Aku adalah
seekor gagak, kata orang rupaku jelek mungkin mereka hanya melihat penampilanku
saja. Memang ku sedikit kuakui bulu-buluku hitam bahkan sampai badanku juga.
Tapi kadang aku merasa aneh terhadap mereka yang mengatakan aku jelek padahal
sebenarnya aku tidaklah begitu jelek. Aku pikir aku standar kok dengan
kebanyakan burung gagak yang lain tapi toh kenapa mereka masih mengatakan aku
jelek. “Cap’ yang mereka berikan kepadaku sebenarnya membuatkan down dalam menjalani
hidup ini. Akibatnya sering terpikir olehku bisakah diri ini mencintai burung
gagak betina yang aku cintai, akankah dia menerimaku dengan keadaanku seperti
ini yang katanya aku jelek. Ah mereka selalu membuatku seperti ini, kenapa sih
mereka selalu mengatakan aku jelek.
Hari ini aku
akan mencoba bertanya kepada sahabat-sahabatku selain manusia karena manusia
hanya melihat penampilanku saja tidak melihat dari sisi yang lainnya. Aku akan
mulai bertanya kepada sahabat setiaku sang pohon nangka yang dahannya selalu
aku hinggapi setiap pagi saat aku tatap mentari.
“Assalamu’alikum,
pohon nangka yang baik,” sapaku pagi itu”. “Wa’alikum salam, sahabatku burung
gagak yang gagah,” jawabnya dengan senyum khasnya. “Aku lihat wajahmu begitu
muram, ada apakah gerangan apakah engkau sedang mempunyai masalah yang berat
wahai sahabatku,” lanjut pohon nangka sambil menatapku heran.
“Begitulah
sahabatku pohon nangka, hari ini aku begitu bingung dan agak down, aku juga
belum menemukan solusinya sampai sekarang, aku bingung banget,” jawabku sambil
kutatap sahabatku itu yang kulihat selalu tegap dan hidupnya penuh optimis.
“Mungkin aku
bisa membantumu mencarikan jalan keluarnya,” jawabnya menawarkan diri. “Aku kan
sahabatpun sejak engkau kecil, bahkan aku rela engkau selalu hinggap di dahanku
ini walau kadang aku merasa pegal, beritahukanlah kepdaku dan mari kita carikan
jalan keluarnya,” selanya meyakinkan aku yang dari tadi hanya termenung dengan
tatapan kosong.
Aku terdiam,
sebenarnya aku ingin mengungkapkan masalah ini padanya tapi aku begitu takut.
Aku takut sahabatku itu akan mengatakan hal yang sama seperti manusia
kebanyakan. “Sahabatku, mengapa engkau diam, tidakkah engkau mau membeitahukan
masalahmu padaku?” tanyanya lagi. “Ah tidak sahabatku aku hanya takut engkau
akan mengatakan hal yang sama seperti manusia mengenai diriku,” jawabku sedikit
kaget. “Percayalah sahabatku, aku akan memberikan yang terbaik buatmu,”jawabnya
meyakinkan.
Kutatap
sahabatku itu sehingga keraguan yang sempat muncul hilang lalu aku pun
menceritakan masalah yang sedang aku hadapi saat ini. “Bagaimana menurutmu
wahai sahabatku pohon nangka, apakah yang manusia katakan kepadaku itu benar
adanya?” tanyaku kemudian. Kulihat sahabatku itu terdiam entah apa yang sedang
dipikirkannya sesekali dia melihat dan menatapku seolah-olah sedang
memperhatikan seluruh tubuhku.
“Sebenarnya
memang engkau hitam tapi tidak jelek karena memang Allah menciptkaanmu seperti
itu, aku yakin ini semua ada maksudnya. Aku yakin Allah menciptakan mahluknya
dengan sesempurna mungkin hanya saja kadangkala kita tidak mau menerimanya
ketika dihadapkan pada keadaan seperti sekarang ini,” jawabnya dengan penuh
perhatian. “Engkau jangan berpikir dangkal, biarkanlah mereka mengatakan engkau
jelek, tapi yakinlah bahwa dibalik itu semua ada sebuah pelajaran yang sangat
berharga.” Jawabnya lagi sambil memegang pundakku yang dari tadi hanya diam.
“Tapi karena
ucapan itu membuat aku down bahkan aku tidak bergairah hidup, kamu kan tahu aku
begitu perasaan dalam hal ini,” selaku tidak terima. “Aku mengerti perasaanmu,
tapi jika engkau seperti ini terus engkau malah akan tersiksa dengan perasaanmu
sendiri, saranku biarkanlah dan balaslah mereka dengan perbuatan yang baik
niscaya engkau akan disukai mereka. Aku yakin walaupun engkau dikatakan jelek
tapi hatimu baik itu lebih utama ketimbang wajahmu bagus tapi hati kamu kotor
seperti lumpur.” Jawabnya lagi.
Kali ini aku
merasa agak sedikit terhibur.
“Tapi
sahabatku, aku sering sekali ingin mencintai wanita yang aku cintai tapi mereka
tidak menerimaku, bukankah itu karena wajahku.” Tanyaku kembali.
“Mungkin
iya, mungkin tidak.” Jawabnya. “Maksudmu?” tanyaku bingung.
“Begini
sahabatku, mungkin iya, karena tidak semua wanita mau mempunyai pendampingnya
yang jelek, dengan mempunyai pendamping yang gagah dan cakep mereka akan merasa
bangga dan tidak di remehkan oleh teman-temannya. Tapi, sahabatku tipe wanita
seperti ini bukanlah tipe wanita yang perlu engkau jadikan pendamping karena
kebanyakan wanita jenis ini kehidupannya tidak bahagia. Karena mereka selalu
merasa takut kekasihnya akan selingkuh dengan wanita lain atau mungkin dia
tidak selingkuh tapi pastilah wanita kebanyakan akan memburunya. Begitulah
sahabatku, jika kita memilih penampilannya saja dengan tidak melihat hatinya
dikemudian hari akan berakibat sengsara. Bukankah pernah engkau mendengar syair
yang berbunyi;
“Engkau
menyangka pemuda kurus tidak berdaya,
padahal ia
buas bagai serigala yang siap memangsa.
Engkau
mengagumi pemuda yang tampak gagah,
Namun
akhirnya engkau tertipu oleh penampilannya.”
Sedangkan
tidaknya adalah barangkali dia belum mau mempunyai kekasih yang selalu
mendampinginya. Mungkin juga dia belum mau hatinya terikat, dalam kata lain dia
ingin bebas dulu. Sahabatku, berbaik sangkalah, mungkin Allah belum memberikan
engkau pendamping yang engkau dambakan. Jangan berperasangka buruk, berusahalah
menjadi yang terbaik suatu saat nanti Insya Allah pasti engkau akan mendapatkan
wanita yang engkau cintai,” jawabnya dengan tenang dan begitu serius.
Sebenarnya
aku sedikit terhibur dengan ucapan sahabatku itu, tapi jika aku mendengar
kata-kata itu lagi maka hatiku akan down. “Ya sudahlah aku akan mencobanya
untuk tidak mendengarkan mereka, aku akan mencoba hidup penuh optimis,” jawabku
mantap. “Nah begitu dong itu baru sahabatku dan ingat jadilah engkau tuli
ketika mendengar kata-kata seperti itu.” Selanya kemudia.
Akhirnya ku
pun pamit kepada sahabtku itu sambil kuucapkan terima kasih atas sarannya lalu
aku pun terbang dengan sedikit harapan di dadaku.
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar