Minggu, 01 Juli 2012

Anak Jalanan dan Bahaya Pemurtadan (Part 2)


Makanan dan uang menjadi senjata ampuh mendongkel akidah. bahkan, tak jarang mereka masuk ke rumah singgah yang dikelola muslimin. Senja mulai menggelayuti kawasan terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Matahari bersiap beranjak ke peraduannya di ufuk barat. Keramaian rutin 'jam pulang kerja' berbaur dengan turun naik penumpang bus antar kota antar provinsi di terminal terbesar di ibukota ini.

Beberapa pengamen cilik dan tukang asongan justru menghentikan aktivitasnya dan bergegas masuk ke gang sempit yang berada di pinggir jalan raya Pulogadung. Tujuan mereka adalah sebuah rumah dua tingkat berukuran 7x6 m2, yang 'berlabel' Sanggar Warung Udik. Sajadah pun segera tergelar, mereka shalat maghrib berjamaah. Menurut Wakil Ketua Sanggar Warung Udik, Andi, tempat itu tak hanya menjadi sekedar untuk berteduh bagi anak-anak jalanan, namun lebih sebagai tempat berkreasi.

"Di sini, kita bisa berkumpul bersama dan melakukan berbagai hal positif sesuai kemampuan kita," tuturnya. Rumah sederhana yang terletak di Rawa Teratai, Cakung, Jakarta Timur ini dibeli berkat bantuan sejumlah pihak dan dimanfaatkan sejak tahun 2000. Komunitas anak jalanan sendiri terbentuk lebih dahulu yakni sekitar tahun 1993 dengan dimotori Budi Kairani. Jadilah hingga kini anak-anak jalanan punya tempat berteduh dan berkumpul. Begitu pun bagi mereka yang datang dari berbagai daerah ke ibukota melalui Pulogadung, selalu dapat singgah di markas Sanggar Warung Udik. Banyak kegiatan yang dilakukan di sini, seperti latihan musik, merintis usaha kecil-kecilan, dan belajar agama. ''Pada intinya, segala kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk memberdayakan potensi anak-anak jalanan sehingga nantinya mereka bisa mandiri serta memiliki akidah yang kuat,'' ujar Andi.

Akidah yang kuat? Ya! Gerakan pemurtadan kini mengintai anak jalanan. Dengan beragam iming-iming, mereka perlahan dikeluarkan dari ajaran agamanya. Yang menjadi sasaran, kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah dasar. "Biasanya anak-anak itu diiming-imingi makanan, janji disekolahkan, dan masih banyak lagi,'' tambah Andi. Hal yang sama diakui Hendi, pengamen jalanan yang biasa mangkal di Blok M. Ia sempat tergoda. ''Tadinya kita diajak kumpul-kumpul. Lalu diajari nyanyi. Habis itu dibayar ceban (sepuluh ribu),'' ujarnya. Dari lagu-lagu sederhana yang biasa dinyanyikan di televisi, lama-lama ia diajari lagu-lagu rohani. Tempat belajar pun pindah ke sebuah rumah ibadah di bilangan Jakarta Timur. Usai 'belajar', selalu ada makanan dan uang.

Beruntung, ia tahan goda dan memutuskan keluar dari kumunitas itu. ''Tapi banyak teman-teman saya yang bertahan dan bahkan aktif mencari pengikut,'' ujarnya. Bahkan mereka juga masuk di rumah-rumah singgah yang selama ini sudah dibina kaum Muslim. Hasmeli Fitri, ketua Yayasan Mentari, LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak jalanan, mengaku sempat kecolongan. ''Sebab anak-anak yang telah menjadi binaan kami sejak lama bisa dimasuki dan terpengaruh,'' ujarnya. Tak mau kecolongan yang kedua kali, Yayasan Mentari menggandeng Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Bekasi untuk melakukan pembinaan spiritual anak asuhnya. Setiap Jumat mereka mengadakan pengajian. Dengan demikian, jelasnya, tak hanya ketrampilan dan pendidikan saja yang mereka dapatkan, tapi juga bekal agama. Pembinaan akidah menjadi perhatian penting lantaran begitu mendesaknya masalah tersebut. Andi menjelaskan, layaknya anak jalanan, selama ini mereka kurang diperhatikan dan dibiarkan tumbuh begitu saja.

Begitu ada yang memberi perhatian, dengan iming-iming yang mengenakkan pula, maka tak bisa disalahkan kalau mereka 'tergoda'. Oleh karenanya para pengelola sanggar lantas merintis program pembinaan akhlak melalui sejumlah kegiatan. Antara lain tadarusan tiap malam Jumat, menyelenggarakan pesantren kilat Ramadhan, serta ceramah agama. Pun shalat berjamaah yang kini tak pernah mereka tinggalkan. Selama ini upaya pembinaan masih mereka kerjakan secara swadaya. Pernah juga mengundang ustad atau dai setempat untuk datang ke rumah mereka guna menerangkan materi-materi tertentu yang memang belum dikuasai. "Kami tentu menyambut gembira dukungan dari kalangan lembaga keagamaan untuk membantu pembinaan agama anak-anak jalanan. Sekarang ini untuk Jakarta, terus terang, masih kurang," ungkapnya lagi. (RioL)


Wawancara Budi Kairani : Kita Terpanggil Bentengi Akidah

Di kalangan komunitas anak jalanan, nama Budi Kairani sudah tidak asing lagi. Dialah salah satu yang menggagas pembentukan Sanggar Warung Udik, tempat bernaungnya puluhan bahkan ratusan anak jalanan. Berkat kegigihannya, anak-anak jalanan tersebut kini kembali punya harapan dalam mengarungi kehidupan ibu kota yang kejam. Totalitasnya guna membina anak jalanan terbentuk seiring nasib yang menuntunnya juga menjadi bagian dari mereka. Budi bertahun-tahun hidup di jalanan, mengamen untuk menyambung hidup.

Oleh karenanya Budi yang lahir di Jakarta, 7 Desember 1974 itu tahu betul apa-apa masalah yang dihadapi teman-temannya sesama anak jalanan. "Yang tahu kebutuhan anak jalanan, ya, anak jalanan sendiri," kata dia menyindir pihak-pihak yang kerap memanfaatkan anak jalanan. Gaya bicara pemenang best actor DKI tahun 1998 ini memang 'berapi-api' jika sudah bicara tentang anak jalanan. Budi pernah menimba ilmu agama di ponpes al-Hikmah, Brebes, Jawa Tengah dan lulus tahun 1993. Ilmu yang ditimbanya menjadikan dia mampu membimbing serta menyusun program pembinaan keagamaan bagi anak-anak jalanan di sanggar. Berikut petikan wawancaranya:

Kegiatan di Sanggar Warung Udik sangat menarik. Bagaimana Anda mengawalinya?
Itu bermula tahun 1993. Setelah lulus dari Pesantren al-Hikmah, eh saya malah nyangkut di terminal Pulogadung. Sejak itu, saya mulai ngamen keliling untuk menyambung hidup. Ketika itulah saya melihat banyak teman-teman anak jalanan nggak punya ketrampilan apa-apa. Lantas saya ajari mereka main gitar. Mulainya dari satu dua anak, lantas banyak yang gabung. Sampai tahun 1998 saya masih keliling ngamen dari satu terminal ke terminal. Kemudian saya putuskan untuk menetap di Pulogadung dan mencoba mengumpulkan anak-anak lagi.

Saya ajak mereka ikut berbagai festival anak jalanan sebab waktu itu pemerintah daerah banyak menyelenggarakan kegiatan festival anak jalanan. Kita pernah menang di tingkat nasional. Lantas pada tanggal 15 Agustus 1999 kami putuskan untuk membentuk komunitas anak jalanan. Kita memikirkan hasil dari mengamen ini akan digunakan sebagai apa. Sebagian hasil dipakai untuk membiayai sekolah teman-teman. Kebetulan pula saat itu, di pinggiran Kali Item, ada bekas lahan pembuangan sampah, nah di situlah pertama kali kita membuat satu saung (gubug) untuk tempat kita berkumpul. Setelah punya tempat tinggal, terpikirlah bahwa anak-anak ini juga membutuhkan pembinaan agama. Oleh sebab itu, kami mulai menyusun jadwal kegiatan agama. Dari shalat berjamaah, tadarusan, hingga membahas kajian agama. Di samping dari kita sendiri, kita juga undang ustadz dan dai sekitar lokasi untuk datang memberikan pengajaran agama.

Seperti apa metode pengajaran yang diberikan kepada mereka?

Kita berikan pengetahuan tentang ibadah mulai dari yang tidak terlalu berat antara lain shalat, puasa dan tadarus. Ada misalnya, teman-teman jalanan yang nggak bisa shalat jenazah, ini jadi catatan buat kita. Ya yang seperti itulah. Di sini hebat sekali. Teman-teman ini 'kan kebanyakan Islam, tapi luput dalam hal ibadah. Nggak bisa shalat, nggak pernah puasa apalagi baca Alquran. Mungkin banyak faktor penyebab, dari urusan ekonomi dan lain-lain yang membuat mereka lupa ibadah. Makanya bagi teman-teman yang ingin datang ke sini, syarat utamanya harus mau shalat.

Tentu merintis aktivitas seperti itu tidaklah mudah. Apa saja hambatan yang ditemui?
Pernah ada LSM yang kepengen kita jadi binaan mereka. Sebenarnya tidak ada soal, sejauh kita tetap independen. Hanya kemudian, kenyataannya kita justru banyak dieksploitasi dan dimanfaatkan. Segala kegiatan kita dibatasi oleh rekomendasi mereka. Akhirnya kita memutuskan untuk tidak lagi bergabung ke LSM tersebut. Setelah tak lagi menetap di lokasi awal, kita lantas pindah ke tempatnya Andi (wakil pembina Sanggar Warung Udik) yang kebetulan orang sini.

Tapi keluarga Andi kurang menerima kehadiran kita. Belum lagi masyarakat yang kerap memandang negatif anak-anak jalanan. Hingga pada saat menghadapi berbagai persoalan, saya pernah menulis tentang lika-liku kehidupan anak jalanan. Dan tulisan itu sampai ke tangan Pak Parni Hadi (wartawan senior). Pas bulan puasa tahun 2000, pak Parni dengan ditemani seorang rohaniwan dan orang dari Dompet Dhuafa datang ke sini mencari saya. Setelah bicara panjang lebar, pak Parni bersedia membantu kami. Saya katakan, kita sangat membutuhkan tempat tinggal. Maka dicarilah rumah di daerah sini, kebetulan rumah yang sekarang kami tempati memang hendak dijual oleh pemiliknya. Jadilah rumah ini dibeli oleh DD dan jadi tempat bernaung.

Bila bicara anak jalanan, sebenarnya apa yang dibutuhkan mereka?

Kita pernah mengkonsep hal tersebut. Kita bagi tiga bagian sesuai anatomi tubuh; kampung atas, kampung tengah, dan kampung bawah. Kalau kampung atas adalah segala hal yang berkaitan dengan kebutuhan pendidikan dan pembinaan akhlak. Kampung tengah merupakan faktor ekonomi dan urusan perut. Sementara kampung bawah adalah segala kegiatan anak jalanan, impian maupun militansinya. Tiga-tiganya harus berkaitan. Jika kita bedah urusan ekonomi saja, ya, berat tanpa diimbangi pembinaan religi. Buktinya banyak, teman-teman yang sudah punya komunitas tapi nggak punya benteng akidah akhirnya berantakan. Intinya kita nggak mau lepas dari segi religi. Oleh karenanya berbagai kegiatan keagamaan kita selenggarakan. Yang rutin, ya, ngaji bareng, shalat jamaah dan diskusi agama. Ada pula peringatan hari-hari besar keagamaan. Alhamdulillah berkat itu, lama kelamaan warga mau mengakui keberadaan kita. Bahkan banyak orangtua yang minta agar anaknyaa bisa bergabung mengikuti kegiatan kita.

Bagaimana peran tokoh agama setempat pada pembinaan anak jalanan?

Kita tetap silaturahmi dengan tokoh masyarakat dan ustadz setempat. Setiap penyelenggaraan kegiatan peringatan hari besar agama, kita selalu kerjasama. Kegiatan pesantren jalanan juga melibatkan masyarakat sini. Bagaimanapun kita kan juga warga sini juga.

Adakah tujuan khusus dari kegiatan pembinaan agama ini?

Dasar pemikiran adalah untuk membentengi akidah dari gerakan pemurtadan. Hal itu patut diwaspdai. Di Ciputat yang kita tahu, tiap hari tertentu ada saja anak jalanan yang dibaptis. Sehingga pada setiap kesempatan saya selalu pesankan pada anak-anak agar waspada kalau ada orang yang tiba-tiba menawari sesuatu. Namun begitu pun setiap saat ada saja yang mengadu, "Bang ada yang ngajak kita makan-makan di Mc Donald, gimana nih Bang?" Kalau sudah begini saya katakan,"Nggak usahlah, kalau mau makan, makan saja di sini nanti kita masakin nasi." Jadilah gerakan kita ya untuk mengerem yang begitu itu dengan membentengi akidah teman-teman.


Selain menggiatkan pembinaan agama, masalah apa lagi yang hendaknya juga diselesaikan?

Sekali lagi, yang mendominasi adalah faktor ekonomi. Inilah kemudian kita menuntut ke pemerintah dan lembaga sosial untuk memperhatikan masalah kita. Dari kita sendiri sebenarnya paham untuk mengatasi hal-hal seperti itu. Program-program pemberdayaan sebaiknya dilempar saja ke anak jalanan sendiri karena mereka yang mengetahui permasalahan dan cara-cara untuk mengatasinya.

Jadi berbagai program bantuan ke anak jalanan yang sudah digulirkan sama sekali tidak menyentuh langsung ke pokok masalah?

Selama ini terkesan program bantuan ke anak jalanan hanya bersifat seremonial saja. Buang-buang duit tanpa ada manfaatannya. Mereka tidak memahami kebutuhan anak jalanan. Pernah ada yang bertanya, "Kok kalian sudah dibina oleh DD tapi tetap ngamen di jalan?" Ya kalau kita diam saja, ya nggak jadi dong gerakan jalanan. Kita ini justru harus mengamen terus, kalau mau profesional harus begitu. Pokoknya yang paham tentang anak jalanan, ya anak jalanan, bukan mereka yang tiap hari berdasi dan duduk nyaman di kantor. Makanya kemarin kita berkoalisi dengan sesama teman anak jalanan se-Indonesia dalam kegiatan Jambore dan membentuk Badan Anak Jalanan se- Indonesia (Bajai). Kita kepengen jadi sebuah badan yang legal sehingga dapat menjadi wadah penyaluran aspirasi dan membina hubungan dengan lembaga-lembaga resmi lainnya. Sekarang kita sudah punya jaringan di seluruh Indonesia. Ke depan, kita juga ingin model pembinaan anak jalanan di Warung Udik bisa diterapkan di tempat lain. (RioL)


Antara Pembinaan Agama dan Perbaikan Ekonomi

Upaya penanganan terhadap masalah anak jalanan hingga kini masih sangat terbatas. Padahal secara konseptual penanganan masalah anak jalanan dijamin oleh peraturan-peraturan yang ada. Survei terhadap 100 anak jalanan yang dilakukan Data Informasi Anak/YKAI menunjukkan hanya 10% anak jalanan yang pernah terjangkau oleh program penanganan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat. Sementara dari Hasil Penelitian Efektivitas Pendekatan Keluarga Dalam penanganan Anak Jalanan Tahun 1999/2000 Balitbang Departemen Sosial RI, jumlah anak jalanan yang tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 40.000 orang.

Jumlah ini diperkirakan meningkat lagi apabila krisis ekonomi yang berkepanjangan tidak segera berakhir. Laporan lembaga PBB untuk Anak-anak (Unicef) mengenai Situasi Anak di Dunia, memperlihatkan gambaran wajah anak-anak yang semakin buram. (RioL)

Senada dengan laporan yang dibuat oleh ILO beberapa bulan sebelumnya, organisasi ini memperkirakan sekitar 250 juta anak-anak berusia antara 5 sampai 15 tahun harus bekerja dalam kondisi yang membahayakan dirinya. Sebagian besar yaitu sekitar 63 persen atau mencapai angka sekitar 153 juta berada di wilayah Asia. Di Indonesia sendiri menurut catatan Unicef, ada sekitar 2,1 juta pekerja anak yang terdiri atas 1,2 juta anak laki-laki dan 871 ribu anak perempuan. Potret muram anak yang bekerja digambarkan sebagai, "harus bekerja dengan jam kerja panjang dan perlindungan tidak memadai".

Bahkan para aktivis mencurigai pandangan bahwa anak bekerja untuk membantu sebagai adat kebiasaan justru dapat menyesatkan dan menjadi topeng untuk menutupi situasi yang sesungguhnya. Divisi Advokasi Anak Yayasan Bahtera Bandung, pada Juli 2003 memaparkan anak jalanan merupakan satu di antara beberapa kelompok anak yang perlu mendapatkan perlindungan khusus karena terungkap adanya berbagai perlakuan ekploitasi dan 'pemerkosaan' terhadap mereka. "Selain itu, adanya penculikan anak jalanan untuk kepentingan ekploitasi ekonomi atau eksploitasi seksual. Juga adanya penolakan dari sebagian besar masyarakat terhadap kehadiran anak jalanan ini. Di sisi lain, penanganan dari pemda juga cenderung represif demi kepentingan kebersihan kota," ungkap Hadi Utomo dari Yayasan Bahtera. Begitu pula bila dilihat dari sisi keagamaan, mereka pun amat rentan terhadap usaha-usaha yang mengarah pada pendangkalan akidah.

Faktor ekonomi lebih sering disebut yang membuat sebagian anak jalanan mengabaikan tuntunan agama. Oleh karenanya, menurut Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, Thabrani Syabirin, pembinaan mental spiritual pada anak jalanan, mesti simultan dilakukan dengan upaya memperbaiki penghidupan ekonomi mereka. Lebih jauh dia mengakui pihaknya memang belum memiliki program pembinaan khusus terhadap anak-anak jalanan. Akan tetapi dalam bentuk yang lain, telah lama PP Muhammadiyah melaksanakan program dakwah maupun penanganan kemiskinan bagi masyarakat kecil yang tinggal di desa atau wilayah perkotaan. Program tersebut dimulai tahun 1973. Kala itu, Muhammadiyah mengirim santri dan dai ke desa-desa yang dinilai potensial menjadi sasaran pemurtadan. Tiap tahunnya, tak kurang dari 500 tenaga dai yang dikirim.

Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya, program ini menemui kendala yang bersumber dari keterbatasan tenaga serta dana. Thabrani juga melihat, secara keseluruhan, program pembinaan akhlak bagi masyarakat bawah selama ini belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan."Selama persoalan ekonomi belum disentuh, mereka tetap amat rawan terhadap upaya-upaya pendangkalan akidah," tandas dia. Menurut pendapatnya pembinaan agama dan penanganan kemiskinan merupakan tanggungjawab semua elemen bangsa, term`suk di antaranya lembaga keagamaan, LSM, pemerintah serta masyarakat. "Ormas Islam sebaiknya meningkatkan dakwah bil hal kepada anak-anak jalanan," ujarnya. Pada kesempatan terpisah, Wakil Sekretaris Umum MUI, KH Ikhwan Syam mengatakan pembinaan kepada anak jalanan membutuhkan cara maupun metode khusus.

Kepada mereka, tidak bisa lagi hanya berupa penyampaian ceramah maupun dakwah, melainkan harus ditambah dengan upaya agar anak-anak jalanan itu menjadi manusia seutuhnya. "Dakwah dalam metode yang baru sebaiknya ya memberikan pencerahan seperti itu," tukasnya. Ikhwan juga menganggap bahwa anak-anak jalanan termasuk kelompok masyarakat yang rentan terhadap usaha pemurtadan. Dengan begitu, dia harapkan kepada segenap unsur lembaga agama, para dai serta mubaligh untuk senantiasa memberikan perhatian terhadap mereka. Maka tidaklah mengherankan apabila anak jalanan menjadi satu dari delapan sasaran utama pada peta dakwah MUI yang kini tengah disosialisasikan. Di situ, nantinya akan disusun bagaimana kondisi umum anak jalanan di berbagai kota besar serta upaya-upaya penanganan yang dapat dilakukan.

Diharapkan sebelum berakhir masa kepengurusan tahun 2005 mendatang, kegiatan dakwah pada anak jalanan dapat terlaksana. Untuk sekarang ini, Ikhwan mengungkapkan MUI belum memiliki program pembinaan khusus untuk anak-anak jalanan. Akan tetapi, pihaknya secara sporadis telah beberapa kali terlibat dalam kegiatan penanganan dan pembinaan anak jalanan. Begitu pula bantuan secara finansial. MUI beberapa waktu lalu pernah membantu pengadaan gerobak yang diharapkan bisa digunakan anak jalanan untuk mencari nafkah. Selain itu, ada juga bantuan bagi kegiatan sekretariat perkumpulan anak jalanan di kawasan Tanah Abang. "Kami hanya memberikan 'kail'. Mereka kami beri kebebasan untuk berusaha apa saja yang penting tidak mengandung mudharat. Intinya yang kami berikan adalah untuk memanusiakan anak-anak jalanan itu," dia menambahkan. (RioL)


Bahaya Kemiskinan

KH Drs Shiddiq Aminullah MBA
Ada pengamat ekonomi menyebutkan bahwa pascakrisis ekonomi, hampir setengah dari penduduk Indonesia termasuk kelompok miskin, yaitu mereka yang penghasilan per harinya kurang dari dua dolar AS. Jika hal itu benar, bisa dipastikan mayoritasnya adalah muslim. Situasi seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan sekaligus menjadi bahaya. Sebab kemiskinan ekonomi akan berdampak pada kualitas kesehatan, kecerdasan dan tingkat pendidikan. Masyarakat yang miskin dengan kualitas pendidikan, khususnya pendidikan keislaman yang rendah, sangat rawan terhadap patologi sosial atau penyakit masyarakat, seperti perjudian, prostitusi, miras, napza serta rumah tangga yang amburadul.

Masyarakat dengan kondisi seperti itu juga rawan terhadap gerakan pemurtadan. Kemiskinan dan keterbelakangan di bidang pendidikan sering dieksploitasi oleh kekuatan dakwah agama lain untuk memurtadkan mereka. Caranya, dengan mengiming-imingi materi, baik itu sembako, beasiswa, pengobatan gratis, pendidikan keterampilan gratis, pembagian alat olahraga, dsb.

Bahkan setiap kali pemilu digelar, masyarakat seperti ini juga sering dieksploitasi oleh partai-partai berduit banyak untuk kepentingan sesaat mereka. Dengan iming-iming materi, mereka digiring untuk memenangkan partai tersebut. Mereka biasanya tidak terlalu peduli partai mana atau tokoh mana yang terbaik yang akan memperjuangkan nasib mereka dan memperbaiki keadaan. Tanggung jawab moral dan sosialnya sering digadaikan hanya dengan sedikit materi.

Masyarakat dengan kondisi seperti ini biasanya apresiasi terhadap nilai-nilai agama menjadi rendah. Penyebabnya, waktu, tenaga, perhatian dan pikiran mereka habis tersita oleh kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka jadi tidak punya kesempatan untuk shalat berjamaah, hadir ke pengajian, bahkan kadang shalat Jumat yang seminggu sekalipun sudah tidak bisa. Masalah kaya dan miskin adalah sunnatullah. Secara naluriyah manusia tidak ingin hidup miskin apalagi menjadi sebuah bangsa yang miskin. Padahal, kita tinggal di sebuah negara yang kaya akan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam.

Mengapa kondisi ini bisa terjadi? Jawabannya tentu beraneka ragam dan penyebabnyapun tentu banyak. Di antaranya, pertama, karena sistem yang dipakai adalah sistem kapitalis yang syarat dengan riba, gharar dan maisir yang diharamkan dalam Islam. Sistem tersebut lebih berpihak kepada pemodal besar sehingga di negeri ini, monopoli, ogipoli dan konglomerasi membudaya karena sudah ditanamkan oleh kolonial Belanda dulu. Sistem ini juga telah melahirkan kesenjangan ekonomi yang sangat dalam antara si kaya dengan si miskin.

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Seperti diterangkan dalam QS Al-Hasyr:7. Bahkan Nabi SAW, pernah memperingatkan bahwa jika harta kekayaan negara hanya beredar pada segelintir penguasa dan pengusaha, maka halal bagi penduduk negeri itu untuk ditimpa bencana. (HR. At-Tirmidzi). Sistem kapitalis juga berdampak terhadap banyak bidang kehidupan. Misalnya budaya yang hedonistik, agama yang sekuleristik, agama hanya diakui sebagai urusan pribadi dengan Allah dan tidak boleh dibawa-bawa ke wilayah publik; hukum yang 'barbaris'; keadilan menjadi barang sangat mahal dan hukum yang berpihak kepada penguasa dan orang kaya, dsb.

Kedua, karena kebijakan penguasa yang lebih sering berpihak kepada konglomerat daripada kepada rakyat melarat. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan ekonomi, pembangunan yang banyak bertumpu pada utang atau pinjaman asing sehingga meredusir wibawa dan harga diri sebuah bangsa besar. Dampaknya, banyak kebijakan penguasa yang lebih manut kepada kemauan hegemoni asing ketimbang kepentingan rakyat sendiri.

Nabi SAW, sebelum salam dari shalat sering berdoa Allohumma inni A'udzubika minal ma'tsami wal maghromi '' (Ya Allah, hamba berlindung diri kepada-Mu dari banyak dosa dan utang yang banyak) HR Ibnu Hibban. Di negeri ini banyak pejabat yang bangga ketika mendapat tambahan utang. Subhanallah! Ketiga, kelemahan umat Islam sendiri. Di kalangan orang kayanya kesadaran untuk menunaikan zakat, infaq, shodaqoh dan waqaf masih relatif rendah. Sementara di kalangan orang miskinnya bermental malas dan fatalis. Semua ini tentu harus diperbaiki dan merupakan tanggung jawab bersama. Wallohu a'lam bis showwab (RioL)


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sabahat

0 komentar:

Posting Komentar

 
;