Minggu, 01 Juli 2012

Perjalanan Umroh (Part 2)


Perjalanan I : Jakarta-Jeddah

Saya berangkat dengan apa adanya menuju Jeddah. Instruksi saya kepada sekretaris yg membooking perjalanan untuk mengambil paket yg paling murah, paling singkat, dan paling efisien. Boleh dikata niat saya bukan untuk ibadah, tapi untuk sebuah hipotesa.

Diperjalanan, saya bertemu dengan seorang Haji yg telah beberapa kali berhaji dan berumroh, Bp H Tabrani (63), mantan walikota Jakarta Timur, kelahiran Aceh.

Kamipun terlibat diskusi dipesawat. Saya katakan bahwa saya datang ke Mekkah bukan untuk cari umur panjang, rejeki, kemakmuran, kekayaan, dsb. Saya katakana saya hanya ingin mencari petunjuk, hidayah bahwa Al-Qur'an adalah memang benar datangnya dari Allah dan bukan konsepnya Muhammad . Saya ingin tahu hipotesa saya benar atau salah.

H.Tabrani berkata, " Insya Allah you akan dapat semua itu. Namun semua akan tergantung dari cara you memandangnya, apakah fenomena itu adalah sebuah petunjuk, atau hanya sebuah kebetulan ".

Kejadian 1

Beberapa saat setelah beliau bicara, tiba-tiba mesin pesawat mati satu. Penumpang pun diharap kembali ketempat duduk masing-masing dan memasang sabuk pengaman. Penerbangan baru berlangsung 45 menit. 5 menit kemudian kedua mesin Boeing 747 disayap kiri mati. Pilot pun memberitahukan bahwa pesawat harus kembali ke Airport Soekarno Hatta.

Kemudian pesawat mengalami turbulens yg menyeramkan disertai jeritan penumpang, sementara saya melihat kejendela pembuangan bahan bakar mulai dilakukan. Ini merupakan pemandangan yg sama sekali tidak menyenangkan.

Saat itu saya mulai takut dan berfikir tentang kematian. Berkali-kali saya terbang, baru kali ini mengalami kejadian yg demikian. Apakah tempat yg saya tuju memang luar biasa ? Ataukah ini hanya kebetulan saja ?

Dengan sisa mesin dan kekuatan yg ada, pesawat terbang miring dan mendongak, sementara yg saya lihat dibawah hanya lautan lepas. Namun akhirnya pesawat dapat mendarat di Soekarno Hatta dengan selamat, diiringi beberapa mobil pemadam yg siap siaga.

Kami semua di inapkan di Horison Hotel-Ancol. Di Hotel diskusi saya dengan Bp H Tabrani berlanjut.

Saya tanya ; Aca :" Pak Haji, kok susah bener ya mau ke Mekkah aja ?" " Baru kali ini saya saya naik pesawat kayak begini"

H Tabrani : " You kurang niat kali... ini khan bukan perjalanan biasa".

Aca : Apanya yg luar biasa. Secara teknis tetap sama"

H Tabrani : " Wah...you boleh pilih, melihat ini sebagai sebuah Kebetulan, atau sebuah kebesaran Allah ! "

Aca : " Tapi Pak, kenapa kalau Allah mau kasih pelajaran Semua satu pesawat terkena getahnya, padahal khan Ada penumpang lain seperti Bapak yg sudah berniat bulat umroh tetapi juga batal ".

H Tabrani : " Andry...you khan tahu tidak semua penduduk Indonesia bobrok mentalnya, tetapi, jika Allah mau kasih pelajaran khusus – hampir seluruh rakyat Indonesia terkena dampaknya". " Bisa jadi karena you dengan niat hipotesa atheis itu - kita semua satu pesawat terkena akibatnya". "Coba dech.. you pikirin ! "

Akhirnya saya mulai tafakur, mencoba untuk merendahkan hati, sholat isya' - dan membaca niat untuk umroh. Saya mulai membuka-buka buku-buku petunjuk menjalankan umroh. Walau saya jarang (hampir tidak pernah) berdo'a, saya baca-baca do'a nya.

Kejadian 2

Esoknya kami berangkat dengan pesawat lain. Dan ketika itu saya melonjak kegirangan, karena saya di up-grade ke first clAssalamu'alaikum Waduh, enak juga, 10 jam terbang tanpa harus berdesakan dengan fasilitas lainnya yg tidak sama dengan economi.

Tiba-tiba H Tabrani datang, " Wah you koq disini ?

" Aca : " Alhamdulillah saya di up-grade Pak "

H Tabrani : " Waduh...enak benerrrr, you udah niat umroh ? "

Aca : " Udah Pak, semalam saya tafakur, berdo'a dan membaca niat "

H Tabrani : "Bagus kalau begitu. You sekarang melihat kan Allah bisa memberikan imbalan kenikmatan secara Langsung "

Aca : "Loh tapi Pak Haji, ini khan petugas maskapai yg Ngatur!?"

H Tabrani : " Bukan ! ini Allah yg ngatur, melalui tangan petugas"

Aca : " Wah ini mungkin hanya kebetulan saja Pak !" " Nggak masuk akal kalo Cuma karena niat, saya langsung diberi kenikmatan oleh Allah ".

H Tabrani : " OK... khan saya sudah bilang dari kemarin, semua Terserah you saja, apakah you mau melihat dengan Kacamata kebetulan, atau kacamata iman!"

H Tabrani pun mulai sewot dengan saya. Entah karena nggak di up-grade atau karena sikap saya yg dianggapnya wangkeng.

Kejadian 3

Dipesawat, saya dikenalkan oleh pramugari kepada 2 orang penumpang yg menekuni manajemen pikiran. Dian, pramugari yg sebelumnya terlibat diskusi agama dengan saya dan H Tabrani, menyarankan agar masalah saya diungkapkan kepada mereka. Kamipun berkenalan, seorang bernama Nur Cahyo, seorang lagi bernama Kartiko (mungkin muridnya).

Saya jelaskan permasalahan utama saya. Akhirnya ia menjelaskan, " Sdr Andry, selama ini saya tahu anda telah banyak berupaya, namun upaya itu belum optimum. Apa sebab - karena sdr hanya menggunakan sebahagian yakni bagian kiri saja dari otak sdr ".

"Karena otak, mempunyai 2 belahan, belahan kiri yg fungsinya untuk menganalisa, kalkulasi, logika, konsentrasi, hipotesa, dsb, dan belahan kanan yg berfungsi mencerna keindahan, emosi, seni (spt musik), euphoria, keimanan, dsb. Kedua belahan otak tsb harus sdr gunakan. Wajar kalau saudara hanya mengandalkan analisa dan mendewakan sirkuit logika".

" Ada daerah kekuasaan Tuhan yg tidak dapat dianalisa dan didiskusikan. Daerah tsb hanya dapat dicerna oleh perasaan yg kita sebut iman".

"Loh...itu khan basic prinsip Quantum Learning, saya tahu benar itu ", kilah saya.
"Betul...bagus kalau anda tahu - tapi pernahkah anda terapkan dalam pencarian ini ?".

Saya mulai bingung dengan pertanyaan Kartiko. Saya tahu benar ilmu itu, karena saya sering jadi pembicara tentang metode belajar dan bekerja menggunakan keseimbangan otak kiri - kanan.

Kepala saya seperti dipentung oleh senjata saya sendiri.

Kartiko melanjutkan, "Jika yg sdr cari adalah petunjuk, ia dapat berupa ilham, mimpi, atau fenomena dan kejadian-kejadian yg tak masuk akal. Sdr tak akan bisa menelaah semua itu nanti di perjalanan dengan otak kiri (analisa) saja. Hasilnya akan sdr pisah-pisah dan terlihat tidak berkaitan satu sama lain. Namun apabila sdr gunakan juga otak kanan (intuisi/rasa/ iman), hasilnya akan sangat menakjubkan" .

H Tabrani pun ikut terlibat diskusi, dan ia banyak membenarkan perkataan Kartiko.
Sebelum Kartiko kembali ke kursi duduknya, saya bertanya kepadanya, "Anda kuliah dimana ?".

Kartikopun menjawab "Politeknik Mekanik Swiss".

"Astaga, angkatan berapa ?".
"Angkatan 88", jawabnya.

Akhirnya, kami pun bertambah mesra.

Saya mulai menarik hipotesa dengan kedua belahan otak saya ;

1. Apakah instrumen ini berguna (telaah menggunakan kedua belahan otak) untuk pencarian saya ?
2. Kenapa saya tak pernah menggunakannya, padahal saya tahu dan gandrung dengan ilmu itu ?
3. Apakah ia hanya seorang kenalan di pesawat, atau kah sebuah petunjuk agar saya menggunakan instrumen itu dalam perjalanan sekarang dan nanti ?
4. Apakah pertemuan kami ini hanya sebuah kebetulan ?
5. Apakah Kartiko juga seorang yg kebetulan berlatar belakang pendidikan sama dengan saya sehingga jalan berfikir kami sepertinya klop !?

Saya kembali membahas ini dengan H Tabrani.
Beliau seperti biasa sambil sewot, " Terserah...you mau lihat dari kacamata kebetulan atau kacamata kebesaran Allah !".

Sayapun mulai tak percaya dengan diri saya. Saya mulai goyah dengan pandangan saya selama ini.

Kejadian 4

Akhirnya kami pun tiba di Jeddah, yg kemudian perjalanan disambung ke Madinah. Malam hari kita berangkat sholat Isya' ke Masjid Nabawi. Disini Rasululloh dimakamkan, jelas H Tabrani.

"Kok kuburan di Masjid Pak Haji, nggak bener itu !"

"Wah you ini mau sholat apa nggak !". "You khan bisa sholat karena orang yg dimakamkan disini !".

Tanpa banyak bantah saya ikuti ajakannya sholat diluar (halaman) Masjid (karena larut, pintu masuk sudah ditutup). Saya sholat tepat disamping pintu makam Rasululloh, sedang H Tabrani sholat 5 meter didepan saya.

Tiba-tiba, baru saja saya takbiratul ihrom, pintu disamping saya berdebum. Sayup-sayup berdebum. Seperti suara orang kerja. Tapi lebih mirip suara orang marah-marah membanting meja atau kursi.

Tiba-tiba perasaan takut saya datang. Akhirnya saya batalkan sholat saya, pindah menjauhi makam Rasululloh. Makam orang yg saya pikir pembuat Al-Qur'an. Dan saya mulai dihantui pemikiran tersebut. Sholat saya sudah nggak bisa khusuk lagi.

"Andry...kamu kenapa pindah sholatnya ?", tanya H Tabrani.
"Nggak tahu tuh Pak, ada suara berisik dipintu, sepertinya pintu itu mau dibuka orang ", jawab saya.
"Suara berisik apa ".
"Loh Pak Haji nggak denger barusan "
"Enggak ah..., Iqbal...kamu dengar suara ?" "Enggak Pak..."

Perasaan saya mulai nggak karuan. Rasa takut dicampur rasa bersalah.

Saya coba analisa pakai belahan kiri, bahwa mungkin posisi saya yg tegak lurus dengan pintu menyebabkan saya bisa dengar, namun mereka karena tidak tegak lurus, mereka tak bisa mendengar. Tapi harusnya juga dengar. Mustahil tidak, karena suara itu keras koq.

Akhirnya saya ceritakan ke H Tabrani tentang perasaan kacau saya. Saya ceritakan bahwa saya pernah menulis e-mail yg berpendapat apakah semua ini bisa-bisa nya Muhammad. Kala itu saya tetap menyangsikan kronologi turunnya wahyu. Hingga saya mensejajarkan posisi Muhammad dengan Napoleon, Karl Marx, Einstein, Aristoteles, Plato, dan pemikir besar dunia lainnya.

"Wah...kalau you udah sadar itu salah, you mesti minta maaf besok didalam Masjid, tepat disamping makamnya kalau bisa ", kilah H Tabrani.

Esok hari, pagi-pagi sekali kami bangun, berangkat menuju Masjid Nabawi.
Masjid besar dengan halaman yang juga besar. Dengan terhuyung sambil ngantuk (karena nggak biasa bangun dan sholat shubuh) saya berjalan menyusuri halaman Masjid seperti menyusuri 2 kali panjang lapangan bola. Seluruh lantainya ditutupi Pualam putih.

Setelah melewati pintu utama, saya berjalan memasuki ruang dalam Masjid area perluasan King Fadh. Saking besarnya, pandangan lepas kita tak dapat melihat ujung Masjid lainnya. Lantai, dinding dan Tiang ditutupi marmer yg dipolish licin. Setiap tiang terdapat lubang AC yg dapat mengatur suhu ruangan otomatis.

Kami terus berjalan menuju Raudah (batas bangunan asli Masjid yg dibangun Muhammad) melewati area perluasan King Azis. Antara perluasan King Fadh dan King Azis terdapat Kubah yg dapat terbuka dan tertutup otomatis. Sempat terfikir oleh saya, betapa besar biaya yg diperlukan untuk ini semua.

Namun saya coba tahan pemikiran negatif itu dan menggantikannya dengan fikiran betapa besar pengaruh Muhammad sampai sekarang hingga dapat terwujud Masjid sebesar dan seagung ini.

Kamipun hampir mencapai Raudhah, namun tak bisa masuk karena penuhnya.
Setelah sholat Shubuh, raya dianjurkan H Tabrani untuk berdo'a di area Rhaudah.

"Kenapa .?", tanya saya.
"Berdoa disana Insya Allah lebih amat makbul (dijawab oleh Allah terhadap permintaan doa kita).

Sempat terbesit pertanyaan saya, apakah doa orang yg berdoa di Masjid Dago Atas tidak makbul ?
Namun saya mulai menahan diri terhadap pemikiran dan pertanyaan model itu.

Setelah berdoa, kamipun berdesakan keluar melalui Pintu Jibril, pintu yg melewati tepat muka makam Rasululloh. Saya ambil barisan paling kiri, barisan yg paling dekat dengan sisi makam. Kami berjalan berdesakan, perlahan, penuh sesak namun sangat tertib. Dari kejauhan saya melihat pagar makam yg didalamnya gelap tak ada cahaya. Dalam antrian perlahan saya mendekati makam. Didalam pagar terlihat tiga makam yg ditutupi kain. Saya tak tahu yg mana Makam Rasululloh, yg mana makam Abu Bakar, dan yg mana makam Khadijah, isteri Nabi.

Kejadian 5

Disepanjang makam berdiri 4 orang tua dengan badan tinggi bersorban yg selalu menepis tangan orang yg mencoba memegang pagar dengan meratap. "Musyrik !!!", hardiknya. Mereka senantiasa menjaga perilaku setiap orang yg mencoba ziarah dengan kelakuan aneh. Disini saya mulai mengerti arti Islam sebagai agama Tauhid. Agama yg berillah hanya dan hanya kepada Allah. Tiada kepada yg lain, tiada pula kepada para Nabinya. Nabi hanya sebagai pembawa RisalahNYA, MandatarisNYA, dan bukan tempat untuk meminta atau berdo 'a. Nabi juga bukanlah anakNYA, karena beranak pinak adalah perilaku ciptaaNYA dan bukan salah satu sifatNYA/perilakuNYA. Musyrik atau Syirik, mensyarikatkan Allah dengan sesuatu lainnya adalah satu-satunya perbuatan dosa yg tidak pernah diampuni Allah.

Bukan maksud saya menyindir, tapi sering kali orang melakukan "HUMANISASI".

Imajinasi bentuk alien (mahluk luar angkasa) tak pernah jauh lari dari bentuk manusia, berbadan, berkepala, bertangan dan berkaki. Film-film kartun Hollywood , selalu menampilkan bentuk perilaku binatang yg bertingkah polah bagai manusia, dan berbentuk fisik yg sudah dirobah menjadi mirip manusia. Dongeng-dongeng binatang buku cerita untuk anak kecil juga demikian. Robot-robot sekarang dan masa datang,mengambil analogi kerja tubuh dan bentuk badan manusia. Sampai-sampai Tuhan atau Dewa-dewa yg digambarkannya pun mirip bentuk manusia. Adapula yg menganalogikan perilaku Tuhannya seperti manusia dengan perilaku beranak pinak. Disini saya merasa mendapat petunjuk, bahwa Muhammad NabiNYA, bukan anakNYA, bukan tempat meminta.

Ketika saya tiba persis dimuka makam, seseorang dengan suara yg berat dibelakang saya berkata perlahan. Tidak keras namun tidak berbisik. Kedua tangannya memegang pundak saya dari belakang. Ia berkata dalam bahasa Arab, " Ya Rasululloh.. .ini aku, aku datang kepadamu, bukan untuk meminta sesuatu yg lain. Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu ya Habiballoh. Aku hanya mengagumimu namun aku tak pernah memujimu. Aku fikir aku telah menempatkanmu pada posisi yg tinggi, namun ternyata engkau lebih mulia dari itu. Aku tidak mencela engkau namun aku sadar aku telah melecehkan engkau. Aku minta maaf ya Rasululloh".

Pembaca, saya dapat mengerti hampir seluruh ucapannya dalam bahasa Arab itu, namun saya belum pernah belajar Nahu sorob atau bahasa Arab ! Saya jadi bingung sendiri. Saya lihat dipundak saya salah satu tangannya yg memegang pundak saya dari belakang, besar sekali dan hitam legam. Waktu saya menolah kebelakang, orang tersebut seperti dari Afrika, tinggi luar biasa, hitam legam. Ia mengucapkannya sambil merintih menahan tangis. Rasa haru, menyesal luar biasa, dan sedikit ketakutan pun menyelimuti saya.

Saya tak ucapkan kata apapun. Semua yg akan saya ucapkan telah diucapkan orang dibelakang saya dalam bahasa Arab yg saya tiba-tiba mengertinya.

Keluar pintu Jibril, saya menunduk menahan tangis dan haru, agar tak terlihat H Tabrani dan Iqbal puteranya. H Tabrani tahu itu. Merekapun mempercepat langkah agar tetap didepan saya. Saya coba cari orang tinggi besar hitam tadi. Mungkin karena ramai kerumunan, saya tak dapat menemukannya.

Sesampai di Hotel, kamipun mendiskusikannya. Terutama tentang dapat mengertinya saya terhadap ucapan dalam bahasa Arab.

Saya bilang : "Mungkin begini Pak, karena saya dihantui rasa bersalah, dan memang saya akan berkata minta maaf, maka persepsi saya terhadap apa yg diucapkan orang tadi adalah persepsi fikiran saya".

H Tabrani : "Itu mungkin. Mungkin saja. Tapi mungkin juga petunjuk, bahwa beliau (Rasululloh) tahu benar isi hati anda, dan beliau dengan ahlaknya yg mulia sudah memaafkan you tentunya".

Aca : " Ah...masak sich Pak. Sedemikian mudah dan cepatnya saya mendapat petunjuk "

H Tabrani : " Temen you dan saya khan sudah berkali-kali mengatakan, semua itu terserah you saja. Apakah you mau anggap itu semua kebetulan atau sebuah petunjuk. Berkali-kali saya mengatakan - terserah you saja !"

Saya mulai tak banyak membantah.
Saya benar-benar mulai berfikir, bahwa tak ada yg namanya kebetulan.
Semua sudah ada aturannya, semua sudah ada sebab akibatnya.
Ada sebuah "hukum sebab-akibat" yg berlaku absolut dialam semesta ini.
Hukum Sebab-Akibat itu diatas hukum-hukum lainnya.
Juga diatas hukum fisika, sosial, maupun psykologi yg saya anut selama ini.


Saya mulai meyakini ini sebagai Hukum Sunatulloh, dan bukan hukum psikologi. Bukan efek kebetulan karena rasa bersalah. Bukan efek kebetulan kondisional akibat suasana yg khusuk, sakral atau magic/angker. Melainkan hukum Sunatulloh kepada orang yg mencari ridhoNYA, orang yg mencari jalan yg diridhoNYA. Namun saya tak berani berfikir bahwa saya sudah berada pada jalan yg benar, dalam "The right track". Namun yg jelas, saya mulai lebih berhati-hati dan tidak gegabah.

Bersambung …


Niyaz Khalil
Harapan dari Seorang Sahabat

0 komentar:

Posting Komentar

 
;