Perjalanan I : Jakarta-Jeddah
Saya
berangkat dengan apa adanya menuju Jeddah. Instruksi saya kepada sekretaris yg
membooking perjalanan untuk mengambil paket yg paling murah, paling singkat,
dan paling efisien. Boleh dikata niat saya bukan untuk ibadah, tapi untuk
sebuah hipotesa.
Diperjalanan,
saya bertemu dengan seorang Haji yg telah beberapa kali berhaji dan berumroh,
Bp H Tabrani (63), mantan walikota Jakarta Timur, kelahiran Aceh.
Kamipun
terlibat diskusi dipesawat. Saya katakan bahwa saya datang ke Mekkah bukan
untuk cari umur panjang, rejeki, kemakmuran, kekayaan, dsb. Saya katakana saya
hanya ingin mencari petunjuk, hidayah bahwa Al-Qur'an adalah memang benar
datangnya dari Allah dan bukan konsepnya Muhammad . Saya ingin tahu hipotesa
saya benar atau salah.
H.Tabrani
berkata, " Insya Allah you akan dapat semua itu. Namun semua akan
tergantung dari cara you memandangnya, apakah fenomena itu adalah sebuah
petunjuk, atau hanya sebuah kebetulan ".
Kejadian 1
Beberapa
saat setelah beliau bicara, tiba-tiba mesin pesawat mati satu. Penumpang pun
diharap kembali ketempat duduk masing-masing dan memasang sabuk pengaman.
Penerbangan baru berlangsung 45 menit. 5 menit kemudian kedua mesin Boeing 747
disayap kiri mati. Pilot pun memberitahukan bahwa pesawat harus kembali ke
Airport Soekarno Hatta.
Kemudian
pesawat mengalami turbulens yg menyeramkan disertai jeritan penumpang,
sementara saya melihat kejendela pembuangan bahan bakar mulai dilakukan. Ini
merupakan pemandangan yg sama sekali tidak menyenangkan.
Saat itu
saya mulai takut dan berfikir tentang kematian. Berkali-kali saya terbang, baru
kali ini mengalami kejadian yg demikian. Apakah tempat yg saya tuju memang luar
biasa ? Ataukah ini hanya kebetulan saja ?
Dengan sisa
mesin dan kekuatan yg ada, pesawat terbang miring dan mendongak, sementara yg
saya lihat dibawah hanya lautan lepas. Namun akhirnya pesawat dapat mendarat di
Soekarno Hatta dengan selamat, diiringi beberapa mobil pemadam yg siap siaga.
Kami semua di
inapkan di Horison Hotel-Ancol. Di Hotel diskusi saya dengan Bp H Tabrani
berlanjut.
Saya tanya ;
Aca :" Pak Haji, kok susah bener ya mau ke Mekkah aja ?" " Baru
kali ini saya saya naik pesawat kayak begini"
H Tabrani :
" You kurang niat kali... ini khan bukan perjalanan biasa".
Aca : Apanya
yg luar biasa. Secara teknis tetap sama"
H Tabrani :
" Wah...you boleh pilih, melihat ini sebagai sebuah Kebetulan, atau sebuah
kebesaran Allah ! "
Aca : "
Tapi Pak, kenapa kalau Allah mau kasih pelajaran Semua satu pesawat terkena getahnya,
padahal khan Ada penumpang lain seperti Bapak yg sudah berniat bulat umroh
tetapi juga batal ".
H Tabrani :
" Andry...you khan tahu tidak semua penduduk Indonesia bobrok mentalnya,
tetapi, jika Allah mau kasih pelajaran khusus – hampir seluruh rakyat Indonesia
terkena dampaknya". " Bisa jadi karena you dengan niat hipotesa
atheis itu - kita semua satu pesawat terkena akibatnya". "Coba dech..
you pikirin ! "
Akhirnya
saya mulai tafakur, mencoba untuk merendahkan hati, sholat isya' - dan membaca
niat untuk umroh. Saya mulai membuka-buka buku-buku petunjuk menjalankan umroh.
Walau saya jarang (hampir tidak pernah) berdo'a, saya baca-baca do'a nya.
Kejadian 2
Esoknya kami
berangkat dengan pesawat lain. Dan ketika itu saya melonjak kegirangan, karena
saya di up-grade ke first clAssalamu'alaikum Waduh, enak juga, 10 jam terbang
tanpa harus berdesakan dengan fasilitas lainnya yg tidak sama dengan economi.
Tiba-tiba H
Tabrani datang, " Wah you koq disini ?
" Aca :
" Alhamdulillah saya di up-grade Pak "
H Tabrani :
" Waduh...enak benerrrr, you udah niat umroh ? "
Aca : "
Udah Pak, semalam saya tafakur, berdo'a dan membaca niat "
H Tabrani :
"Bagus kalau begitu. You sekarang melihat kan Allah bisa memberikan
imbalan kenikmatan secara Langsung "
Aca :
"Loh tapi Pak Haji, ini khan petugas maskapai yg Ngatur!?"
H Tabrani :
" Bukan ! ini Allah yg ngatur, melalui tangan petugas"
Aca : "
Wah ini mungkin hanya kebetulan saja Pak !" " Nggak masuk akal kalo
Cuma karena niat, saya langsung diberi kenikmatan oleh Allah ".
H Tabrani :
" OK... khan saya sudah bilang dari kemarin, semua Terserah you saja,
apakah you mau melihat dengan Kacamata kebetulan, atau kacamata iman!"
H Tabrani
pun mulai sewot dengan saya. Entah karena nggak di up-grade atau karena sikap
saya yg dianggapnya wangkeng.
Kejadian 3
Dipesawat,
saya dikenalkan oleh pramugari kepada 2 orang penumpang yg menekuni manajemen
pikiran. Dian, pramugari yg sebelumnya terlibat diskusi agama dengan saya dan H
Tabrani, menyarankan agar masalah saya diungkapkan kepada mereka. Kamipun
berkenalan, seorang bernama Nur Cahyo, seorang lagi bernama Kartiko (mungkin
muridnya).
Saya
jelaskan permasalahan utama saya. Akhirnya ia menjelaskan, " Sdr Andry,
selama ini saya tahu anda telah banyak berupaya, namun upaya itu belum optimum.
Apa sebab - karena sdr hanya menggunakan sebahagian yakni bagian kiri saja dari
otak sdr ".
"Karena
otak, mempunyai 2 belahan, belahan kiri yg fungsinya untuk menganalisa,
kalkulasi, logika, konsentrasi, hipotesa, dsb, dan belahan kanan yg berfungsi
mencerna keindahan, emosi, seni (spt musik), euphoria, keimanan, dsb. Kedua
belahan otak tsb harus sdr gunakan. Wajar kalau saudara hanya mengandalkan
analisa dan mendewakan sirkuit logika".
" Ada
daerah kekuasaan Tuhan yg tidak dapat dianalisa dan didiskusikan. Daerah tsb
hanya dapat dicerna oleh perasaan yg kita sebut iman".
"Loh...itu
khan basic prinsip Quantum Learning, saya tahu benar itu ", kilah saya.
"Betul...bagus
kalau anda tahu - tapi pernahkah anda terapkan dalam pencarian ini ?".
Saya mulai
bingung dengan pertanyaan Kartiko. Saya tahu benar ilmu itu, karena saya sering
jadi pembicara tentang metode belajar dan bekerja menggunakan keseimbangan otak
kiri - kanan.
Kepala saya
seperti dipentung oleh senjata saya sendiri.
Kartiko
melanjutkan, "Jika yg sdr cari adalah petunjuk, ia dapat berupa ilham,
mimpi, atau fenomena dan kejadian-kejadian yg tak masuk akal. Sdr tak akan bisa
menelaah semua itu nanti di perjalanan dengan otak kiri (analisa) saja.
Hasilnya akan sdr pisah-pisah dan terlihat tidak berkaitan satu sama lain.
Namun apabila sdr gunakan juga otak kanan (intuisi/rasa/ iman), hasilnya akan
sangat menakjubkan" .
H Tabrani
pun ikut terlibat diskusi, dan ia banyak membenarkan perkataan Kartiko.
Sebelum
Kartiko kembali ke kursi duduknya, saya bertanya kepadanya, "Anda kuliah
dimana ?".
Kartikopun
menjawab "Politeknik Mekanik Swiss".
"Astaga,
angkatan berapa ?".
"Angkatan
88", jawabnya.
Akhirnya,
kami pun bertambah mesra.
Saya mulai menarik
hipotesa dengan kedua belahan otak saya ;
1. Apakah
instrumen ini berguna (telaah menggunakan kedua belahan otak) untuk pencarian
saya ?
2. Kenapa
saya tak pernah menggunakannya, padahal saya tahu dan gandrung dengan ilmu itu
?
3. Apakah ia
hanya seorang kenalan di pesawat, atau kah sebuah petunjuk agar saya
menggunakan instrumen itu dalam perjalanan sekarang dan nanti ?
4. Apakah
pertemuan kami ini hanya sebuah kebetulan ?
5. Apakah
Kartiko juga seorang yg kebetulan berlatar belakang pendidikan sama dengan saya
sehingga jalan berfikir kami sepertinya klop !?
Saya kembali
membahas ini dengan H Tabrani.
Beliau
seperti biasa sambil sewot, " Terserah...you mau lihat dari kacamata
kebetulan atau kacamata kebesaran Allah !".
Sayapun
mulai tak percaya dengan diri saya. Saya mulai goyah dengan pandangan saya
selama ini.
Kejadian 4
Akhirnya
kami pun tiba di Jeddah, yg kemudian perjalanan disambung ke Madinah. Malam
hari kita berangkat sholat Isya' ke Masjid Nabawi. Disini Rasululloh dimakamkan,
jelas H Tabrani.
"Kok
kuburan di Masjid Pak Haji, nggak bener itu !"
"Wah
you ini mau sholat apa nggak !". "You khan bisa sholat karena orang
yg dimakamkan disini !".
Tanpa banyak
bantah saya ikuti ajakannya sholat diluar (halaman) Masjid (karena larut, pintu
masuk sudah ditutup). Saya sholat tepat disamping pintu makam Rasululloh,
sedang H Tabrani sholat 5 meter didepan saya.
Tiba-tiba,
baru saja saya takbiratul ihrom, pintu disamping saya berdebum. Sayup-sayup
berdebum. Seperti suara orang kerja. Tapi lebih mirip suara orang marah-marah
membanting meja atau kursi.
Tiba-tiba
perasaan takut saya datang. Akhirnya saya batalkan sholat saya, pindah menjauhi
makam Rasululloh. Makam orang yg saya pikir pembuat Al-Qur'an. Dan saya mulai
dihantui pemikiran tersebut. Sholat saya sudah nggak bisa khusuk lagi.
"Andry...kamu
kenapa pindah sholatnya ?", tanya H Tabrani.
"Nggak
tahu tuh Pak, ada suara berisik dipintu, sepertinya pintu itu mau dibuka orang
", jawab saya.
"Suara
berisik apa ".
"Loh
Pak Haji nggak denger barusan "
"Enggak
ah..., Iqbal...kamu dengar suara ?" "Enggak Pak..."
Perasaan
saya mulai nggak karuan. Rasa takut dicampur rasa bersalah.
Saya coba
analisa pakai belahan kiri, bahwa mungkin posisi saya yg tegak lurus dengan
pintu menyebabkan saya bisa dengar, namun mereka karena tidak tegak lurus,
mereka tak bisa mendengar. Tapi harusnya juga dengar. Mustahil tidak, karena
suara itu keras koq.
Akhirnya
saya ceritakan ke H Tabrani tentang perasaan kacau saya. Saya ceritakan bahwa
saya pernah menulis e-mail yg berpendapat apakah semua ini bisa-bisa nya
Muhammad. Kala itu saya tetap menyangsikan kronologi turunnya wahyu. Hingga
saya mensejajarkan posisi Muhammad dengan Napoleon, Karl Marx, Einstein,
Aristoteles, Plato, dan pemikir besar dunia lainnya.
"Wah...kalau
you udah sadar itu salah, you mesti minta maaf besok didalam Masjid, tepat
disamping makamnya kalau bisa ", kilah H Tabrani.
Esok hari,
pagi-pagi sekali kami bangun, berangkat menuju Masjid Nabawi.
Masjid besar
dengan halaman yang juga besar. Dengan terhuyung sambil ngantuk (karena nggak
biasa bangun dan sholat shubuh) saya berjalan menyusuri halaman Masjid seperti
menyusuri 2 kali panjang lapangan bola. Seluruh lantainya ditutupi Pualam
putih.
Setelah
melewati pintu utama, saya berjalan memasuki ruang dalam Masjid area perluasan
King Fadh. Saking besarnya, pandangan lepas kita tak dapat melihat ujung Masjid
lainnya. Lantai, dinding dan Tiang ditutupi marmer yg dipolish licin. Setiap
tiang terdapat lubang AC yg dapat mengatur suhu ruangan otomatis.
Kami terus
berjalan menuju Raudah (batas bangunan asli Masjid yg dibangun Muhammad)
melewati area perluasan King Azis. Antara perluasan King Fadh dan King Azis
terdapat Kubah yg dapat terbuka dan tertutup otomatis. Sempat terfikir oleh
saya, betapa besar biaya yg diperlukan untuk ini semua.
Namun saya
coba tahan pemikiran negatif itu dan menggantikannya dengan fikiran betapa
besar pengaruh Muhammad sampai sekarang hingga dapat terwujud Masjid sebesar
dan seagung ini.
Kamipun
hampir mencapai Raudhah, namun tak bisa masuk karena penuhnya.
Setelah
sholat Shubuh, raya dianjurkan H Tabrani untuk berdo'a di area Rhaudah.
"Kenapa
.?", tanya saya.
"Berdoa
disana Insya Allah lebih amat makbul (dijawab oleh Allah terhadap permintaan
doa kita).
Sempat
terbesit pertanyaan saya, apakah doa orang yg berdoa di Masjid Dago Atas tidak
makbul ?
Namun saya
mulai menahan diri terhadap pemikiran dan pertanyaan model itu.
Setelah
berdoa, kamipun berdesakan keluar melalui Pintu Jibril, pintu yg melewati tepat
muka makam Rasululloh. Saya ambil barisan paling kiri, barisan yg paling dekat
dengan sisi makam. Kami berjalan berdesakan, perlahan, penuh sesak namun sangat
tertib. Dari kejauhan saya melihat pagar makam yg didalamnya gelap tak ada
cahaya. Dalam antrian perlahan saya mendekati makam. Didalam pagar terlihat
tiga makam yg ditutupi kain. Saya tak tahu yg mana Makam Rasululloh, yg mana
makam Abu Bakar, dan yg mana makam Khadijah, isteri Nabi.
Kejadian 5
Disepanjang
makam berdiri 4 orang tua dengan badan tinggi bersorban yg selalu menepis
tangan orang yg mencoba memegang pagar dengan meratap. "Musyrik !!!",
hardiknya. Mereka senantiasa menjaga perilaku setiap orang yg mencoba ziarah
dengan kelakuan aneh. Disini saya mulai mengerti arti Islam sebagai agama
Tauhid. Agama yg berillah hanya dan hanya kepada Allah. Tiada kepada yg lain,
tiada pula kepada para Nabinya. Nabi hanya sebagai pembawa RisalahNYA,
MandatarisNYA, dan bukan tempat untuk meminta atau berdo 'a. Nabi juga bukanlah
anakNYA, karena beranak pinak adalah perilaku ciptaaNYA dan bukan salah satu
sifatNYA/perilakuNYA. Musyrik atau Syirik, mensyarikatkan Allah dengan sesuatu
lainnya adalah satu-satunya perbuatan dosa yg tidak pernah diampuni Allah.
Bukan maksud
saya menyindir, tapi sering kali orang melakukan "HUMANISASI".
Imajinasi
bentuk alien (mahluk luar angkasa) tak pernah jauh lari dari bentuk manusia,
berbadan, berkepala, bertangan dan berkaki. Film-film kartun Hollywood , selalu
menampilkan bentuk perilaku binatang yg bertingkah polah bagai manusia, dan
berbentuk fisik yg sudah dirobah menjadi mirip manusia. Dongeng-dongeng
binatang buku cerita untuk anak kecil juga demikian. Robot-robot sekarang dan
masa datang,mengambil analogi kerja tubuh dan bentuk badan manusia. Sampai-sampai
Tuhan atau Dewa-dewa yg digambarkannya pun mirip bentuk manusia. Adapula yg
menganalogikan perilaku Tuhannya seperti manusia dengan perilaku beranak pinak.
Disini saya merasa mendapat petunjuk, bahwa Muhammad NabiNYA, bukan anakNYA, bukan
tempat meminta.
Ketika saya
tiba persis dimuka makam, seseorang dengan suara yg berat dibelakang saya
berkata perlahan. Tidak keras namun tidak berbisik. Kedua tangannya memegang
pundak saya dari belakang. Ia berkata dalam bahasa Arab, " Ya Rasululloh..
.ini aku, aku datang kepadamu, bukan untuk meminta sesuatu yg lain. Aku hanya
ingin meminta maaf kepadamu ya Habiballoh. Aku hanya mengagumimu namun aku tak
pernah memujimu. Aku fikir aku telah menempatkanmu pada posisi yg tinggi, namun
ternyata engkau lebih mulia dari itu. Aku tidak mencela engkau namun aku sadar aku
telah melecehkan engkau. Aku minta maaf ya Rasululloh".
Pembaca,
saya dapat mengerti hampir seluruh ucapannya dalam bahasa Arab itu, namun saya
belum pernah belajar Nahu sorob atau bahasa Arab ! Saya jadi bingung sendiri.
Saya lihat dipundak saya salah satu tangannya yg memegang pundak saya dari
belakang, besar sekali dan hitam legam. Waktu saya menolah kebelakang, orang
tersebut seperti dari Afrika, tinggi luar biasa, hitam legam. Ia mengucapkannya
sambil merintih menahan tangis. Rasa haru, menyesal luar biasa, dan sedikit
ketakutan pun menyelimuti saya.
Saya tak
ucapkan kata apapun. Semua yg akan saya ucapkan telah diucapkan orang
dibelakang saya dalam bahasa Arab yg saya tiba-tiba mengertinya.
Keluar pintu
Jibril, saya menunduk menahan tangis dan haru, agar tak terlihat H Tabrani dan
Iqbal puteranya. H Tabrani tahu itu. Merekapun mempercepat langkah agar tetap
didepan saya. Saya coba cari orang tinggi besar hitam tadi. Mungkin karena
ramai kerumunan, saya tak dapat menemukannya.
Sesampai di
Hotel, kamipun mendiskusikannya. Terutama tentang dapat mengertinya saya
terhadap ucapan dalam bahasa Arab.
Saya bilang
: "Mungkin begini Pak, karena saya dihantui rasa bersalah, dan memang saya
akan berkata minta maaf, maka persepsi saya terhadap apa yg diucapkan orang
tadi adalah persepsi fikiran saya".
H Tabrani :
"Itu mungkin. Mungkin saja. Tapi mungkin juga petunjuk, bahwa beliau
(Rasululloh) tahu benar isi hati anda, dan beliau dengan ahlaknya yg mulia
sudah memaafkan you tentunya".
Aca : "
Ah...masak sich Pak. Sedemikian mudah dan cepatnya saya mendapat petunjuk
"
H Tabrani :
" Temen you dan saya khan sudah berkali-kali mengatakan, semua itu
terserah you saja. Apakah you mau anggap itu semua kebetulan atau sebuah
petunjuk. Berkali-kali saya mengatakan - terserah you saja !"
Saya mulai
tak banyak membantah.
Saya
benar-benar mulai berfikir, bahwa tak ada yg namanya kebetulan.
Semua sudah
ada aturannya, semua sudah ada sebab akibatnya.
Ada sebuah
"hukum sebab-akibat" yg berlaku absolut dialam semesta ini.
Hukum
Sebab-Akibat itu diatas hukum-hukum lainnya.
Juga diatas
hukum fisika, sosial, maupun psykologi yg saya anut selama ini.
Saya mulai
meyakini ini sebagai Hukum Sunatulloh, dan bukan hukum psikologi. Bukan efek
kebetulan karena rasa bersalah. Bukan efek kebetulan kondisional akibat suasana
yg khusuk, sakral atau magic/angker. Melainkan hukum Sunatulloh kepada orang yg
mencari ridhoNYA, orang yg mencari jalan yg diridhoNYA. Namun saya tak berani berfikir
bahwa saya sudah berada pada jalan yg benar, dalam "The right track".
Namun yg jelas, saya mulai lebih berhati-hati dan tidak gegabah.
Bersambung …
Niyaz Khalil
Harapan dari
Seorang Sahabat
0 komentar:
Posting Komentar