Makanan dan
uang menjadi senjata ampuh mendongkel akidah. bahkan, tak jarang mereka masuk
ke rumah singgah yang dikelola muslimin. Senja mulai menggelayuti kawasan
terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Matahari bersiap beranjak ke peraduannya
di ufuk barat. Keramaian rutin 'jam pulang kerja' berbaur dengan turun naik
penumpang bus antar kota antar provinsi di terminal terbesar di ibukota ini.
Beberapa
pengamen cilik dan tukang asongan justru menghentikan aktivitasnya dan bergegas
masuk ke gang sempit yang berada di pinggir jalan raya Pulogadung. Tujuan
mereka adalah sebuah rumah dua tingkat berukuran 7x6 m2, yang 'berlabel'
Sanggar Warung Udik. Sajadah pun segera tergelar, mereka shalat maghrib
berjamaah. Menurut Wakil Ketua Sanggar Warung Udik, Andi, tempat itu tak hanya
menjadi sekedar untuk berteduh bagi anak-anak jalanan, namun lebih sebagai
tempat berkreasi.
"Di
sini, kita bisa berkumpul bersama dan melakukan berbagai hal positif sesuai
kemampuan kita," tuturnya. Rumah sederhana yang terletak di Rawa Teratai,
Cakung, Jakarta Timur ini dibeli berkat bantuan sejumlah pihak dan dimanfaatkan
sejak tahun 2000. Komunitas anak jalanan sendiri terbentuk lebih dahulu yakni
sekitar tahun 1993 dengan dimotori Budi Kairani. Jadilah hingga kini anak-anak
jalanan punya tempat berteduh dan berkumpul. Begitu pun bagi mereka yang datang
dari berbagai daerah ke ibukota melalui Pulogadung, selalu dapat singgah di
markas Sanggar Warung Udik. Banyak kegiatan yang dilakukan di sini, seperti
latihan musik, merintis usaha kecil-kecilan, dan belajar agama. ''Pada intinya,
segala kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk memberdayakan potensi anak-anak
jalanan sehingga nantinya mereka bisa mandiri serta memiliki akidah yang
kuat,'' ujar Andi.
Akidah yang
kuat? Ya! Gerakan pemurtadan kini mengintai anak jalanan. Dengan beragam
iming-iming, mereka perlahan dikeluarkan dari ajaran agamanya. Yang menjadi
sasaran, kebanyakan adalah anak-anak usia sekolah dasar. "Biasanya
anak-anak itu diiming-imingi makanan, janji disekolahkan, dan masih banyak
lagi,'' tambah Andi. Hal yang sama diakui Hendi, pengamen jalanan yang biasa
mangkal di Blok M. Ia sempat tergoda. ''Tadinya kita diajak kumpul-kumpul. Lalu
diajari nyanyi. Habis itu dibayar ceban (sepuluh ribu),'' ujarnya. Dari
lagu-lagu sederhana yang biasa dinyanyikan di televisi, lama-lama ia diajari
lagu-lagu rohani. Tempat belajar pun pindah ke sebuah rumah ibadah di bilangan
Jakarta Timur. Usai 'belajar', selalu ada makanan dan uang.
Beruntung,
ia tahan goda dan memutuskan keluar dari kumunitas itu. ''Tapi banyak
teman-teman saya yang bertahan dan bahkan aktif mencari pengikut,'' ujarnya.
Bahkan mereka juga masuk di rumah-rumah singgah yang selama ini sudah dibina
kaum Muslim. Hasmeli Fitri, ketua Yayasan Mentari, LSM yang bergerak di bidang
perlindungan anak jalanan, mengaku sempat kecolongan. ''Sebab anak-anak yang
telah menjadi binaan kami sejak lama bisa dimasuki dan terpengaruh,'' ujarnya.
Tak mau kecolongan yang kedua kali, Yayasan Mentari menggandeng Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) Bekasi untuk melakukan pembinaan spiritual anak
asuhnya. Setiap Jumat mereka mengadakan pengajian. Dengan demikian, jelasnya,
tak hanya ketrampilan dan pendidikan saja yang mereka dapatkan, tapi juga bekal
agama. Pembinaan akidah menjadi perhatian penting lantaran begitu mendesaknya
masalah tersebut. Andi menjelaskan, layaknya anak jalanan, selama ini mereka
kurang diperhatikan dan dibiarkan tumbuh begitu saja.
Begitu ada
yang memberi perhatian, dengan iming-iming yang mengenakkan pula, maka tak bisa
disalahkan kalau mereka 'tergoda'. Oleh karenanya para pengelola sanggar lantas
merintis program pembinaan akhlak melalui sejumlah kegiatan. Antara lain
tadarusan tiap malam Jumat, menyelenggarakan pesantren kilat Ramadhan, serta
ceramah agama. Pun shalat berjamaah yang kini tak pernah mereka tinggalkan.
Selama ini upaya pembinaan masih mereka kerjakan secara swadaya. Pernah juga
mengundang ustad atau dai setempat untuk datang ke rumah mereka guna
menerangkan materi-materi tertentu yang memang belum dikuasai. "Kami tentu
menyambut gembira dukungan dari kalangan lembaga keagamaan untuk membantu
pembinaan agama anak-anak jalanan. Sekarang ini untuk Jakarta, terus terang,
masih kurang," ungkapnya lagi. (RioL)
Wawancara Budi Kairani : Kita Terpanggil
Bentengi Akidah
Di kalangan
komunitas anak jalanan, nama Budi Kairani sudah tidak asing lagi. Dialah salah
satu yang menggagas pembentukan Sanggar Warung Udik, tempat bernaungnya puluhan
bahkan ratusan anak jalanan. Berkat kegigihannya, anak-anak jalanan tersebut
kini kembali punya harapan dalam mengarungi kehidupan ibu kota yang kejam.
Totalitasnya guna membina anak jalanan terbentuk seiring nasib yang menuntunnya
juga menjadi bagian dari mereka. Budi bertahun-tahun hidup di jalanan, mengamen
untuk menyambung hidup.
Oleh
karenanya Budi yang lahir di Jakarta, 7 Desember 1974 itu tahu betul apa-apa
masalah yang dihadapi teman-temannya sesama anak jalanan. "Yang tahu
kebutuhan anak jalanan, ya, anak jalanan sendiri," kata dia menyindir
pihak-pihak yang kerap memanfaatkan anak jalanan. Gaya bicara pemenang best
actor DKI tahun 1998 ini memang 'berapi-api' jika sudah bicara tentang anak
jalanan. Budi pernah menimba ilmu agama di ponpes al-Hikmah, Brebes, Jawa
Tengah dan lulus tahun 1993. Ilmu yang ditimbanya menjadikan dia mampu
membimbing serta menyusun program pembinaan keagamaan bagi anak-anak jalanan di
sanggar. Berikut petikan wawancaranya:
Kegiatan di
Sanggar Warung Udik sangat menarik. Bagaimana Anda mengawalinya?
Itu bermula
tahun 1993. Setelah lulus dari Pesantren al-Hikmah, eh saya malah nyangkut di
terminal Pulogadung. Sejak itu, saya mulai ngamen keliling untuk menyambung
hidup. Ketika itulah saya melihat banyak teman-teman anak jalanan nggak punya
ketrampilan apa-apa. Lantas saya ajari mereka main gitar. Mulainya dari satu
dua anak, lantas banyak yang gabung. Sampai tahun 1998 saya masih keliling
ngamen dari satu terminal ke terminal. Kemudian saya putuskan untuk menetap di
Pulogadung dan mencoba mengumpulkan anak-anak lagi.
Saya ajak
mereka ikut berbagai festival anak jalanan sebab waktu itu pemerintah daerah
banyak menyelenggarakan kegiatan festival anak jalanan. Kita pernah menang di
tingkat nasional. Lantas pada tanggal 15 Agustus 1999 kami putuskan untuk
membentuk komunitas anak jalanan. Kita memikirkan hasil dari mengamen ini akan
digunakan sebagai apa. Sebagian hasil dipakai untuk membiayai sekolah
teman-teman. Kebetulan pula saat itu, di pinggiran Kali Item, ada bekas lahan
pembuangan sampah, nah di situlah pertama kali kita membuat satu saung (gubug)
untuk tempat kita berkumpul. Setelah punya tempat tinggal, terpikirlah bahwa
anak-anak ini juga membutuhkan pembinaan agama. Oleh sebab itu, kami mulai
menyusun jadwal kegiatan agama. Dari shalat berjamaah, tadarusan, hingga
membahas kajian agama. Di samping dari kita sendiri, kita juga undang ustadz
dan dai sekitar lokasi untuk datang memberikan pengajaran agama.
Seperti apa metode pengajaran yang diberikan
kepada mereka?
Kita berikan
pengetahuan tentang ibadah mulai dari yang tidak terlalu berat antara lain
shalat, puasa dan tadarus. Ada misalnya, teman-teman jalanan yang nggak bisa
shalat jenazah, ini jadi catatan buat kita. Ya yang seperti itulah. Di sini
hebat sekali. Teman-teman ini 'kan kebanyakan Islam, tapi luput dalam hal
ibadah. Nggak bisa shalat, nggak pernah puasa apalagi baca Alquran. Mungkin
banyak faktor penyebab, dari urusan ekonomi dan lain-lain yang membuat mereka
lupa ibadah. Makanya bagi teman-teman yang ingin datang ke sini, syarat
utamanya harus mau shalat.
Tentu
merintis aktivitas seperti itu tidaklah mudah. Apa saja hambatan yang ditemui?
Pernah ada
LSM yang kepengen kita jadi binaan mereka. Sebenarnya tidak ada soal, sejauh
kita tetap independen. Hanya kemudian, kenyataannya kita justru banyak
dieksploitasi dan dimanfaatkan. Segala kegiatan kita dibatasi oleh rekomendasi
mereka. Akhirnya kita memutuskan untuk tidak lagi bergabung ke LSM tersebut.
Setelah tak lagi menetap di lokasi awal, kita lantas pindah ke tempatnya Andi
(wakil pembina Sanggar Warung Udik) yang kebetulan orang sini.
Tapi
keluarga Andi kurang menerima kehadiran kita. Belum lagi masyarakat yang kerap
memandang negatif anak-anak jalanan. Hingga pada saat menghadapi berbagai
persoalan, saya pernah menulis tentang lika-liku kehidupan anak jalanan. Dan
tulisan itu sampai ke tangan Pak Parni Hadi (wartawan senior). Pas bulan puasa
tahun 2000, pak Parni dengan ditemani seorang rohaniwan dan orang dari Dompet
Dhuafa datang ke sini mencari saya. Setelah bicara panjang lebar, pak Parni
bersedia membantu kami. Saya katakan, kita sangat membutuhkan tempat tinggal.
Maka dicarilah rumah di daerah sini, kebetulan rumah yang sekarang kami tempati
memang hendak dijual oleh pemiliknya. Jadilah rumah ini dibeli oleh DD dan jadi
tempat bernaung.
Bila bicara anak jalanan, sebenarnya apa yang
dibutuhkan mereka?
Kita pernah
mengkonsep hal tersebut. Kita bagi tiga bagian sesuai anatomi tubuh; kampung
atas, kampung tengah, dan kampung bawah. Kalau kampung atas adalah segala hal
yang berkaitan dengan kebutuhan pendidikan dan pembinaan akhlak. Kampung tengah
merupakan faktor ekonomi dan urusan perut. Sementara kampung bawah adalah
segala kegiatan anak jalanan, impian maupun militansinya. Tiga-tiganya harus berkaitan.
Jika kita bedah urusan ekonomi saja, ya, berat tanpa diimbangi pembinaan
religi. Buktinya banyak, teman-teman yang sudah punya komunitas tapi nggak
punya benteng akidah akhirnya berantakan. Intinya kita nggak mau lepas dari
segi religi. Oleh karenanya berbagai kegiatan keagamaan kita selenggarakan.
Yang rutin, ya, ngaji bareng, shalat jamaah dan diskusi agama. Ada pula
peringatan hari-hari besar keagamaan. Alhamdulillah berkat itu, lama kelamaan
warga mau mengakui keberadaan kita. Bahkan banyak orangtua yang minta agar
anaknyaa bisa bergabung mengikuti kegiatan kita.
Bagaimana peran tokoh agama setempat pada
pembinaan anak jalanan?
Kita tetap
silaturahmi dengan tokoh masyarakat dan ustadz setempat. Setiap penyelenggaraan
kegiatan peringatan hari besar agama, kita selalu kerjasama. Kegiatan pesantren
jalanan juga melibatkan masyarakat sini. Bagaimanapun kita kan juga warga sini
juga.
Adakah tujuan khusus dari kegiatan pembinaan
agama ini?
Dasar
pemikiran adalah untuk membentengi akidah dari gerakan pemurtadan. Hal itu
patut diwaspdai. Di Ciputat yang kita tahu, tiap hari tertentu ada saja anak
jalanan yang dibaptis. Sehingga pada setiap kesempatan saya selalu pesankan
pada anak-anak agar waspada kalau ada orang yang tiba-tiba menawari sesuatu. Namun
begitu pun setiap saat ada saja yang mengadu, "Bang ada yang ngajak kita
makan-makan di Mc Donald, gimana nih Bang?" Kalau sudah begini saya
katakan,"Nggak usahlah, kalau mau makan, makan saja di sini nanti kita
masakin nasi." Jadilah gerakan kita ya untuk mengerem yang begitu itu
dengan membentengi akidah teman-teman.
Selain menggiatkan pembinaan agama, masalah
apa lagi yang hendaknya juga diselesaikan?
Sekali lagi,
yang mendominasi adalah faktor ekonomi. Inilah kemudian kita menuntut ke
pemerintah dan lembaga sosial untuk memperhatikan masalah kita. Dari kita
sendiri sebenarnya paham untuk mengatasi hal-hal seperti itu. Program-program
pemberdayaan sebaiknya dilempar saja ke anak jalanan sendiri karena mereka yang
mengetahui permasalahan dan cara-cara untuk mengatasinya.
Jadi berbagai program bantuan ke anak jalanan
yang sudah digulirkan sama sekali tidak menyentuh langsung ke pokok masalah?
Selama ini
terkesan program bantuan ke anak jalanan hanya bersifat seremonial saja.
Buang-buang duit tanpa ada manfaatannya. Mereka tidak memahami kebutuhan anak
jalanan. Pernah ada yang bertanya, "Kok kalian sudah dibina oleh DD tapi
tetap ngamen di jalan?" Ya kalau kita diam saja, ya nggak jadi dong
gerakan jalanan. Kita ini justru harus mengamen terus, kalau mau profesional
harus begitu. Pokoknya yang paham tentang anak jalanan, ya anak jalanan, bukan
mereka yang tiap hari berdasi dan duduk nyaman di kantor. Makanya kemarin kita
berkoalisi dengan sesama teman anak jalanan se-Indonesia dalam kegiatan Jambore
dan membentuk Badan Anak Jalanan se- Indonesia (Bajai). Kita kepengen jadi
sebuah badan yang legal sehingga dapat menjadi wadah penyaluran aspirasi dan
membina hubungan dengan lembaga-lembaga resmi lainnya. Sekarang kita sudah
punya jaringan di seluruh Indonesia. Ke depan, kita juga ingin model pembinaan
anak jalanan di Warung Udik bisa diterapkan di tempat lain. (RioL)
Antara Pembinaan Agama dan Perbaikan Ekonomi
Upaya
penanganan terhadap masalah anak jalanan hingga kini masih sangat terbatas.
Padahal secara konseptual penanganan masalah anak jalanan dijamin oleh
peraturan-peraturan yang ada. Survei terhadap 100 anak jalanan yang dilakukan
Data Informasi Anak/YKAI menunjukkan hanya 10% anak jalanan yang pernah
terjangkau oleh program penanganan baik yang dilaksanakan oleh pemerintah
maupun oleh lembaga swadaya masyarakat. Sementara dari Hasil Penelitian
Efektivitas Pendekatan Keluarga Dalam penanganan Anak Jalanan Tahun 1999/2000
Balitbang Departemen Sosial RI, jumlah anak jalanan yang tersebar di kota-kota
besar di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 40.000 orang.
Jumlah ini
diperkirakan meningkat lagi apabila krisis ekonomi yang berkepanjangan tidak
segera berakhir. Laporan lembaga PBB untuk Anak-anak (Unicef) mengenai Situasi
Anak di Dunia, memperlihatkan gambaran wajah anak-anak yang semakin buram.
(RioL)
Senada
dengan laporan yang dibuat oleh ILO beberapa bulan sebelumnya, organisasi ini
memperkirakan sekitar 250 juta anak-anak berusia antara 5 sampai 15 tahun harus
bekerja dalam kondisi yang membahayakan dirinya. Sebagian besar yaitu sekitar
63 persen atau mencapai angka sekitar 153 juta berada di wilayah Asia. Di
Indonesia sendiri menurut catatan Unicef, ada sekitar 2,1 juta pekerja anak
yang terdiri atas 1,2 juta anak laki-laki dan 871 ribu anak perempuan. Potret
muram anak yang bekerja digambarkan sebagai, "harus bekerja dengan jam
kerja panjang dan perlindungan tidak memadai".
Bahkan para
aktivis mencurigai pandangan bahwa anak bekerja untuk membantu sebagai adat
kebiasaan justru dapat menyesatkan dan menjadi topeng untuk menutupi situasi
yang sesungguhnya. Divisi Advokasi Anak Yayasan Bahtera Bandung, pada Juli 2003
memaparkan anak jalanan merupakan satu di antara beberapa kelompok anak yang
perlu mendapatkan perlindungan khusus karena terungkap adanya berbagai
perlakuan ekploitasi dan 'pemerkosaan' terhadap mereka. "Selain itu,
adanya penculikan anak jalanan untuk kepentingan ekploitasi ekonomi atau
eksploitasi seksual. Juga adanya penolakan dari sebagian besar masyarakat terhadap
kehadiran anak jalanan ini. Di sisi lain, penanganan dari pemda juga cenderung
represif demi kepentingan kebersihan kota," ungkap Hadi Utomo dari Yayasan
Bahtera. Begitu pula bila dilihat dari sisi keagamaan, mereka pun amat rentan
terhadap usaha-usaha yang mengarah pada pendangkalan akidah.
Faktor
ekonomi lebih sering disebut yang membuat sebagian anak jalanan mengabaikan
tuntunan agama. Oleh karenanya, menurut Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah
Khusus PP Muhammadiyah, Thabrani Syabirin, pembinaan mental spiritual pada anak
jalanan, mesti simultan dilakukan dengan upaya memperbaiki penghidupan ekonomi
mereka. Lebih jauh dia mengakui pihaknya memang belum memiliki program
pembinaan khusus terhadap anak-anak jalanan. Akan tetapi dalam bentuk yang lain,
telah lama PP Muhammadiyah melaksanakan program dakwah maupun penanganan
kemiskinan bagi masyarakat kecil yang tinggal di desa atau wilayah perkotaan.
Program tersebut dimulai tahun 1973. Kala itu, Muhammadiyah mengirim santri dan
dai ke desa-desa yang dinilai potensial menjadi sasaran pemurtadan. Tiap
tahunnya, tak kurang dari 500 tenaga dai yang dikirim.
Akan tetapi
pada perkembangan selanjutnya, program ini menemui kendala yang bersumber dari
keterbatasan tenaga serta dana. Thabrani juga melihat, secara keseluruhan,
program pembinaan akhlak bagi masyarakat bawah selama ini belum mencapai tujuan
seperti yang diharapkan."Selama persoalan ekonomi belum disentuh, mereka
tetap amat rawan terhadap upaya-upaya pendangkalan akidah," tandas dia.
Menurut pendapatnya pembinaan agama dan penanganan kemiskinan merupakan
tanggungjawab semua elemen bangsa, term`suk di antaranya lembaga keagamaan,
LSM, pemerintah serta masyarakat. "Ormas Islam sebaiknya meningkatkan
dakwah bil hal kepada anak-anak jalanan," ujarnya. Pada kesempatan
terpisah, Wakil Sekretaris Umum MUI, KH Ikhwan Syam mengatakan pembinaan kepada
anak jalanan membutuhkan cara maupun metode khusus.
Kepada
mereka, tidak bisa lagi hanya berupa penyampaian ceramah maupun dakwah,
melainkan harus ditambah dengan upaya agar anak-anak jalanan itu menjadi
manusia seutuhnya. "Dakwah dalam metode yang baru sebaiknya ya memberikan
pencerahan seperti itu," tukasnya. Ikhwan juga menganggap bahwa anak-anak
jalanan termasuk kelompok masyarakat yang rentan terhadap usaha pemurtadan.
Dengan begitu, dia harapkan kepada segenap unsur lembaga agama, para dai serta
mubaligh untuk senantiasa memberikan perhatian terhadap mereka. Maka tidaklah
mengherankan apabila anak jalanan menjadi satu dari delapan sasaran utama pada
peta dakwah MUI yang kini tengah disosialisasikan. Di situ, nantinya akan
disusun bagaimana kondisi umum anak jalanan di berbagai kota besar serta
upaya-upaya penanganan yang dapat dilakukan.
Diharapkan
sebelum berakhir masa kepengurusan tahun 2005 mendatang, kegiatan dakwah pada
anak jalanan dapat terlaksana. Untuk sekarang ini, Ikhwan mengungkapkan MUI
belum memiliki program pembinaan khusus untuk anak-anak jalanan. Akan tetapi,
pihaknya secara sporadis telah beberapa kali terlibat dalam kegiatan penanganan
dan pembinaan anak jalanan. Begitu pula bantuan secara finansial. MUI beberapa
waktu lalu pernah membantu pengadaan gerobak yang diharapkan bisa digunakan
anak jalanan untuk mencari nafkah. Selain itu, ada juga bantuan bagi kegiatan
sekretariat perkumpulan anak jalanan di kawasan Tanah Abang. "Kami hanya
memberikan 'kail'. Mereka kami beri kebebasan untuk berusaha apa saja yang
penting tidak mengandung mudharat. Intinya yang kami berikan adalah untuk
memanusiakan anak-anak jalanan itu," dia menambahkan. (RioL)
Bahaya Kemiskinan
KH Drs
Shiddiq Aminullah MBA
Ada pengamat
ekonomi menyebutkan bahwa pascakrisis ekonomi, hampir setengah dari penduduk
Indonesia termasuk kelompok miskin, yaitu mereka yang penghasilan per harinya
kurang dari dua dolar AS. Jika hal itu benar, bisa dipastikan mayoritasnya
adalah muslim. Situasi seperti ini tentu saja sangat memprihatinkan sekaligus
menjadi bahaya. Sebab kemiskinan ekonomi akan berdampak pada kualitas
kesehatan, kecerdasan dan tingkat pendidikan. Masyarakat yang miskin dengan
kualitas pendidikan, khususnya pendidikan keislaman yang rendah, sangat rawan
terhadap patologi sosial atau penyakit masyarakat, seperti perjudian,
prostitusi, miras, napza serta rumah tangga yang amburadul.
Masyarakat
dengan kondisi seperti itu juga rawan terhadap gerakan pemurtadan. Kemiskinan
dan keterbelakangan di bidang pendidikan sering dieksploitasi oleh kekuatan
dakwah agama lain untuk memurtadkan mereka. Caranya, dengan mengiming-imingi
materi, baik itu sembako, beasiswa, pengobatan gratis, pendidikan keterampilan
gratis, pembagian alat olahraga, dsb.
Bahkan
setiap kali pemilu digelar, masyarakat seperti ini juga sering dieksploitasi
oleh partai-partai berduit banyak untuk kepentingan sesaat mereka. Dengan
iming-iming materi, mereka digiring untuk memenangkan partai tersebut. Mereka
biasanya tidak terlalu peduli partai mana atau tokoh mana yang terbaik yang
akan memperjuangkan nasib mereka dan memperbaiki keadaan. Tanggung jawab moral
dan sosialnya sering digadaikan hanya dengan sedikit materi.
Masyarakat
dengan kondisi seperti ini biasanya apresiasi terhadap nilai-nilai agama
menjadi rendah. Penyebabnya, waktu, tenaga, perhatian dan pikiran mereka habis
tersita oleh kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka jadi tidak
punya kesempatan untuk shalat berjamaah, hadir ke pengajian, bahkan kadang
shalat Jumat yang seminggu sekalipun sudah tidak bisa. Masalah kaya dan miskin
adalah sunnatullah. Secara naluriyah manusia tidak ingin hidup miskin apalagi
menjadi sebuah bangsa yang miskin. Padahal, kita tinggal di sebuah negara yang
kaya akan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam.
Mengapa
kondisi ini bisa terjadi? Jawabannya tentu beraneka ragam dan penyebabnyapun
tentu banyak. Di antaranya, pertama, karena sistem yang dipakai adalah sistem
kapitalis yang syarat dengan riba, gharar dan maisir yang diharamkan dalam
Islam. Sistem tersebut lebih berpihak kepada pemodal besar sehingga di negeri
ini, monopoli, ogipoli dan konglomerasi membudaya karena sudah ditanamkan oleh
kolonial Belanda dulu. Sistem ini juga telah melahirkan kesenjangan ekonomi
yang sangat dalam antara si kaya dengan si miskin.
Kondisi
tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam. Seperti diterangkan dalam QS
Al-Hasyr:7. Bahkan Nabi SAW, pernah memperingatkan bahwa jika harta kekayaan
negara hanya beredar pada segelintir penguasa dan pengusaha, maka halal bagi
penduduk negeri itu untuk ditimpa bencana. (HR. At-Tirmidzi). Sistem kapitalis
juga berdampak terhadap banyak bidang kehidupan. Misalnya budaya yang
hedonistik, agama yang sekuleristik, agama hanya diakui sebagai urusan pribadi
dengan Allah dan tidak boleh dibawa-bawa ke wilayah publik; hukum yang
'barbaris'; keadilan menjadi barang sangat mahal dan hukum yang berpihak kepada
penguasa dan orang kaya, dsb.
Kedua,
karena kebijakan penguasa yang lebih sering berpihak kepada konglomerat
daripada kepada rakyat melarat. Memprioritaskan pertumbuhan ekonomi daripada
pemerataan ekonomi, pembangunan yang banyak bertumpu pada utang atau pinjaman
asing sehingga meredusir wibawa dan harga diri sebuah bangsa besar. Dampaknya,
banyak kebijakan penguasa yang lebih manut kepada kemauan hegemoni asing
ketimbang kepentingan rakyat sendiri.
Nabi SAW,
sebelum salam dari shalat sering berdoa Allohumma inni A'udzubika minal
ma'tsami wal maghromi '' (Ya Allah, hamba berlindung diri kepada-Mu dari banyak
dosa dan utang yang banyak) HR Ibnu Hibban. Di negeri ini banyak pejabat yang
bangga ketika mendapat tambahan utang. Subhanallah! Ketiga, kelemahan umat
Islam sendiri. Di kalangan orang kayanya kesadaran untuk menunaikan zakat,
infaq, shodaqoh dan waqaf masih relatif rendah. Sementara di kalangan orang
miskinnya bermental malas dan fatalis. Semua ini tentu harus diperbaiki dan
merupakan tanggung jawab bersama. Wallohu a'lam bis showwab (RioL)
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sabahat
0 komentar:
Posting Komentar