Di
Persimpangan Jalan Jakarta dan Fukuoka
Abu Aufa
Jakarta -
Mentari baru saja menyapa, namun panasnya mulai menyengat. Di jalanan, pekik
dan bising kendaraan roda dua hingga empat, campur aduk bersahut-sahutan. Semua
orang berteriak dengan klakson, meraung dengan suara mesin, dan memaki dengan
semprotan knalpot kendaraan.
Selamat
siang Jakarta!
Kota yang
setiap saat menyuguhkan hidangan udara bertuba yang menyesakkan dada. Panas
membuat gerah, layaknya pergulatan hidup di kota metropolitan. Atau seperti
panasnya persaingan politikus yang saling sikut-sikutan, berebut untuk menjilat
kekuasaan.
Hari ini,
Jakarta memang panas sekali. Namun bagiku itu sama sekali tak berarti. Udara
sejuk dari air conditioner di dalam mobil membuatku terasa nyaman. Dihibur
dengan lagu-lagu Bimbo, semakin membuat nikmat perjalanan. Terdengar suara khas
penyanyinya bersenandung tentang nasehat dari RasuluLlah Sallallaahu Alayhi
Wasallam,
Rasul
menyuruh kita mencintai anak yatim /
Rasul
menyuruh kita mengasihi orang miskin /
Dunia penuh
dengan orang yang malang /
Dunia penuh
dengan orang yang malang /
Mari dengan
rata /
Kita bagi
cahaya matahari /
Mari dengan
rata /
Kita bagi
cahaya bulan /
Sesekali aku
pun bergumam menirukan, sementara mata tetap awas menatap jalanan.
Tampak
begitu banyak orang berdesakan di dalam bis kota, dan rakyat kecil yang berdiri
di pinggir jalan sambil menanti angkutan. Peluh bercucuran di sekujur tubuh,
membasahi baju-bajunya. Bibirku lalu tersungging sebuah senyuman,
alhamduliLlah, aku lebih beruntung dari mereka.
Di sebuah
persimpangan jalan, tak ayal beberapa kali traffic light menahan laju
kendaraan. Udara luar yang terlihat semakin bergolak, membuat banyak orang
marah dan kehilangan kesabaran. Suasana jalan yang semakin hiruk-pikuk tak
urung membuatku terganggu, sehingga membesarkan volume lagu yang didengar.
Dari balik
jendela mobil, kulihat polisi pun sibuk mengatur lalu lintas kendaraan dengan
peluit dan mengayun-ayunkan tangan. Namun sekilas kemudian bola mata beralih
pandangan.
Di kolong
jembatan beton dan besar itu terlihat banyak sekat-sekat yang terbuat dari
kardus dan triplek bekas. Seadanya, hanya sekedar membatasi wilayah kekuasaan.
Beberapa pakaian, kutang dan kolor juga tampak berkibar-kibar pada beberapa
utas tali rapia. Terlihat pula bocah-bocah kecil bermain-main dengan
bertelanjang dada, sehingga tulang rusuknya jelas terlihat. Mereka lusuh dan
dekil. Berulang kali, sisa ingus yang meleleh diseka dengan punggung tangan
atau ujung lidah.
Ah, aku
jijik melihatnya.
Cepat
kualihkan pandangan, namun mata tertumbuk pada pemandangan yang tak kalah
menjijikkan. Seorang laki-laki tua kudisan menuntun wanita setengah baya yang
mengenakan kebaya usang dan penuh tambalan, seraya tangannya menggendong
seorang bayi dengan sebuah kain selendang. Mereka pasti pemalas, pikirku.
Mungkin juga bayi itu adalah bayi sewaan. Berdusta, agar mereka mendapat belas
kasihan pengguna jalan.
Di sisi
trotoar lainnya, seorang pemuda berambut gimbal dengan tubuh telanjang
terkekeh-kekeh sendirian. Kumis dan jenggotnya jarang-jarang. Kadang ia
berteriak, menangis atau tertawa sambil mengibas-ngibaskan gembolan. Terlihat
pengguna jalan menghindar, namun beberapa pengemis acuh tak acuh melihatnya.
Mungkin pemandangan biasa bagi mereka.
Pengemis itu
ada yang cacat sambil duduk di pinggir trotoar. Menengadahkan tangan seraya
meminta-minta. Kedua kakinya sudah tak ada, tampak dari perban yang melilit
sebatas paha. Tubuh dan pakaiannya pun terlihat kotor. Giginya hitam serta
bekas borok, panu dan kurap terlihat di bagian tubuhnya yang terbuka.
Seorang
pengemis yang lain kulihat terbaring di atas tikar, berbantal buntalan bulukan.
Air liur tak henti-henti menetes dari tepi mulutnya. Tubuhnya kurus, tinggal
tulang. Mirip tengkorak hidup. Sementara kaki sebelah kanan menyilang di paha
sebelahnya, sambil jari-jari kaki itu menjepit kecrekan yang terbuat dari tutup
botol bekas. Lalat-lalat berseliweran, mengerubungi koreng-koreng bernanah dan
bekas kotoran manusia di sekitarnya.
Hoek...!!!
Hampir saja
aku akan muntah. Tapi untunglah masih dapat kutahan hingga tak mengotori
t-shirt Calvin Klein yang dikenakan.
Uups...!!!
Klakson
mobil di belakang membuatku tersentak, lalu menjauh dari pemandangan yang
benar-benar membuatku mual. Dari balik kacamata hitam Versace, tak kupedulikan
kilasan tatapan mata mereka.
Apa
peduliku? Kenal saja tidak, saudara juga bukan.
Cuih...!!!
Dasar mereka
saja pemalas. Hanya tahu meminta-minta.
Lagu-lagu
bernuansa Islam terus mengalun selama perjalanan. Selesai sebuah lagu, langsung
disambung dengan lagu-lagu lainnya. Begitu sejuk terdengar.
Mobil
akhirnya berhenti di sebuah pelataran parkir mall termegah. Ada banyak barang
yang harus kubeli sebagai oleh-oleh saat nanti pulang ke Negeri Sakura. Lalu
sibuk shopping hingga kedua tangan rasanya tak cukup untuk menenteng beberapa
plastik berukuran besar. Akhirnya, dua buah trolley terpaksa digunakan.
Fuiiih...
Hari yang
panas dan melelahkan. Namun sungguh menyenangkan melihat mobil yang penuh
timbunan bumbu-bumbu, makanan instant, souvenir untuk profesor dan teman-teman
serta barang-barang kebutuhan lainnya. Puas, terpancar dari wajah.
Kembali
lagu-lagu bernuansa Islam menemani sepanjang perjalanan pulang. Kini terdengar
nasyid dari Snada, mengalun lirih, mengajakku kembali bergumam menirukan,
Ketika malam
datang mencekam /
Kulihat si
Alif kecil yang malang /
Duduk
tengadah ke langit yang kelam /
Meratapi nasib
diri /
Kilat
menyambar hujanpun turun /
Semakin
basah hatinya yang resah /
Kapankah
semua ini kan berakhir /
Di jalanan
penuh duri /
Sholat subuh
baru saja kutunaikan, lalu pandangan lepas dari balik jendela. Semburat jingga
cahaya mentari meretas dari awan putih yang bergumpal-gumpal begitu indah.
SubhanaLlah, bagaikan kasur yang terbuat dari tenunan kapas. Seolah-olah
mengajakku berbaring dan terbuai di atasnya. Sekejap aku merenungkan
ciptaan-Nya.
Tak berapa
lama, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat akan segera mendarat di Fukuoka
International Airport. Sejurus kemudian, aku telah berada di mobil seorang
teman. Walaupun sekarang di Jepang sudah menjelang akhir musim panas, namun
dengan air conditioner tentu akan membuat lebih nyaman perjalanan. Udara pun
sejuk dan melenakan.
Selamat
siang Fukuoka!
Sepanjang
perjalanan, tak ada kemacetan. Semuanya berjalan teratur mengikuti peraturan.
Di setiap persimpangan, trotoar bersih dari gelandangan. Lalu pikiranku
seketika menerawang, membelah angkasa dan samudera. Kembali bersua dengan
suasana di tanah air tercinta.
Pertanyaan
demi pertanyaan beruntun menyentak, mengapa banyak sekali laki-laki dan wanita
tua bahkan anak-anak kecil yang menjadi pengemis liar? Mengapa pula pemerintah
seolah-olah membiarkan mereka begitu saja? Bukankah itu tugas mereka? Atau,
para gelandangan itu yang pemalas? Bla... bla... bla...
Tak
habis-habis aku merutuk. Hidup mereka hanya bagaikan sampah, dan membuatku malu
sebagai orang Indonesia.
Namun,
rentetan pertanyaan hanya sebentar menggantung di benak, lalu hilang tak
berbekas. Perjalananan yang menyenangkan dan suasana nyaman ini lebih menarik
perhatian daripada memikirkannya. Biarlah, bukankah nanti juga ada orang-orang
yang akan memikirkan nasib mereka.
Tanpa terasa
telah tiba di rumah, dan sibuk mengemaskan barang-barang yang begitu banyak
jumlahnya. Rumah di Jepang yang sudah sempit, semakin terasa sesak. Kulkas
telah penuh, lemari apa lagi. Nyaris tak tersisa celah-celah untuk menyimpan
makanan serta oleh-oleh yang beraneka ragam jenisnya.
Lelah, tapi
sungguh menyenangkan. Hampir semua jenis kue, makanan-makanan instant telah
siap untuk menyambut bulan suci Ramadhan. Hati puas karena membayangkan sebulan
mendatang, saat sahur dan berbuka puasa, akan menikmati hidangan lezat serta
tentu saja halal untuk dimakan.
Lalu segera
ke kamar mandi, karena lelehan keringat ini sungguh membuat gerah.
Aah...
Enaknya
istirahat setelah mandi. Sambil makan cemilan, duduk santai di depan komputer
untuk membaca beberapa berita online.
Mata
tertumbuk pada sebuah berita, hasil wawancara sebuah media dengan seorang
ustadzah tentang pola pemurtadan.
.... Ya,
macam-macam. Tengok sendiri di jalan Pramuka (Jakarta Pusat) di lampu merah
sana, kurang lebih satu bulan sebelum Ramadhan sudah ada orang yang menjual
salib dan gambar Yesus tapi pakai baju koko. Ketika ditanya, "Agamamu
apa?" Dia bilang, "Islam." Lho, kenapa jual seperti ini. Mereka
bilang daripada tidak makan, daripada mencuri?
Ternyata apa
yang terjadi, setelah dikorek, mereka bilang, dagangan laku atau tidak, oleh
gereja mereka digaji perhari Rp 25.000. Lihat pula pengamen, apa yang mereka
nyanyikan.
Di Priok ada
gereja yang setiap malam menjaring gelandangan. Jadi gelandangan itu diajak
masuk gereja. Sampai timbul calo, calo gelandangan. Karena dari satu orang
gelandangan, calonya dapat Rp 30.000.
Belum
lagi...
Aku
tersedak. Tak dapat kutuntaskan bacaan, dan tergamam seketika itu juga.
AstaghfiruLlah...
WaLlahua'lam
bi shawab.
Abu Aufa
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar