmu telah meninggalkanmu. Aku
tidak pernah melihatnya mendekatimu sejak dua atau tiga malam terakhir ini.'
Lantas Allah SWT menurunkan ayat yang berbunyi: 'Demi waktu matahari
sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada
meninggalkanmu dan tiada (pula) benci kepadamu.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua,
mempertimbangkan keadaan dua orang wanita yang sedang ketakutan. Abu Dzar r.a.
berkata: "Pada suatu malam purnama yang sangat cerah, penduduk Mekah
tertidur lelap dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang melakukan thawaf
di sekitar Ka'bah. Ada dua sosok wanita dari penduduk setempat yang sedang
memohon kepada Isafa dan Na'ilah (nama berhala). Lalu mereka berangkat sambil
menggerutu dan berkata: 'Andaikan saja ada di sini salah seorang dari
orang-orang kita.'"Abu Dzar berkata: "Rasulullah saw. dan Abu Bakar
bertemu dengan mereka ketika mereka sedang turun. Rasulullah saw. bertanya:
'Ada apa dengan kalian?' Mereka berkata: 'Ada penyembah berhala antara Ka'bah
dan tutup (sitar)nya.' Rasulullah saw. bertanya: 'Apa yang dia katakan kepada
kalian.' Mereka menjawab: 'Dia mengatakan kata-kata yang sangat menyebalkan (kotor)."'
(HR Muslim)
Ketiga,
memberikan imbalan kepada seorang wanita setelah memanfaatkannya untuk
kepentingan umat Islam. Dari Imran, dia berkata: "Kami melakukan
perjalanan bersama Nabi saw. orang-orang mengadu kepada beliau karena kehausan.
Akhirnya beliau singgah. Beliau memanggil fulan ... dan memanggil Ali, lalu
berkata: 'Pergilah kalian berdua mencari air.' Mereka pun berangkat. Di tengah
perjalanan mereka bertemu dengan seorang wanita yang duduk di antara dua girbah
air besar di atas untanya. Mereka bertanya kepada wanita itu: 'Di mana airnya?'
Wanita itu menjawab: 'Perkiraanku kemarin, sekarang ini sudah mendapat air,
sementara kaum lelaki kami terlambat karena mencari air.' Mereka berkata kepada
wanita itu: 'Kalau begitu berangkatlah!' Wanita itu bertanya: 'Kemana?' Mereka
menjawab: 'Kepada Rasulullah saw.' Wanita itu berkata: 'Orang yang disebut
orang si Shabi itu?' Mereka berkata: 'Dialah orangnya yang kamu maksud. Karena
itu cepatlah berangkat.' Lalu mereka membawa wanita itu kepada Nabi saw. Nabi
saw. meminta diambilkan sebuah mangkuk, lalu beliau menuangkan isi mangkuk itu
ke moncong kedua girbah air wanita itu ... kemudian dipanggillah orang-orang
seraya berkata: 'Minumlah kalian dan timbalah airnya ...' Wanita itu berdiri
saja melihat apa yang dilakukan orang-orang terhadap airnya. Demi Allah, wanita
itu terperangah. Kami dapat membayangkan bahwa girbah air itu jauh lebih penuh
daripada permulaannya. Lalu Nabi saw. berkata: 'Kumpulkanlah apa-apa yang ada
pada kalian!' Lalu kami mengumpulkan apa-apa yang ada pada kami berupa potongan
roti dan kurma untuk wanita itu. Lalu semua makanan itu kami bungkus dengan
kain, kemudian kami naikkan ke atas untanya. Bungkusan itu mereka letakkan di
depan wanita itu. Rasulullah saw. berkata kepada wanita itu: 'Kami tidak
mengurangi airmu sedikit pun. Akan tetapi Allahlah yang telah memberi kami
minum.' Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa wanita itu menceritakan kepada
Nabi saw. bahwa dia adalah seorang ibu yang menanggung beberapa anak yatim yang
masih kecil-kecil ...' Rasulullah saw. berkata kepadanya: 'Pergilah dan berilah
makan keluargamu dengan ini!' (HR Bukhari dan Muslim)
Keempat,
menerima hadiah seorang wanita kemudian memaafkannya meskipun hadiah yang
berupa makanan itu diracuni. Anas bin Malik r.a. mengatakan bahwa seorang
wanita Yahudi datang kepada Nabi saw. dengan membawa hadiah seekor kambing yang
telah dibubuhi racun. Rasulullah saw. memakan sedikit darinya. Setelah beliau
mengetahuinya, wanita tersebut dibawa menghadap beliau dan ditanya tentang
racun tersebut. Para sahabat bertanya kepada beliau: 'Apakah kami boleh
membunuhnya?' Rasulullah saw. menjawab: 'Tidak.' Dalam riwayat Muslim
dikatakan: 'Lalu wanita itu dibawa menghadap Rasulullah saw. Lalu beliau
menanyakan masalah racun kepada wanita tersebut, wanita itu mengakui: 'Aku
memang bermaksud membunuhmu.' Rasulullah saw. berkata: 'Allah tidak akan
memberikan kekuasaan kepadamu untuk melakukan hal itu.'" (HR Bukhari dan
Muslim)
Kelima,
beliau melarang membunuh wanita dalam peperangan.
Ibnu Umar
r.a. berkata: "Aku menemukan seorang wanita yang terbunuh pada salah satu
peperangan Rasulullah saw. Lantas Rasulullah saw. mengeluarkan larangan
membunuh kaum wanita dan anak-anak." (HR Bukhari dan Muslim)
Keenam,
beliau tidak mau mencaci seorang perempuan; beliau bahkan mendoakannya supaya
mendapat hidayah. Abu Hurairah berkata: "Aku mengajak ibuku yang masih
musyrik untuk masuk Islam. Suatu hari dia menjelek-jelekkan Rasulullah saw. di
hadapanku. Tentu saja aku merasa tidak senang. Aku menemui Rasulullah saw.
sambil menangis dan berkata kepada beliau: 'Wahai Rasulullah, aku mengajak
ibuku masuk Islam, namun dia menolak. Bahkan dia menjelek-jelekkanmu. Tentu
saja aku merasa tidak senang. Doakanlah kepada Allah semoga Dia berkenan
memberikan petunjuk kepada ibuku.' Rasulullah saw. berdoa: 'Ya Allah,
berikanlah petunjuk kepada ibunya Abu Hurairah.' Aku pulang dengan perasaan
gembira karena Nabi saw. telah mendoakannya. Ketika aku datang (ke rumah)...
ibuku membukakan pintu rumah, kemudian dia berkata: 'Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi
tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad itu adalah hamba Allah dan
Rasul-Nya.'" (HR Muslim)
5. Wanita dan Pencapaian Kesempurnaan
Abu Musa
mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Telah sempurna dari kaum
lelaki banyak sekali tetapi belum sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiah
isteri Fir'aun dan Maryam binti Imran." (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata: "Dari sabda Rasulullah saw. (Belum sempurna dari
kalangan perempuan kecuali Asiah istri Fir'aun dan Maryam binti Imran) yang
menggunakan uslub hashr (pembatasan) ini diambil dalil bahwa kedua wanita itu
adalah nabi, sebab golongan yang paling sempurna dari manusia adalah para nabi,
kemudian diikuti oleh para wali, siddiqun, dan syuhada. Jika kedua wanita itu
bukan nabi, sudah pasti dari kalangan wanita tidak ada seorang pun yang
berpredikat wali, siddiqah, atau syahid. Sebab pada kenyataannya sifat-sifat
tersebut ada pada kebanyakan mereka. Seolah-olah nabi berkata dalam haditsnya
tersebut: 'Tidak ada yang diangkat menjadi nabi dari kalangan wanita selain
fulan dan fulan. Dan seandainya beliau berkata 'Tidak terdapat sifat-sifat
seorang siddiqah atau wali atau syahid kecuali pada si fulan dan si fulan,'
maka hal itu tidak benar karena adanya sifat-sifat tersebut pada wanita selain
mereka. Lain halnya kalau yang dimaksud hadits adalah kesempurnaan di luar para
nabi. Maka hadits itu tidak bisa dijadikan dalil tentang kenabian mereka karena
adanya pengertian ini. Wallahu a'lam. Berdasarkan ini, maka yang dimaksud dengan
telah berlalu zamannya adalah bahwa hal semacam itu tidak dialami oleh seorang
pun dari wanita-wanita pada zaman Nabi saw."
Al-Qurthubi
berkata: "Yang benar adalah bahwa Maryam adalah seorang nabi, sebab Allah
SWT telah menurunkan wahyu kepadanya melalui (perantaraan) malaikat
(Jibril)." (Sementara Iyadh berkata bahwa pendapat jumhur ulama bertolak
belakang dengan pendapat Al-Qurthubi).
Sedangkan
Asiah, tidak ada satu dalil pun mengenai kenabiannya.
Al-Kirmaniy
berkata: "Tidak mesti adanya kalimat mengenai kesempurnaan wanita dalam
hadits itu menunjukkan kenabiannya, sebab kalimat sempurna itu digunakan untuk
menunjukkan keutuhan sesuatu dan sampainya di batas penyelesaian dalam masalah
itu. Maka yang dimaksud disini adalah sampainya dia ke batas akhir dari semua
sifat utama yang dimiliki kaum wanita." Al-Kirmaniy berkata: "Telah
diriwayatkan secara ijma tentang tidak adanya kenabian pada wanita. Demikian
katanya. Tetapi, riwayat yang dikutip dari al-Asy'ari mengatakan bahwa sebagian
wanita ada yang menjadi nabi. Jumlah mereka enam orang, yaitu: Hawwa, Sarah,
ibu Musa, Hajar, Asiah, dan Maryam ... dengan alasan menurutnya adalah bahwa
setiap orang yang datang kepadanya malaikat dan Allah dengan membawa hukum
berupa perintah, larangan, atau memberitahunya apa yang akan terjadi pada masa
yang akan datang adalah nabi. Telah tetap kedatangan malaikat kepada mereka ini
dengan membawa berbagai macam perkara dari sisi Allah SWT. Pernyataan mengenai
hal itu disampaikan dalam bentuk isyarat dalam Al-Qur'an. Ibnu Hazm menyebutkan
dalam kitab Al-Milal wan Nihal bahwa masalah ini belum diperdebatkan kecuali
pada masa dia berada di Cordova. Dikisahkan dari mereka berbagai ucapan dan
yang ketiganya adalah tawaqquf. Ibnu Hazm berkata: "Orang yang tidak
mendukung pendapat tentang adanya nabi dari kalangan wanita mendasarkan
argumennya pada firman Allah: 'Kami tidak mengutus sebelum kamu melainkan orang
laki-laki.'" Ibnu Hazm berkata: "Ayat ini tidak bisa dijadikan
argumentasi mengenai tidak adanya seorang perempuan yang dijadikan Allah
sebagai nabi. Pembicaraan di sini sekitar masalah kenabian saja." Ibnu
Hazm berkata: "Aku bisa menegaskan hal itu dengan apa yang disebutkan
dalam kisah Maryam dan dalam kisah ibu Musa yang membuktikan kenabiannya,
mengingat begitu segeranya dia melemparkan bayinya ke laut begitu sampai wahyu
kepadanya untuk melaksanakan hal itu." Ibnu Hazm berkata: "Allah SWT
mengatakan setelah menyebut Maryam dan nabi-nabi yang sesudahnya --mereka yang
diberi nikmat oleh Allah atas mereka dari para nabi. Berarti Maryam termasuk
dalam umumnya firman Allah tersebut. Wallahu a'lam. Di antara keutamaan Asiah
istri Fir'aun seperti dia lebih memilih dibunuh di tangan raja dan menerima
siksa dunia daripada kesenangan di dalam istana raja. Kemudian firasatnya
mengenai Musa a.s. benar; dalam hal ini dia berkata: '(Dia) adalah penyejuk
mata hati bagiku.'"
Demikianlah
sabda Rasulullah saw. dan pendapat ulama-ulama terkemuka yang tidak sempat
hidup pada zaman sekarang ini, zaman yang dinamakan sebagai zaman kebebasan
wanita. Para ulama tersebut berpegang teguh pada petunjuk Nabi saw.,
menanggulangi jahiliah zaman mereka, dan tidak dikalahkan oleh
khurafat-khurafat yang berlaku pada zamannya yang berkaitan dengan hal
merendahkan posisi wanita dan menzalimi haknya. Demikianlah cara kita
berpendapat untuk mengetahui sejauh mana tingkat kesempurnaan yang dapat
dicapai oleh seorang wanita. Jika masalah kenabian wanita masih menjadi ajang
perselisihan pendapat di kalangan para ulama, mereka telah sepakat dan mengakui
tentang kemampuan seorang wanita menjadi seorang wali, siddiqah, atau syahidah.
Hadits-hadits tersebut mengingatkan kita pada
beberapa perkara:
1.Tersedianya
kesiapan fitri untuk mencapai kesempurnaan pada diri laki-laki dan wanita.
Artinya, kesempurnan tidak mustahil sama sekali bagi wanita dan bukan hanya
monopoli kaum laki-laki. Jika kesempurnaan itu mungkin saja dicapai, maka
mencapai tingkatan-tingkatan yang menuju pada kesempurnaan tentu lebih mungkin
lagi.
2.Jika
kesempurnaan itu secara fitrah bisa dicapai, maka lebih mungkinnya dicapai
dengan pendidikan, pengarahan, upaya, dan usaha pencapaian yang
sungguh-sungguh, seperti halnya pada kaum laki-laki. Karena itu, kaum wanita
perlu sekali memperhatikan unsur usaha tersebut untuk mencapai kesempurnaan
yang didambakan. Penting sekali mereka membuka peluang-peluang pendidikan dan
pengarahan serta semua bidang yang dapat mengangkat kemampuan wanita serta
memperkuat dan mempertajam kesiapan fitrinya.
3.Selama
kesiapan fitri untuk mencapai kesempurnaan itu ada pada wanita, maka sedikitnya
jumlah yang telah sempurna dari kalangan wanita dapat terjadi karena beberapa
kemungkinan. Diantaranya karena minimnya kesiapan fitri itu sendiri atau karena
lemahnya segi pendidikan dan pengarahan. Lemahnya segi pendidikan dan
pengarahan mungkin saja terjadi karena kelalaian orang-orang yang bertanggung
jawab mengenai pendidikan dan pengarahan tersebut, atau karena tekanan kondisi
khusus yang dihadapi kaum wanita. Artinya, segala tenaganya habis digunakan
untuk urusan kehamilan, melahirkan, menyusukan dan memelihara anak, serta untuk
hal-hal yang berkaitan dengan urusan dalam rumah. Sehingga tidak tersisa lagi
waktunya untuk merasakan siraman ilmu pengetahuan, ibadah, serta memanfaatkan
peluang-peluang pendidikan dan pengajaran yang ada. Padahal semestinya wanita
mendapat peluang yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran dengan
memperhatikan peluang atau kesempatan yang sesuai dengan kondisi kewanitaannya,
baik menyangkut waktu, tempat, maupun caranya. Bagaimanapun sangat disayangkan
karena banyak dari sistem yang ada disusun hanya berdasarkan kondisi-kondisi
kaum laki-laki tanpa mempertimbangkan kondisi kaum wanita.
4.Ada
pertanyaan yang melintas dalam benak kita: "Apakah hadits Nabi saw. itu
mengisyaratkan pada kesempurnaan yang telah dikenal, telah muncul, dan telah
termasyhur? Artinya, sudah banyak yang masyhur kesempurnaannya dari kalangan
laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanya sedikit sekali? Bukankah contoh
dalam Al-Qur'an tentang Maryam binti Imran dan Asiah istri Fir'aun lebih
mendorong kita untuk melontarkan pertanyaan ini? "Dan Allah membuat istri
Fir'aun perumpamaan bagi orang orong yang beriman ketika dia berkata: 'Ya
Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan
selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum
yang zalim, dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami
tiupkan kedalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan
kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang
orang yang taat." (at-Tahrim: 11-12)
5.Jika
kesempurnaan kaum wanita sedikit dalam bidang-bidang umum --artinya
bidang-bidang yang diikuti kaum laki-laki-- seperti ibadah, pendidikan, dakwah,
dan jihad sehingga karenanya yang terkenal dengan kesempurnaannya itu lebih
banyak dari kalangan laki-laki, sementara dari kalangan wanita tidak ada yang
terkenal kecuali sedikit, maka di sana ada bidang yang banyak terkenal
kesempurnaan wanita di dalamnya, yaitu dalam bidang-bidang yang khusus untuk
kaum wanita, seperti menyusukan anak dan memeliharanya, mengurus suami dan
mendidik anak-anak, serta berbagai kegiatan yang berkaitan dengan masalah ini.
Bidang-bidang seperti itu mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu tidak
dikenal, berlangsung secara sembunyi-sembunyi/diam-diam dan jauh dari perhatian
orang, serta jauh dari puji sanjung manusia. Artinya, wanita dalam hal ini
berperan sebagai prajurit/pahlawan tak dikenal. Pahlawan tak dikenal itu
tingkatan-tingkatannya adalah ada yang sedang, ada yang unggul, dan ada pula
yang luar biasa. Demikian pula halnya wanita dalam keluarganya. Tingkat
keunggulannya bermacam-macam, sampai ada, bahkan ada mereka yang mencapai tingkat
sempurna. Semua bangsa, semakin maju akan semakin menghargai dan menghormati
pahlawan tak dikenal lebih dari pada menghormati seorang panglima terkenal.
Menghormati pahlawan tak dikenal --yang dalam hal ini kita dihimbau untuk itu--
merupakan usaha dan pengorbanan yang tersembunyi. Kita harus melakukannya tanpa
menunggu dan mengharapkan pujian dari seseorang. Kita juga dihimbau untuk itu
mengingat pahlawan tak dikenal merupakan lambang pengorbanan bangsa, kekuatan
kepribadian bangsa, serta kebesaran dan martabat bangsa. Demikian pula halnya
wanita ... Dia adalah pahlawan tak dikenal walaupun pada beberapa waktu --dan
itu tidaklah sering-- dia menjadi pahlawan yang dikenal. Dia adalah seorang
pemimpin yang tinggi kedudukannya, tetapi jarang sekali terkenal.
6.Hadits
tersebut merupakan cambuk bagi wanita untuk lebih giat lagi mencari
kesempurnaan, agar banyak dari kalangan wanita yang mencapai kesempurnaan.
Begitu juga hadits: "Orang-orang yang kurang akal dan agama," memacu
wanita untuk mengganti kekurangan tersebut dengan usaha yang sungguh-sungguh
dan memperhatikan dunia di luar rumah disamping tetap harus memperhatikan
urusan rumah tangga dengan baik. Sebab Allah mencoba manusia dan mengujinya
dengan berbagai cara. Wanita diuji-Nya dengan haid dan nifas. Karena itu
hendaklah kaum wanita sabar menghadapinya dan menggantikan dengan amalan-amalan
lain untuk ibadah-ibadah yang tidak boleh dia lakukan karena haid dan nifas
tersebut. Allah juga mencoba wanita dengan kehamilan, menyusukan, dan
memelihara anak yang membuat lemah perhatian wanita terhadap apa yang di luar
rumahnya. Karena itu dia harus berusaha menangani kekurangan ini dengan cara
sedikit memperhatikan dunia di luar rumahnya sesuai dengan situasi dan
kondisinya di samping tetap memperhatikan urusan rumah tangganya dengan baik.
Dengan begitu, jiwa dan kepribadiannya akan semakin mantap dan matang. Allah
juga mengujinya dengan perasaan yang kuat dan emosi yang tinggi. Namun demikian
dia harus tetap bergaul dengan suaminya dengan baik dan harmonis serta tahu
balas budi. Dengan cara itu dia bisa bebas dari ancaman api neraka, dan
yakinlah bahwa Allah itu tidak membebankan kepada diri manusia kecuali dalam
batas kemampuannya.
7.Terakhir
sekali, kalau memang sudah ada yang sempurna, dari kalangan wanita pada
umat-umat terdahulu, meskipun jumlahnya sedikit, bukankah sudah menjadi hak
kita bahkan kewajiban kita, baik laki-laki maupun wanita, untuk mengharapkan
agar lebih banyak jumlah wanita yang sempurna pada umat Nabi Muhammad saw.?
Bukankah beliau sebagai Nabi yang paling banyak pengikutnya pada hari kiamat
dan beliau akan membanggakan kita kepada umat-unmat yang lain? Beliau diutus
sebagai rahmat bagi sekalian alam dan beliau diutus dengan risalah/misi yang
paling sempurna.
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar